Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Fiqih Lintas Agama

| Selasa, 21 Desember 2010 | 0 komentar |
Bisa dikatakan, bahwa nasib disiplin fiqih hampir sama dengan nasib disiplin tafsir dan disiplin ilmu-ilmu agama lainnya, seperti bahasa, tasawuf, kalam, dan filsafat Islam. Jika al-Zarkasyi dalam al-Burhani fi ‘Ulum al-Qur’an menyebut ilmu-ilmu al-Qur’an dan tafsir telah mencapai puncak kematangannya, bahkan siap saji, maka ilmu fiqih beserta fudamen-fundamennya juga dianggap sebagian pengkaji fiqih telah matang. Dan, karena keserbasempurnaan fiqih, lalu tugas seorang ahli  fiqih hanya dibatasi pada upaya-upaya mengadopsi, mengakomodasi dan melanjutkan keseluruhan pemikiran dan mazhab yang dihasilkan para ulama terdahulu.
Sejumlah ktab fiqih yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi Islam, pesantren dan sekolah-sekolah keagamaan, pada umumnya hanya membacakan kembali kitab-kitab fiqih yang ditulis para ulama beberapa abad yang silam. Hampir tidak ditemukan sebuah studi plus, yaitu studi yang tidak hanya membacakan, tetapi lebih jauh, menyoalkan kembali beberapa pandangan yang telah disampaikan oleh ulama-ulama fiqih terdahulu. Pada umumnya mereka hanya membacakan dan mereproduksi pandangan-pandangan fiqih klasik, dan tidak memproduksi pandangan-pandangan alternative yang relevan dengan konteks kekinian. Belum lagi, khazanah fiqih yang tesedia hanya berbicara untuk kebutuhan zamannya, bukan untuk kebutuhan zaman di mana kita hidup saat ini.
Karenannya, diakui atau tidak, fiqih yang tersedia saat ini mempunyai diema-dilema yang mesti dikritisi lebih mendalam, sehigga fiqih sebagai proses ijtihadi dan dialektika antara doktrin dan realitas dapat bersuara kembali atas zaman yang secara kontekstual berbeda sama sekali dengan di mana fiqih dikodifikasi. Tentu saja bukan basa-basi jika kita hendak menegaskan bahwa penghargaan kita terhadap hasil ijtihad ulama tedahulu seharusnya  bukan dalam bentuk pencomotan dan pengadopsian apa adanya, melainkan menakar-ulang (rethinking) atass pemikiran ijtihadi da karya-karya mereka secara dinamis dan konstruktif.
Di antara dilema fiqih paling serius ialah tatkala berhubungan dengan pembahasan yang melibatkan kalangan di luar komunitasnya, yaitu non-Muslim, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Pada tataran ini, fiqih mengalami kelemahan yang amt luar biasa. Dimensi keuniversalan dan kelenturan fiqih seakan akan tersimpan rapi di laci, atau mungkin hilang entah ke mana. Fiqih, secara implisit ataupu eksplisit, telah menebarkan kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain.
Ada beberapa istilah yang selau dianggap musuh dalam fiqih klasik, yaitu “musyrik”, “murtad”, dan “kafir”. Bila khazanah fiqih berpapasan dengan komunitas tersebut, maka sudah barang tentu fiqih akan memberikan “kartu kuning” sebagai peringatan keras dalam menghadapi kalangan tersebut. Lalu pertanyaannya, kenapa watak fiqih klasik bisa seperti itu? Apakah Islam memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan permusuhan dan kekerasan, sebagaimana dituduhkan kaum orientalis? Jika tidak, apa yang meti kita lakukan guna menggali oase keislaman yang lebih mengedepankan semangat toleransi dan kebersamaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat kita harus bekerja keras dalam membaca kembali fiqih klasik. Perlu perspektif baru terhadap fiqih, yaitu meletakkannya kembali sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komunitas tertentu pula. Selama ini, bila membaca kitab-kitab fiqih , maka fiqih terlalu diagungkan dan disakralkan oleh pembacanya, sehingga fiqih menjadi ilmu yang terjamah secara lebih mendasar. Padahal, dari segi penamaannya saja, fiqih berarti “pemahaman”. Dan proses pemahaman mengharuskan adanya dialektika dinamis antara teks dan koteks. Sebab, fiqih tidak lahir dari kevakuman, sebagai respon faqih (ahli fiqih) terhadap problem zamanya. Dalam perkembangannya saat ini, fiqih menyimpan sejumlah problematika serius, antara lain: mapannya paradigma klasik dan lambannya upaya pembaharuan, sehingga dengan mudah didapatkan adanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesenjangan.
Selain itu, menurut Abid al-Jabiri, fiqih yang dikontruksikan oleh para ulama terdahulu tidak hanya menutup masa depan atau masa setelah fiqih tersebut dikodifikasi., melainkan juga tidak menjadikan tradisi yang berkembang pada masa-masa sebelumnya sebagai bahan rujukan utama bagi pembaharuan bentuk praktek Islam selanjutnya. Hal ini terjadi, karena fiqih ibarat pendulum yang tidak secara tegas melakukan dialektika epistemologis. Fiqih hanya dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan terhadap sebuah aliran dan mazhab tertentu. Fiqih sekan-akan harus menentukan pilihan: Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah, atau Hanafiiyah.
Atas dasar ini, diperlukan pisau oembedah guna mendongkrak kesadaran kolektif para pengkaji fiqih kontemporer aar secara proaktif melakukan pembacaan ulang terhadap fiqih klasik. Di satu sisi, fiqih merupakan khazanah yang menjadi kebanggaan setiap muslim, tapi di sisi lain tak terelakkan fiqih menjadi hambatan serius dalam menyikapi sejumlah problem kemanusiaan yang tak disentuh oleh para ulama terdahulu. Karena fiqih yang tersedia adalah fiqih yang tidak lagi menyemangati zaman ini, dan bentuknya pun sangat sederhana. Sementara itu problem kemanusiaan terus bertambah dan pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat, naka tak terelakkan pembaharuan fiqih sebagai solusi alternatif.

Agama-Agama

| Senin, 20 Desember 2010 | 0 komentar |



Apakah Perbandingan Agama Itu ?
Perbandingan Agama (al-Diraasat fii al-Diyaanat) merupakan sebuah disiplin ilmu yang didalamnya dilakukan perbandingan antara berbagai agama, menyangkut sejarah ataupun doktrin, dengan didasarkan pada asas tertentu. Bagi seorang muslim, Perbandingan Agama harus didasarkan pada asas semangat dan keyakinan atas kebenaran Islam diatas semua agama.
Mengapa Kita Mempelajari Perbandingan Agama ?
Kita mempelajari Perbandingan Agama untuk beberapa tujuan antara lain :
  1. Untuk semakin menguatkan keyakinan kita terhadap kebenaran Islam dan kebathilan agama-agama yang lain.
  2. Untuk bisa menggagas dialog antar agama, dalam rangka dakwah dan kemaslahatan bersama.
Tiga Agama Besar : Islam, Yahudi, dan Kristen
Di dunia ini terdapat tiga agama besar : Islam, Yahudi, dan Kristen. Pada awalnya, ketiga agama ini memiliki beberapa kesamaan, antara lain :
  1. Ketiganya merupakan agama samawi dan memiliki kitab suci.
  2. Ketiganya merupakan agama tauhid (monotheisme).
  3. Ketiganya lahir di kawasan Timur Tengah.
Disamping itu ketiganya juga berbeda dalam beberapa hal, antara lain :
  1. Ditujukan kepada siapa masing-masing agama itu.
  2. Kapan masing-masing agama itu berlaku.
  3. Bagaimana syariat masing-masing agama itu.

Yahudi
Yahudi (Judaism) merupakan agama yang awalnya dibawa oleh Nabi Musa as. Menurut pendapat yang paling populer, nama agama ini diambil dari nama salah satu dari dua belas anak Ya’qub yaitu Judah. Sebetulnya, keseluruhan keturunan Ya’qub adalah mereka yang disebut sebagai Bani Israel (yang berarti keturunan Israel, sementara Israel adalah nama lain Ya’qub). Karena suatu peristiwa, seluruh keturunan Ya’qub terusir dari tempat tinggal mereka kecuali anak keturunan Judah. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai Umat Yahudi.
Ketika Nabi Yusuf pindah ke Mesir, seluruh keturunan Ya’qub (Bani Israel) – termasuk anak keturunan Judah – juga ikut pindah ke Mesir. Tetapi pada masa Fir’aun, keturunan Ya’qub dijadikan sebagai budak. Pada akhirnya, Nabi Musa membebaskan mereka dari perbudakan dengan cara lari dari Mesir menyeberangi Laut Merah. Setelah itu terjadilah peristiwa demi peristiwa dimana Bani Israel senantiasa ingkar dan membunuh nabi-nabi yang diturunkan kepada mereka.
Secara umum, sekte-sekte dalam agama Yahudi bisa dikelompokkan atas dua : tradisional dan reformis. Diantara sekte tradisional yang paling terkenal adalah Sekte Orthodoks. Sekte Orthodoks merupakan satu-satunya sekte resmi di Israel. Sedangkan di Amerika dan negara-negara lain, semua sekte boleh hidup dan berkembang bebas. Populasi Yahudi di Israel adalah sepertiga dari populasi total Yahudi di seluruh dunia. Sepertiga yang lain hidup di Amerika, dan sepertiga yang lainnya lagi tersebar di berbagai belahan dunia yang lain. Di Amerika sendiri, komunitas Yahudi telah menguasai Senat sehingga hegemoninya terhadap politik Amerika (kedalam ataupun [terutama] keluar) sangatlah besar, tidak peduli siapapun presidennya. Tidak mengherankan pula jika kita dapati bahwa Amerika selalu membela Israel.
Yahudi lebih merupakan kesukuan (ras) daripada sebuah agama. Menurut Yahudi tradisional, yang dinamakan Yahudi adalah setiap orang yang lahir dari ibu Yahudi, meskipun dia tidak menerima Yahudi sebagai agamanya. Sedangkan menurut Yahudi reformis, yang dinamakan Yahudi adalah setiap orang yang lahir dari orang tua yang mana salah satu diantaranya adalah Yahudi (baik ibu ataupun bapaknya) dan yang bersangkutan menerima Yahudi sebagai agamanya. Namun perlu diketahui pula bahwa menjadi seorang Yahudi juga bisa dilakukan melalui Proses Konversi.
Pendeta umat Yahudi disebut Rabbi. Tempat ibadah mereka disebut Sinagog. Hari suci mereka adalah hari Sabtu (Hari Sabat). Umat Yahudi memiliki kitab suci yang bernama Taurat. Mereka memiliki tafsir atau penjelasan dari Taurat tersebut yang tertuang dalam kitab yang disebut sebagai Talmud (Jadi Talmud ini ibarat Hadits bagi umat Islam). Disamping itu, mereka juga memiliki Lembaran-lembaran Suci yang lain. Sebetulnya, semua kitab-kitab tersebut sudah tidak lagi sebagaimana aslinya, tetapi sudah diubah oleh tangan-tangan manusia.
Perbandingan antara Yahudi dan Islam
  1. Agama Yahudi hanya diperuntukkan bagi umat Yahudi saja, sedangkan Islam diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.
  2. Agama Yahudi hanya berlaku sejak zaman Nabi Musa sampai datangnya Nabi Isa, sedangkan Islam berlaku semenjak diutusnya Muhammad saw sampai akhir zaman.
  3. Kitab suci agama Yahudi sudah tidak sebagaimana aslinya, sedangkan kitab suci umat Islam (Al-Qur’an) akan senantiasa dijaga keasliannya oleh Allah.
  4. Syariat agama Yahudi merupakan syariat yang keras dan lebih mengedepankan aspek keadilan / ketegasan (karenanya sering disebut sebagai syari’at al-adl, sedangkan syariat agama Islam merupakan syariat pertengahan antara ketegasan / keadilan dan kasih sayang.
  5. Dari sisi ketuhanan, agama Yahudi lebih dekat dengan Islam (dibandingkan Kristen). Namun dari sisi hubungan, Yahudi lebih hebat permusuhannya dengan Islam (dibandingkan Kristen).
Zionisme
Zionisme merupakan gerakan yang bertujuan untuk mendirikan Negara Israel Raya di lembah Bukit Zion (yakni Palestina). Pelopor utama gerakan ini adalah Herzle. Awalnya, beberapa faksi Yahudi menentang gerakan ini, tetapi setelah dilangsungkannya Konferensi Biltmore, faksi-faksi yang awalnya menentang Zionisme akhirnya bersepakat untuk ikut mendukung Zionisme.
Kristen
Kristen (al-Masiihiyah, al-Nashraniyah) merupakan agama yang awalnya dibawa oleh Nabi Isa as. Nama Kristen diambil dari kata Christ (nama lain Jesus [Isa], dalam bahasa Arab : Al-Masiih). Adapun nama al-Nashraniyah, menurut beberapa kalangan diambil dari kata al-Naashiruun (yang berarti orang-orang yang menolong, yakni menolong Nabi Isa [al-hawaariyuun]) dan menurut beberapa kalangan yang lain berasal dari nama kota : Nazaret. Tetapi, agama Kristen yang sekarang ini bukanlah agama Kristen yang ada pada zaman Nabi Isa. Agama Kristen yang ada saat ini sebetulnya lebih tepat jika disebut sebagai Agama Paulus, karena Paulus adalah orang yang mendirikan agama ini. Sebelum mendirikan agama Kristen, Paulus merupakan seorang Yahudi.
Umat Kristen percaya bahwa Jesus (Isa) telah mati disalib. Mereka meyakini Ketuhanan Trinitas (yang terdiri atas Tiga Oknum : Tuhan Ayah, Tuhan Anak, dan Ruh Kudus). Bagi mereka, Nabi Isa adalah manusia sekaligus Tuhan (Tuhan Anak).
Umat Kristen memiliki kitab suci yang bernama Injil (Bible). Injil bisa dibedakan atas Perjanjian Lama (Old Testament) dan Perjanjian Baru (New Testament). Perjanjian Lama tidak lain adalah Taurat, yang juga kitab suci umat Yahudi. Injil yang paling terkenal ada empat, yang namanya diambil dari nama-nama para penginjilnya (para rasulnya).
Sebelum Konsili (Konferensi) Nicea, di tengah-tengah Kristen masih terdapat sekte yang menganut monotheisme, yaitu sekte Ariusme. Tetapi pada konferensi itu mereka kalah dan dihancurkan, sehingga tinggallah sekte-sekte yang menganut Trinitas. Pada awalnya, hari suci umat Kristen adalah hari Sabtu (Hari Sabat) tetapi kemudian dipindah menjadi Hari Minggu.
Agama Kristen memiliki tiga sekte utama : Katholik, Protestan, dan Orthodoks. Awalnya, sekte Katholik dan Orthodoks adalah satu karena sama-sama berkiblat ke Gereja Roma. Akan tetapi, karena perselisihan maka Kristen Roma tersebut pecah menjadi dua : Katholik dan Orthodoks. Kristen Katholik banyak dianut di negara-negara Barat, sedangkan Kristen Orthodoks banyak dianut di negara-negara Timur Tengah. Adapun Kristen Protestan muncul dari gerakan protes atas kekuasaan Gereja yang sewenang-wenang dan dianggap sudah menyimpang dari Injil. Diantara tokoh gerakan protes tersebut adalah Martin Luther dan John Calvin.
Perbandingan antara Kristen dan Islam
  1. Agama Kristen hanya diperuntukkan bagi Bani Israel saja, sedangkan Islam diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.
  2. Agama Kristen hanya berlaku sejak zaman Nabi Isa sampai diutusnya Nabi Muhammad, sedangkan Islam berlaku semenjak diutusnya Muhammad saw sampai akhir zaman.
  3. Kitab suci agama Kristen sudah tidak sebagaimana aslinya, sedangkan kitab suci umat Islam (Al-Qur’an) akan senantiasa dijaga keasliannya oleh Allah.
  4. Syariat agama Kristen merupakan syariat yang terlalu lembut dan lebih mengedepankan aspek kasih sayang (karenanya sering disebut sebagai syari’at al-fadhl, sedangkan syariat agama Islam merupakan syariat pertengahan antara ketegasan / keadilan dan kasih sayang.
  5. Dari sisi ketuhanan, agama Kristen lebih jauh dengan Islam (dibandingkan Yahudi). Namun dari sisi hubungan, Kristen lebih lemah permusuhannya dengan Islam (dibandingkan Yahudi).
Kaligrafi Injil Matius;

Kristenisasi
Kristenisasi (Zending, Missionarisme) merupakan gerakan untuk menyebarluaskan Kristen, atau dengan kata lain : Gerakan Pengkristenan. Dalam sejarah, gerakan kristenisasi sulit dipisahkan dengan gerakan imperialisme. Sangat besar kemungkinannya bahwa kristenisasi dilakukan dalam rangka mempermulus usaha imperialisme. Atau sebaliknya, sebagaimana imperialisme memiliki slogan Tiga G (Gold, Glory, Gospel [Injil]).
Di Indonesia, gerakan kristenisasi terus berlangsung sampai sekarang. Gerakan ini telah merambah hutan-hutan dan pedalaman-pedalaman. Karena itu tidak mengherankan jika Indonesia bagian timur (yang dahulu kebanyakan masih berupa hutan-hutan dan pedalaman-pedalaman) telah banyak yang dikristenkan. Gerakan kristenisasi ini amat membahayakan karena pendanaannya amat besar dan didukung oleh negara-negara besar.

IPA (Ilmu Perbandingan Agama)

| | 0 komentar |
Ilmu Perbandinghan Agama (IPA) sering menimbulkan salah pengertian. Pertama, seseorang sering memahami IPA sebagai ilmu yang hanya membandingkan antara agama yang satu dengan agama lain. Padahal tujuan dari IPA bukan sekedar membanding-bandingkan, tetapi lebih luas dari itu. Bahkan seorang sering mengira bahwa tugas IPA adalah menilai kesalahan-kesalahan agama lain. Padahal menilai kesalahan-kesalahan agama lain bukanlah tugas dari IPA, tetapi tugas dari Ilmu Kalam atau Teologi Islam. Kedua, seseorang dengan apriori mengangap bahwa IPA mendangkalkan aqidah. Sebab seseorang mengira bahwa dengan mempelajari IPA akan mengurangi keyakinan agama Islam. Padahal justru dengan mempelajari IPA seorang Muslim akan semakin menemukan mutu-manikam keunggulan ajaran agama Islam dibandingkan ajaran agama lain. Mutu-manikam keunggulan ajaran Islam kurang tampak kalau tidak dibandingkan dengan ajaran agama lain, tetapi justru tampak cemerlang setelah dibandingkan dengan ajaran agama lain.
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam karangan ini akan  dikaji Ilmu Perbandingan Agama secara seksama meskipun dengan ringkas. Dengan demikian dapat mengurangi atau menghilangkan beberapa sakwasangka tentang Ilmu Perbandingan Agama. Oleh karena itu pada karangan ini secara singkat akan dibahas pengertian dan nama-nama Ilmu Perbandingan Agama, obyek Ilmu Perbandingan Agama, metode-metode Ilmu Perbandingan Agama, perkembangan Ilmu Perbandingan Agama, dan manfaat Ilmu Perbandingan Agama bagi seorang Muslim.

Ilmu Perbandingan Agama.
     1. Pengertian dan nama-nama Ilmu Perbandingan Agama.
            Ilmu Perbandingan Agama adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan (agama) dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini mencakup persamaan (kesejajaran) dan perbedaannya. Selanjutnya dengan pembahasan tersebut, struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan manusia dapat dipelajari dan dinilai ( Ali, 1975: 5).
            Di samping nama Ilmu Perbandingan Agama, ada beberapa nama lain dari Ilmu perbandingan Agama. Nama-nama tersebut antara lain: Allgemeine Religionswissenschaft, Science of Religions, The History of Religions, Comparative Studies of Religion, Phenomenology of Religion, Historical Phenomenology, The Study of World Religions dan The Comparative Study of Religions (Daya dan Beck, 1990: 57), Systematic Science of Religion (Daya dan Beck, 1992: 30), Vergleichende Religionswissenschaft (Daya dan Beck, 1992: 165), Ilmu Agama-agama (Daya dan Beck, 1990: 28), Ilmu Agama, Sejarah Agama, Fenomenologi Agama (Daya dan Beck, 1990: 126). Dari beberapa nama tersebut nama Phenomenology of  Religion dan Fenomenologi Agama kadang-kadang digunakan untuk nama suatu bidang studi tertentu yang lebih sempit cakupannya dari  studi Ilmu Perbandingan Agama, yaitu mengkaji agama dengan metode fenomenologis saja.
            Berdasarkan nama-nama lain dari Ilmu Perbandingan Agama di atas, jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama tidak hanya membanding-bandingkan agama saja, tetapi juga melakukan kajian historis, fenomenologis, atau secara umum melakukan kajian yang bersifat ilmiah atau scientific. Hal itu akan semakin jelas setelah dibahas mengenai metode-metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama.

    2. Obyek Ilmu Perbandingan Agama
            A. Mukti Ali, seorang pakar Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, menjelaskan bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah  pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundmental dan universal dari tiap-tiap agama. Beberapa pertanyaan tersebut akan akan dijawab sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Beberapa pertanyaan yang bersifat fundamental dan universal tersebut antara lain: apakah konsepsi agama tentang Tuhan? Apakah konsepsi agama tentang manusia? Apakah konsepsi agama tentang dosa dan pahala? Apakah hubungan kepercayaan dengan akal? Bagaimanakah hubungan antara agama dengan etika? Apakah fungsi agama dalam masyarakat? dsb. ( Ali, 1975: 7).
Berbeda dengan A. Mukti Ali, Joachim Wach dari sudut pandang yang lain, berpendapat bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah pengalaman agama.   Menurut Joachim Wach pengalaman agama berbeda dengan pengalaman psikis biasa. Pengalaman agama mempunyai beberapa kriteria tertentu. Kriteria pertama, pengalaman agama merupakan suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak. Kedua, pengalaman agama merupakan tanggapan yang menyeluruh atau utuh (akal, perasaan, dan kehendak hati) manusia terhadap Realitas Mutlak. Ketiga, pengalaman agama merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesankan, dan mendalam dari manusia. Keempat, pengalaman agama merupakan pengalaman yang menggerakan untuk berbuat. Pengalaman tersebut mengandung imperatif, menjadi sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan (Wach,   1969: 31-36). Pengalaman agama yang subyektif ini diekspresikan atau diungkaplan dalam tiga ekspresi, yaitu: a. pengalaman agama yang diungkapkan dalam  pikiran. b. pengalaman agama yang diungkapkan dalam tindakan. c. pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok (Wach, 1969: 97). Pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran terutama berupa mite, doktrin, dan dogma. Pengalaman agama ini dapat berbentuk symbol, oral, dan tulisan. Tulisan-tulisan bisa berupa kitab suci dan tulisan klasik Untuk keperluan memahami kitab suci diperlukan literature yang sifatnya menjelaskan, misalnya Talmud, Zend dalam Pahlevi, Hadis dalam Islam, Smrti di India, tulisan-tulisan Luther dan Calvin dalam Protestan. Agama-agama besar juga mempunyai credo, yaitu suatu ungkapan pendek tentang keyakinan, syahadat dua belas dalam Kristen, dua syahadat dalam Islam, dan shema dalam Yahudi. Adapun tema yang fundamental dalam pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran adalah Tuhan, kosmos, dan manusia (Teologi, kosmologi, dan antropologi).                                                                                                  Selanjutnya pengalaman agama yang diungkapkan dalam tindakan  berupa kultus (peribadatan) dan pelayanan. Peribadatan sebagai tanggapan terhadap Realitas Mutlak harus dilakukan di mana, kapan, bagaimana caranya, dan oleh siapa? Apakah ibadah itu harus dilakukan sendiri-sendiri atau secara berjamaah? Termasuk dalam uangkapan perbuatan ini adalah kurban dengan segala seluk-beluknya. Termasuk dalam pembahasan ini adalah maslah imitation, yaitu mencontoh tingkah laku dan kehidupan seorang pemimpin agama. Termasuk dalam pembahasan ini adalah keinginan supaya orang lain juga beragama seperti dia, yaitu masalah missionary atau dakwah.                                                                                                                   Akhirnya pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok berupa kelompok-kelompok keagamaan (Ecclesia atau Gereja, Kahal, Ummah, Sangha).  Di sini dibahas juga masalah hubungan antara orang yang beragama dengan masyarakat umumnya, bahasa yang dipergunakan dalam pergaulan mereka baik antar-agama maupun intra-agama sendiri, fungsi, kharisma, umur, seks, keturunan, dan status (Ali, 1993: 79-81).
            Ketiga ekpresi pengalaman agama di atas (pikiran, tindakan, dan kelompok) yang menjadi obyek Ilmu Perbandingan Agama  meliputi semua agama yang ada dan aliran-alirannya.
            Kedua pandangan di atas dapat digabungkan sebagai obyek Ilmu Perbandingan Agama. Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dan universal bagi setiap agama dan pengalaman agama, keduanya merupakan aspek-aspek penting dari obyek Ilmu Perbandingan Agama.

    3. Metode-metode Ilmu Perbandingan Agama.
            Ada beberapa metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode-metode tersebut ialah:
  1. Metode Historis.
Dalam metode ini agama dikaji dari segi atau aspek periodesasi dan saling pengaruh antara agama yang satu dengan agama lainnya. Di sini dikaji asal-usul dan pertumbuhan pemikiran dan lembaga-lembaga agama melalui periode-periode perkembangan  sejarah tertentu, serta memahami peranan kekuatan-kekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalam periode tersebut (Wach, 1969: 21).
Agama yang dikaji dalam metode ini bukan hanya agama secara keseluruhan, tetapi juga dapat dikaji aliran-aliran tertentu dari suatu agama maupun tokoh-tokoh tertentu dari suatu agama dalam periode tertentu dalam sejarah (Jongeneel, 1978:  49).
Bahan dalam kajian in biasanya mempergunakan bahan primer dan sekunder, baik yang bersifat literer (filologis) atau non-literer  (arkeologis) (Jongeneel, 1978: 51).
Beberapa contoh kajian histories misalnya kajian C.J. Bleeker dan G. Widrengen dalam bukunya Historia Religianum, Handbook for the History of Religious. R.J.Z. Werblowsky dalam bukunya Histoire des Religions. Ugo Bianchi dalam bukunya La Storia delle Religioni. J.P. Asmussen dan J. Laessoe dalam bukunya Handbuch der Religiongeschichte. H. Ringgren dan A.V. Strom dalam bukunya Religious of Mankind.  Today and Yesterday. T.O. Ling dalam bukunya History of Religion East and West. E. Dammann dalam bukunya Grundriss der Religionsgeschichte, dan S.A. Tokarev dalam bukunya Die Religion in der Geschichte der Volker (Whaling, 1984: 57-63).
Para sarjana yang mempergunakan metode historis ini antara lain: C.J. Bleeker, G. Widrengen, A. Reviolle, A. Bertholet dan Fr. M. Muller (Jongeneel, 1978: 59).

b.      Metode Sosiologis.
Dalam metode ini dikaji problem-problem agama dan masyarakat dalam hubungannya satu sama lainnya. Banyak yang dapat dikaji dalam metode ini. Misalnya pengaruh kehidupan masyarakat dan perubahan-perubahannya terhadap pengalaman agama dan organisasi-organisasinya; pengaruh masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, praktek-praktek agama, golongan-golongan agama, jenis-jenis kepemimpinan agama; pengaruh agama terhadap perubahan-perubahan sosial, struktur-struktur sosial, pemenuhan atau fustrasi kebutuhan kepribadian; pengaruh timbale balik antara masyarakat dengan struktur intern persekutuan agama (segi keluar-masuknya jadi anggota, segi kepemimpinannya, toleransinya, kharismanya, dsb.); pengaruh gejala-gejala kemasyarakatan (mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi, dsb.) terhadap agama; pengaruh agama terhadap etik, hukum, negara, politik, ekonomi, hubungan-hubungan sosial, dsb. (Jongenel: 1978: 68-69).
      Beberapa contoh dari metode sosiologis ini misalnya: kajian Emile Durkheim mengenai hubungan totem dengan masyarakat. Menurut Emile Durkheim bentuk dan macam totem tergantung pada bentuk masyarakat. Dalam kajian lainnya ia menghubungkan antara gejala bunuh diri  dengan Katolik dan Protestan. Menurutnya gejala bunuh diri di kalangan Katolik lebih sedikit dibandingkan di kalangan Protestan. Hal itu terjadi karena masyarakat di kalangan Katolik lebih banyak tergantung pada tradisi, sehingga problem-problem yang menimpa anggota-anggotanya dapat diselesaikan melalui tradisinya. Sedang di kalangan Protestan lebih bersifat individual, sehingga problem-problem yang menimpa anggota-anggotanya terpaksa dipecahkan secara individual.
Contoh lainnya misalnya kajian Max Weber dalam bukunya The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism   tentang hubungan antara ajaran etik Protestan dengan sikap kapitalis (Nottingham, 1985: 136-137). Renato Poblete SJ dan F. O’Dea dalam penelitiannya pada para imigran Puerto Rico di New York dengan judul “Anomie and the Quest for community,” The Formation of Sects among the Puerto Ricans of New York,” menjelaskan bahwa konversi pemeluk Gereja Katolik ke gereja Pentecostal bermotif pembebasan dari krisis sosial dan situasi anomi yang menimbulkan krisis batin (Hendropuspito, 1986: 85-86).   
Beberapa sarjana yang menggunakan metode sosiologis antara lain: Joachim Wach, Milton Yinger, G. Le Bras, Gustav Mensching, (Jongeneel, 1978: 69), Fustel de Coulangers, Emile Durkheim, Max Weber, Ernst Troeltsch, Werner Sombart, Max Scheler (Wach, 1969: 23).

  1. Metode psikologis.
Di sini dikaji aspek batin dari pengalaman agama individu maupun kelompok (Wach, 1969: 23). Di dalam metode ini dikaji interrelasi dan interaksi antara agama dengan jiwa manusia (Jongeneel, 1978: 86). Kajian psikologis ini meliputi masalah arketipus, symbol, mite, numinous, penyataan (wahyu), iman, pertobatan, revival, suara hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah, pengakuan dosa, pengampunan, kekhawatiran, kebimbangan, penyerahan diri, kelepasan, askese, kesucian, mistik, meditasi, kontemplasi, ekstase, orang-orang introvert agama, orang-orang ekstrovert agama, kehidupan jiwa orang-orang psikose, psikopati, neurose, dsb
            Beberapa contoh dari penggunaan metode psikologis misalnya: kajian agama yang dilakukan oleh J. M. Charcot dan P. Janet. Mereka menyimpulkan bahwa agama dapat dijabarkan terutama kepada neurose dan histeri. Sigmund Freud menyimpulkan bahwa agama harus dipandang sebagai suatu gejala dari tahun-tahun masa kecil yang hidup terus  dalam kedewasaan, suatu ketidakdewasaan yang kolektif, suatu simtom neurotis, suatu impian, suatu illusi. W. Wund berpendapat bahwa agama ditinjau dari segi asal-usulnya merupakan gejala yang berhubungan dengan kehidupan jiwa bangsa, bukan kehidupan jiwa individu. William James menyimpulkan bahwa orang healthy minded soul dapat mengembangkan diri secara selaras, sedang orang yang sick soul bersifat pesimistis dan bertabiat melankolis (Jongeneel, 1987: 88-89). Gordon Allport membagi masyarakat religius ke dalam tipe instrinsik dan ekstrinsik.  Starbuck mengkaji tentang fenomena konversi keagamaan. Leube di samping mengkaji tentang   konversi keagamaan juga tentang pengalaman mistik (Connolly, 2002: 192, 196).
 Beberapa sarjana yang mengkaji agama secara psikologis antara lain  S. Freud, W. James, Gordon Allport, Carl Jung, Edwin Starbuck, Charcox, Ribot, Janet, Smityh and Fowler, Vande Kemp, dsb. (Whaling, 1984: 27-36).

      d. Metode Antropologis.
            Metode ini memandang agama dari sudut pandang budaya manusia. Asal-usul dan perkembangan agama dikaitkan dengan budaya manusia (Harsojo, 1984: 221). Biasanya metode ini berjalan sejajar dengan aliran-aliran yang ada dalam antropologi. Misalnya aliran evolusionisme, fungsionalisme, strukturalisme (Daradjat at. all., 1983: 56-60).
            Contoh dari penggunaan metode antropologis ini misalnya: Kajian E.B. Taylor dalam bukunya Primitive Culture, yang menyimpulkan bahwa menurut evolusi asal-usul agama adalah animisme. Berikutnya Andrew Lang dalam bukunya The Making of Religion menyimpulkan bahwa awal agama adalah kepercayaan kepada dewa yang tertinggi. Akhirnya James Frazer dalam bukunya The Golden Bough menyimpulkan bahwa magi merupakan agama yang tertua. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion menyimpulkan bahwa pangkal religi adalah suatu emosi atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa (Koentjaraningrat,1980: 46-61).
            Beberapa sarjana yang mengkaji agama dengan metode antropologis antara lain: Edward B. Tylor, Andrew Lang, James George Frazer, Robert R. Marett, Wilhelm Schmidt, Arnold vn Gennep, Bronislaw Malinowski, Robert H. Lowie (Waardenburg, 1973: xi, xiii).

     e. Metode Fenomenologis.
            Metode ini mengkaji agama dari segi essensinya. Dalam metode ini pengkaji agama  berusaha mengenyampingkan hal-hal yang bersifat subyektif. Pengkaji agama berusaha mengkaji agama menurut apa yang difahami oleh pemeluknya sendiri, bukan menurut pengkaji agama.
            Cara kerja metode ini adalah mengklasifikasi, menamai, membandingkan dan melukiskan gejala agama dan gejala-gejala agamani tersendiri (tertentu), dengan tidak memberikan penilaian  tentang nilai, kenyataan dan kebenaran agama dan gejala-gejala agama tersendiri (tertentu), tetapi menyerahkannya kepada filsafat agama dan teologi sistematis. Filsafat agama akan menilainya dalam terang akal-budi yang murni, sedang teologi sistematis akan menilainya dalam Penyataan Ilahi atau Wahyu (Jongeneel, 1978: 106-107).
            Contoh dari metode fenomenologis ini misalnya Rudolf Otto dalam bukunya The Idea of the Holy mengkaji tentang yang kudus (holy) (Otto, !950: vii-viii). Gerardus van der Leeuw dalam bukunya Religion in Essence and Manifestation mengkaji tentang obyek agama, subyek agama dan obyek dan subyek agama dalam hubungannya satu dengan lainnya (Leeuw, 1963: ix-xii). Mariasusai Dhavamony dalam bukunya Phenomenology of Religion mengkaji bentuk-bentuk primitif agama, obyek agama, agama dan pengungkapannya, pengalaman religius, dan tujuan agama (Dhavamony, 1995: 11-15). Annemarie Schimmel dalam bukunya Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam menkaji hal-hal yang suci dalam Islam: alam dan kebudayaan yang suci, ruang dan waktu yang suci, tindakan yang suci, firman dan kitab suci, individu dan masyarakat suci, Tuhan dan ciptaan-Nya (Schimmel, 1996: 7).
            Beberapa sarjana yang mengkaji agama dengan metode fenomenologis antara lain: Ninian Smart, G. Widrengen, Friedrich Heiler, Gustav Mensching, W. Brede Kristensen, C.J. Bleeker, R. Otto, dan Gerardus van der Leeuw (Whaling, 1984: 64-67). Di sini tampaklah beberapa sarjana yang di samping mengkaji agama secara fenomenologis juga historis, yaitu C.J. Bleeker dan G.Widrengen. Hal ini logis, karena metode fenomenologis lahir dari ibu kandung metode historis.

     e. Metode Typologis.
            Metode ini mengkaji agama atau gejala-gejala agama dengan membuat tipe-tipe tertentu. Di sini gejala-gejala agama yang ruwet disusun dengan tipe-tipe ideal. Dalam metode ini disusunlah tipe-tipe mistik, teologi, peribadatan, kharisma agama, pemimpin agama, kekuatan agama, kelompok-kelompok agama, kejiwaan pemeluk agama, dsb.
            Beberapa sarjana yang menggunakan metode tipologis ini misalnya: Max Weber, Howard Becker, Wiliiam James, Wilhelm Dilthy, Herder, Hegel (Wach, 1961: 26).

     f. Metode Perbandingan atau Komparatif.
            Dalam metode ini agama secara umum atau gejala-gejala agama (unsur-agama) diperbandingkan satu dengan lainnya. Ada beberapa cara dalam membandingkan ini. Menurut Ake Hultkranz, yang dibandingkan adalah fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks budaya. Menurut O. Lewis, perbandingan bisa berupa perbandingan terbatas maupun perbandingan tak terbatas. Menurut Platvoet, perbandingan dapat berupa agama-agama sebagai keseluruhan maupun perbandingan gejala-gejala yang bersamaan di dalam agama-agama. Adapun van Baaren dan Leertouver membedakan antara perbandingan transkultural dengan perbandingan kontekstual. Dalam perbandingan transkultural perhatian ditujukan kepada pada cara dan unsur-unsur agama yang dianggap oleh penganut agama tersebut berbeda dengan cara dan unsur agama orang luar. Sedang dalam perbandingan kontekstual agama atau unsur agama dibandingkan dalam situasi konteks agama dan kebudayaan masing-masing. Akhirnya Ake Hulkrantz juga menunjukkan perbandingan melalui prinsip-prinsip sejarah, fungsional, struktural, dsb.(Burhanuddin dan Beck, 1992: 53-56).
            Beberapa metode di atas biasanya dikenal sebagai metode yang bersifat ilmiah atau scientific. A. Mukti Ali menyatakan bahwa metode ilmiah saja tidaklah cukup untuk mendekati agama, perlu dilengkapi dengan metode lain yang khas agama yaitu metode dogmatis. Oleh karena itu metode yang lengkap unruk mendekati agama adalah sintesis dari metode ilmiah dan dogmatis yang disebut dengan metode religio-scientific atau scientific-cum-doctrinair atau ilmiah-agamis (Ali, 1993: 79).             
            Berdasarkan beberapa metode yang digunakan dalam Ilimu Perbandingan Agama di atas (historis, sosiologis, psikologis, antropologis, fenomenologis, typologies, dan komparatif) jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama bukan sekedar membanding-bandingkan agama. Ilmu Perbandingan Agama lebih merupakan ilmu yang mengkaji agama secara luas yang bersifat ilmiah atau scientific dengan menggunakan berbagai metode (historis, sosiologis, psikologis, antropologis, fenomenologis, typologies, dan komparativ) dan metode dogmatis sekaligus (ilmiah-agamis). Metode perbandingan atau komparatif hanyalah merupakan salah satu saja dari metode yang dipakai dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode perbandingan atau komparatif yang digunakanpun lebih luas dari persangkaan orang, yaitu sekedar membanding-bandingkan agama. Metode perbandingan yang dipakai dalam Ilmu Perbandingan Agama lebih luas dari pada itu, yaitu mencakup perbandingan fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks budaya, perbandingan terbatas dan tak terbatas, perbandingan transkultural dan kontekstual, perbandingan melalui prinsip-prinsip sejarah, fungsional, structural, dsb.

Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama.
     1.  Perkembangan di Dunia Barat.
            Di dunia Barat beberapa abad sebelum Yesus lahir, Herodotus (481 SM), beroros (250 SM), Cicero (106-38 SM), Sallustius (86-34 SM) telah memberikan sketsa tentang sejarah berbagai agama dan menggambarkan adapt kebiasaan bangsa-bangsa lain yang diketahuinya pada waktu itu. Strabo (63 SM – 21 M) telah menulis dengan kritis agama-agama di dunia Timur. Ia diikuti oleh Varro (116-27 SM) dan Tacitus (55-117 M).
            Selanjutnya beberapa penulis Kristen apologis pada abad-abad pertama seperti Aristides telah memberikan interpretasi tentang hubungan antara agama kafir, Yahudi dan Kristen. Berikutnya Clement dari Alexandria (202 M) menulis tentang agama Buddha. Saxo (1220 M) dan Snorri (1241) menulis tentang agama-agama di Eropa Utara.
            Marco Polo (1254-1324 M) yang telah menjelajahi Asia Tengah pada tahun 1271 dan Negeri Tiongkok pada tahun 1275 telah menulis tentang agama-agama Timur di Eropa pada masa itu.
            Pada masa Reformasi dan Renaissanse, Erasmus  (1469-1536 M) menulis tentang elemen-elemen agama kafir yang terdapat dalam peribadatan agama Roma Katolik dan ajaran-ajarannya. Kemudian diikuti oleh Toland dalam bukunya Christianity not Mysterius (1696).
            Sejalan dengan semangat Rasionalisme, maka mulailah teori evolusi tentang asal-usul agama, dengan menolak adanya revelation (wahyu). Hal ini tampak dalam bukunya David Hume dengan judul Natural History of Religion (1757) dan dalam bukunya Voltair berjudul Essay (1780).
            Selanjutnya diikuti dengan penelitian agama yang historis dari Duperon tentang agama Persia; William Jones tentang agama Sanskrit; Champollion tentang agama Mesir Lama; Rask tentang agama Persia dan India; Niebuhr, Botta, Layard dan lainnya menulis tentang agama Babilonia. Kemudian Ernest Renan (1822-1892) menjadi orang pertama yang menciptakan istilah “Comparative Study of Religion.”
            Setelah itu ilmu baru ini mendapat sambutan yang hangat di berbagai Universitas di Barat. Sebelum penutup abad ke-19 sudah terdapat ahli-ahlinya di Belanda, Switzerland, Perancis, Italia, Denmark, Belgia dan Amerika. Setelah itu diterbitkanlah beberapa buku, majalah, dan diadakan beberapa konggres internasional ( Ali, 1975: 11-14).
            Namun Ilmu Perbandingan Agama dalam arti yang sebenarnya lahir pada saat Max Muller (1823-1900) menulis beberapa karangannya tentang agama-agama. Oleh karena itu Max Muller dapat disebut sebagai bapak Ilmu Perbandingan Agama.
            Ilmu Perbandingan Agama di Barat dapat berkembang dengan baik karena didukung oleh suasana dan semangat ilmiah yang baik dan dana yang memadai.
           
     2.  Perkembangan di Dunia Islam.
            Cukup menarik bahwa di dunia Islam karangan atau tulisan tentang perbandingan agama terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu bumi dan sejarah. Misalnya tulisan agama-agama lain terdapat di dalam Kitab ad-Din wad-Dawlah karangan Ali ibn Sahl Rabban at-Thabari. Namun harus diakui bahwa beberapa tulisan tersebut bersifat apologis.
            Selanjutnya pada abad ke-11 tampillah Ibn Hazm (994-1064), salah seorang penulis besar dalam Islam, telah menulis kitab sekitar 400 jilid tentang sejarah, teologi, hadits, logika, syair, dsb. Kitabnya yang berkaitan dengan agama lain ialah Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal. Di dalam kitab tersebut Ibn Hazm membahas tentang agama Kristen dan Kitab Bible.
            Kemudian salah seorang penulis Muslim terkemuka, Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani (1071-1143) menulis Kitab Al-Milal wan-Nihal (1127). Di dalam kitab tersebut ia membagi agama menjadi: Islam, Ahlul Kitab dan orang yang mendapatkan wahyu tetapi tidak tergolong Ahlul Kitab, yaitu orng-orang yang bebas berpikir dan ahli-ahli filasafat.
            Namun haruslah diakui bahwa perkembangan pebandingan agama di dunia Islam tidak luput dari apologi. Tulisan yang bersifat apologis ini tampak dalam tulisan Ahmad as-Sanhaji Qarafi (meninggal 1235) dalam bukunya  Al-Ajwibah al-Fakhirah an al-As’ilah al-Fajirah. Kitab ini merupakan jawaban terhadap buku Risalah ila Ahad al-Muslimin yang dikarang oleh Uskup dari Sidon. Muhammad Abduh menulis buku Al-Islam wan Nashraniyah ma’al ‘ilmi wal-Madaniyah, sebagai jawaban terhadap tulisan-tulisan Farah Antun dalam Al-Jami’ah. Masih banyak beberapa tulisan dari penulis Muslim yang bersifat apologis misalnya Husain Hirrawi, Syaikh Yusuf Nabbani, Ahmad Maliji, Muhammad Ali Maliji, Abdul Ahad Dawud, dsb. Di sini perlulah disebut karangan  apologis yang sangat baik, yaitu buku The Spirit of Islam, karangan Ameer Ali.
            Secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam kurang menguntungkan dibandingkan dengan Barat. Sebagian besar kitab yang dikarang oleh penulis Muslim bersifat apologis. Kitab-kitab yang membahas tentang agama lain banyak yang tidak orisinil sumbernya. Sedikit yang orisinil dan itupun hanya mengenai agama Kristen. ( Ali: 1975: 15-19).
            Di samping itu dunia Islam lebih mementingkan pengembangan ilmu-ilmu ke-Islaman (‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadis, Ilmu Kalam, Fiqih, Tasawuf, dsb.) dan dakwah, dan kurang memperhatikan ilmu-ilmu agama yang bersifat empiris. Patut diperhatikan juga bahwa pada abad ke-19 beberapa Negara Islam dalam cengkeraman penjajahan Negara Barat, sehingga perhatian dipusatkan untuk pembebasan atau kemerdekaan negaranya dari penjajahan.
           
  1. Perkembangan di Indonesia
Di Indonesia Ilmu Perbandingan Agama mulai diajarkan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1961, atau satu tahun setelah berdirinya IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1964 terbitlah buku pertama tentang Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis oleh Dr. A. Mukti Ali dengan judul  Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema). Setelah seperempat abad lamanya belum terbit lagi buku Ilmu Perbandingan Agama yang membahas tentang metode dan sistema. Baru pada tahun 1986 terbitlah buku Ilmu Perbandingan Agama yang membahas tentang metode dan sistema yang dikarang oleh pengarang yang sama (Dr. A. Mukti Ali) dengan judul Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia.
Memang selama seperempat abad itu telah terbit beberapa karangan yang membahas tentang perbandingan agama, tetapi kalau dibaca secara sekasama tampaklah bahwa uraian-uraiannya masih berbersifat apologis dan kurang ilmiah. Lebih tepat beberapa karangan tersebut disebut sebagai karangan teologis atau Ilmu Kalam. Sebab biasanya dalam karangan tersebut agama-agama selain Islam diteropong atau dinilai dari agama Islam.
Secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia kurang berkembang dengan baik. Adapun sebab-sebabnya antara lain sebagai berikut:
a.    Kekurangan bacaan ilmiah.
b.    Kekurangan kegiatan penelitian secara ilmiah.
c.    Kekurangan diskusi akademis.
d.    Masih rendahnya penguasaan bahasa asing dari sebagian besar para mahasiswa           dan dosen, padahal hanya sedikit buku Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang membahas secara analitis.
Di samping itu ada bebrapa sebab yang bersifat fundamental, yaitu:
Pertama, pemikiran ulama di Indonesia tentang Islam lebih banyak menekankan bidang fikih yang bersifat normatif.
Kedua, setelah pemberontakan PKI, Isalam di Indonesia lebih banyak menekankan semangat dakwah, sehingga ilmu yang ditekankan ialah Ilmu Dakwah atau Missiologi.
Ketiga, karena Ilmu Perbandingan Agama lahir dari Barat  sehingga menyebabkan salah sangka dan curiga di kalangan umat Islam.
Keempat, para peserta kuliah Ilmu Perbandingan Agama kurang menguasai ilmu-ilmu bantu (Sejarah, Sosiologi, Antropologi, Arkeologi, dsb.). Di samping itu mereka kurang menguasai bahasa asing  (Ali,1998: 17-21).
Di samping itu Ilmu Perbandingan Agama kurang berkembang di Indonesia karena kurang dana, minimnya pertemuan ilmiah, dan kurang informasi tentang Ilmu Perbandingan Agama baik mengenai isinya maupun manfaatnya bagi kerukunan hidup beragama maupun untuk integrasi bangsa  Indonesia.

Manfaat Ilmu Perbandingan Agama bagi seorang Muslim.
              Ilmu Perbandingan Agama mempunyai banyak manfaat bagi seorang Muslim. Adapun beberapa manfaatnya  adalah sebagai berikut:
1. Dapat memahami kehidupan batin, alam pikiran dan kecenderungan hati dari berbgai umat manusia.
 2. Dengan mengetahui agama-agama lain seorang Muslim dapat mencari persamaan-persamaan (lebih tepat kesejajaran-kesejajaran ) antara agama Islam dengan agama-agama lain. Dengan demikian dapat membuktikan di mana letak keunggulan agama Islam dibandingkan agama-agama lain. Selanjutnya dapat mengetahui bahwa agama-agama sebelum Islam itu sebagai pengantar terhadap kebenaran yang lebih luas dan lebih penting, yaitu agama Islam.
 3. Dengan membandingkan agama Islam dengan agama-agama lain dapat menimbulkan rasa simpati terhadap orang-orang yang belum mendapatkan petunjuk tentang kebenaran. Selanjutnya akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk menyiarkan kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama Islam kepada masyarakat luas.
 4. Dengan membandingkan ajaran-ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain akan memudahkan untuk memahami isi dari agama Islam itu sendiri. Bahkan dengan cara membandingkan  tersebut dapat memperdalam keyakinan seorang Muslim terhadap ajaran-ajaran yang terkandung di dalam agama Islam itu sendiri, atau dapat menampakkan mutu manikam ajaran Islam yang kadang-kadang tidak disadari sebelum dibandingkan dengan agama lain.
 5.  Dengan mengetahui konsep-konsep ajaran agama lain seorang Muslim akan dapat belajar menemukan konsep-konsep yang mudah dicerna orang lain. Sebab sering ajaran Islam sulit difahami orang lain karena orang Islam sendiri sering mengemukakan konsep-konsep ajaran Islam yang rumit dan sulit.
 6. Dengan mengetahui ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim dapat lebih baik dalam berdakwah. Sebab ia dapat lebih baik dalam menentukan metode, materi, konsep-konsep, strategi, dsb. sesuaia dengan sasarannya.
 7. Pada era globalisasi ini dimana bangsa-bangsa, suku-suku, golongan-golongan, dengan lebih mudah saling bertemu dan berkomunikasi karena berbagai kepentingan, maka pengetahuan akan agama-agama lain sangat dibutuhkan. Karena dengan bertemunya macam-macam bangsa, suku dan golongan tersebut pada dasarnya juga saling bertemu agamanya. Selanjutnya dengan memahami ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim akan lebih mudah toleran dan hidup rukun dengan orang yang beragama lain. Akibat lebih jauh dengan adanya kerukunan hidup beragama itu para pemeluk agama-agama dapat saling bersatu untuk perdamaian dunia, mengentaskan kemiskinan, membangun bangsanya atau dunia, memerangi kejahatan, meninggikan moral, dsb. ( Ali, 1975: 38-41).
8. Dengan menguasai Ilmu Perbandingan Agama seorang Muslim akan   lebih mudah  melakukan dialog dengan pemeluk agama lain (Ali, 1993: 84).
Di samping itu dengan mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, meneliti dan mengembangkannya, seorang Muslim dapat mengkaji agama-agama lain terutama yang berada di Barat, sehingga dengan sendirinya akan mengembangkan Occidentalisme atau pemahaman tentang budaya dan agama Barat.  Sehingga seorang Muslim tidak hanya membiarkan agama Islam sebagai obyek kajian para Orientalis , tetapi juga menjadi subyek dengan mengkaji agama-agama selain Islam (terutama agama orang Barat).
Lebih dari itu Ilmu Perbandingan Agama-pun dapat dijadikan sebagai ilmu bantu atau alat untuk dakwah. Sebagaimana Ilmu Filsafat dan Logika dapat dipakai oleh para Mutakallimin untuk membela agama Islam, karena musuh-musuh Islam-pun menggunakan Ilmu Filsafat dan Logika untuk menyerang Islam, demikian juga Ilmu Perbandingan Agama  dapat digunakan oleh para dai untuk berdakwah. Dalam hal ini “ilmu bukan untuk ilmu,” lebih khusus lagi “Ilmu Perbandingan Agama bukan hanya untuk Ilmu Perbandingan Agama,” tetapi ilmu atau lebih khusus lagi Ilmu Perbandingan Agama, untuk ibadah, khususnya ibadah dalam bidang dakwah.

Kesimpulan.
            1. Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu yang mengkaji agama-agama dengan menggunakan beberapa metode ilmiah dan dogmatis sekaligus (ilmiah-agamis, religio-scientific atau scientific-cum-doktrinair).
            2. Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Barat lebih menguntungkan  dibandingkan di Dunia Islam dan di Indonesia. Perkembangan di Barat lebih menguntungkan karena didukung oleh suasana ilmiah yang kondusif dan dana yang cukup tersedia. Perkembangan di dunia Islam dan di Indonesia kurang menguntungkan di samping kurang kondosifnya suasana ilmiah juga masih kekurangan dana.
            3.  Ilmu Perbandingan Agama sangat bermanfaat bagi seorang Muslim, sebab dengan mempelajarinya dapat memahami agama-agama  lain baik  ajaran-ajarannya   maupun perkembangan penafsiran dan lembaganya secara empiris. Selanjutnya dapat menemukan mutu manikam keunggulan ajaran Islam setelah dibandingkan dengan agama-agama lain. Akhirnya dapat digunakan sebagai dialog, kerukunan hidup beragama  dan dakwah.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. Mukti. Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema). Yogyakarta, 1975.

_______________. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung, 1993.

Connolly, Peter (terj.) Imam Khoiri. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta, 2002.

Daradjat, Zakiah (ed). Perbandingan Agama, II. Jakarta, 1992.

Daya, Burhanuddin dan Herman Leonard Beck (ed). Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda (Beberapa Permasalahan).  Jakarta,1990.

_______________. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda. Jakarta, 1992

Dhavamony, Mariasusai (terj.) A. Sudiarja et. all. Fenomenologi Agama. Yogyakarta, 1995.

Harsojo. Pengantar Antropologi. Jakarta, 1984.

Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta, 1986.

Jongeneel, J.A.B. Pembimbing ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum Pembimbing ke dalam Ilmu Agama,I. Jakarta, 1978.

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi, I. Jakarta, 1980.

Leeuw, van der. Religion in Essence and Manifestation. New York, 1963.

Nottingham, Elizabeth K (terj.) Abdul Muis Naharong. Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta, 1985.

Otto, Rudolf. The Idea of the Holy an Inquiry the Non-Rational Faktor in the Idea of the Divine and Its Relation to the Rational. New York, 1950.

Schimmel, Annemarie (terj.) Rahmani Astuti. Rahasia Wajah Suci Ilahi. Bandung, 1996.

Waardenburg, Jacques. Classical Approaches to the Study of Religion Aims, Methods and Theories of  Research, I, Introduction and Anthology. Paris, 1972.

Wach, Joachim. The Comparative Study of Religions. Columbia, 1969.

Whaling, Frank. Contemporary  Approaches: to the Study of Religion. New York, 1984.

Poligami oh Poligami

| | 0 komentar |
Untuk sobat PAI. Community,
Mengapa lelaki dibenarkan beristeri lebih daripada satu dalam Islam?
Iaitu mengapa poligami dibenarkan dalam Islam?
Jawaban:
1. Definisi Poligami
Poligami bermaksud satu sistem perkahwinan yang mana seseorang mempunyai lebih daripada seorang pasangan hidup. Terdapat dua jenis poligami. Pertama, poligini, iaitu seorang lelaki berkahwin lebih daripada seorang isteri, dan satu lagi ialah poliandri, iaitu seorang wanita mempunyai lebih daripada satu orang suami. Dalam Islam, poligini terhad adalah dibenarkan; manakala poliandri ditegah sama sekali.
Berbalik kepada soalan asal, mengapa seorang lelaki dibenarkan mempunyai lebih daripada seorang isteri.?
2.  Al-Quran satu-satunya kitab di muka bumi ini yang mengandungi ungkapan “kahwinilah seorang sahaja”. Tiada kitab lain yang menyuruh lelaki untuk beristeri satu sahaja. Tiada dalam kitab agama lain, sama ada Vedas, Ramayanan, Mahabharat, Geetha, Talmud atau Bible boleh ditemui pembatasan had jumlah isteri yang dibenarkan. Menurut kitab2 tersebut, seseorang dibenarkan berkahwin seramai mana yang diingini. Hanya kemudiannya, pendeta Hindu dan Gereja Kristian membatasi jumlah isteri kepada satu.
Menurut kitab tersebut, ramai personaliti agama Hindu mempunyai ramai isteri. Raja Dashrat, bapa Rama mempunyai lebih daripada seorang isteri. Krishna mempunyai beberapa orang isteri.
Dahulu, lelaki Kristian dibenarkan beristeri seramai mana yang mereka ingini, oleh kerana Bible tidak mengehadkan bilangan isteri. Hanya beberapa abad lalu, pihak Gereja membatasi bilangan isteri kepada satu.
Poligini dibenarkan dalam agama Yahudi. Menurut undang-undang Talmut, Ibrahim mempunyai 3 isteri manakala Sulaiman, mempunyai ratusan isteri. Amalan poligini berterusan sehingga Rabai Gersom ben Yehudah (960-1030) mengeluarkan perintah melarangnya. Komuniti Yahudi Sephardic yang tinggal di Negara Islam, berterusan mengamalkan poligini sehingga selewat-lewatnya tahun 1950, sehingga satu akta yang dikeluarkan oleh Mahkamah Ketua Rabai Israel mengharamkan penganutnya beristeri lebih daripada seorang.
3. Poligini banyak diamalkan oleh penganut agama Hindu dibandingkan dengan penganut Islam.
Laporan Jawatankuasa Status Wanita dalam Islam; diterbitkan pada 1975 menyebut pada halaman 66 dan 67 bahawa peratus perkahwinan berpoligami di antara tahun 1951 dan 1961 adalah 5.06% di kalangan penganut Hindu dan hanya 4.31% di kalangan penganut Islam.
Menurut perundangan India, hanya lelaki Islam dibenarkan beristeri lebih daripada seorang. Walaupun diharamkan, penganut Hindu mempunyai lebih ramai isteri berbanding penganut Islam. Dahulu, tiada had jumlah isteri, walaupun kepada lelaki Hindu. Hanya pada tahun 1954, apabila Akta perkahwinan Hindu diluluskan, penganut agama Hindu diharamkan beristeri lebih daripada seorang. Sekarang, undang-undang India dan bukannya kitab agama Hindu yang menghalang lelaki Hindu beristeri lebih daripada satu.
Mari kita menganalisis mengapa Islam membenarkan lelaki beristeri lebih daripada seorang.
4. Al-Quran membenarkan poligini terhad.
Seperti yang telah disebutkan, Al-Quran satu-satunya kitab suci di muka bumi ini yang menyebut ‘kahwinilah seorang sahaja’. Konteks ungkapan ini adalah melalui ayat daripada kitab Suci Al-Quran iaitu Surah An-Nisa’ yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu:
Maka kahwinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut dia tidak akan dapat berlaku adil, maka kahwinilah seorang saja.”
[An-Nisa’ 4:3]
Sebelum Quran diturunkan, tiada had untuk poligini dan ramai lelaki memiliki ramai isteri, ada yang sehingga beratus-ratus. Islam meletakkan had sehingga empat isteri. Islam membenarkan lelaki berkahwin dua, tiga atau empat, dengan syarat berlaku adil kepada semua isteri.
Dalam juzuk yang sama iaitu Surah An-Nisa’ ayat 129 firmannya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu…..
[An-Nisa’ 4:129]
Oleh itu poligini bukanlah peraturan tetapi kekecualian. Ramai yang tersalah anggap bahawa menjadi kemestian bagi seorang lelaki Islam mempunyai lebih daripada seorang isteri.
Secara am, ada lima perkara yang dibolehkan dan yang tidak boleh dalam Islam:
a) Fardhu, iaitu Wajib atau perlu
b) Mustahab, iaitu disyorkan atau digalakkan
c) Mubah, iaitu dibolehkan atau dibenarkan
d) Makruh, Iaitu tidak disyorkan atau digalakkan
e) Haram, iaitu dilarang atau tidak dibenarkan
Poligini termasuk dalam kategori ketiga perkara-perkara yang dibenarkan. Tidak boleh diandaikan bahawa seorang lelaki Islam yang mempunyai dua, tiga atau empat isteri adalah lebih beriman dibandingkan dengan seorang Islam yang beristeri satu.
5. Purata jangka hayat wanita melebihi lelaki.
Lelaki dan wanita dilahirkan dengan anggaran nisbah yang sama. Seorang kanak-kanak perempuan mempunyai imuniti yang lebih tinggi berbanding kanak-kanak lelaki. Atas sebab ini, semasa umur pediatrik lagi, terdapat lebih kematian di kalangan lelaki berbanding perempuan.
Semasa peperangan, lebih ramai lelaki terkorban berbanding wanita. Lebih ramai lelaki mati akibat kemalangan dan penyakit berbanding wanita. Purata jangka hayat wanita lebih tinggi daripada lelaki dan pada bila-bila masa jua, bilangan balu melebihi bilangan duda.
6. India mempunyai populasi lelaki yang lebih tinggi akibat pembunuhan janin dan bayi perempuan. India merupakan salah satu daripada beberapa Negara, bersama dengan Negara-negara jiran lain, di mana populasi wanita lebih rendah daripada lelaki. Ini disebabkan kadar pembunuhan bayi perempuan yang tinggi di India, dan hakikat bahawa lebih daripada satu juta janin perempuan digugurkan setiap tahun di Negara tersebut, selepas jantinanya dikenal pasti sebagai perempuan. Sekiranya amalan buruk ini dihentikan, India juga akan mempunyai lebih ramai wanita berbanding lelaki.
7. Populasi wanita di dunia melebihi populasi lelaki.
Di Amerika Syarikat, wanita melebihi lelaki sebanyak 7.8 juta. New York sahaja mempunyai jumlah wanita yang melebihi lelaki sebanyak 1 juta, dan daripada populasi lelaki yang berada di New York, 1/3 merupakan homoseksual. Amerika Syarikat secara keseluruhannya mempunyai lebih daripada 25 juta homoseksual dan lesbian. Ini bermakna golongan ini tidak berminat untuk mengahwini wanita. Wanita di Great Britain melebihi lelaki sebanyak 4 juta. Wanita Jerman melebihi lelaki sebanyak 5 juta. Wanita Rusia pula, melebihi lelaki sebanyak  9 juta. Hanya Tuhan sahaja yang tahu jumlah wanita di seluruh dunia yang melebihi jumlah lelaki.
8. Menyekat setiap dan semua lelaki untuk beristeri satu sahaja adalah tidak praktikal.
Sekiranya setiap lelaki hanya beristeri satu, masih terdapat lebih daripada 30 juta wanita di Amerika Syarikat yang tidak dapat bersuami (memandangkan Amerika mempunyai 20 juta homoseksual dan lesbian). Di Britain akan terdapat lebih daripada 4 juta wanita, 5 juta wanita di Jerman dan di Rusia sahaja 9 juta wanitanya akan gagal mendapat suami.
Andaikan saudara perempuan saya merupakan salah seorang wanita yang belum berkahwin di Amerika Syarikat atau andaikan saudara perempuan anda merupakan salah seorang wanita yang belum berkahwin di Amerika Syarikat. Hanya terdapat dua pilihan yang tinggal baginya: iaitu sama ada berkahwin dengan suami orang ataupun ia menjadi “milik awam”. Sesiapa yang bermaruah pasti memilih yang pertama.
Dalam masyarakat barat, adalah menjadi kebiasaan bagi seorang lelaki untuk mempunyai perempuan simpanan dan atau mempunyai hubungan luar nikah yang banyak, di mana, wanita tersebut menjalani kehidupan yang mengaibkan dan tidak dilindungi. Masyarakat yang sama juga, bagaimanapun, tidak dapat menerima lelaki yang mempunyai lebih daripada seorang isteri, di mana wanita itu dapat mempertahankan kehormatan dan maruah diri dalam masyarakat dan menjalani kehidupan yang dilindungi.
Oleh itu, hanya dua pilihan untuk seorang wanita yang gagal mencari suami, iaitu berkahwin dengan suami orang atau menjadi milik awam. Islam mementingkan kedudukan yang terhormat untuk wanita dengan membenarkan pilihan pertama dan tidak membenarkan pilihan kedua.
Terdapat beberapa sebab lain mengapa Islam membenarkan poligami terhad, tetapi tujuan utama adalam untuk memelihara maruah wanita.

POLIANDRI
Soalan:
Jika seseorang lelaki dibenarkan mempunyai lebih daripada seorang isteri, mengapa Islam melarang wanita bersuami lebih daripada satu?
Jawapan:
Ramai orang, termasuk orang Islam mempersoalkan kewajaran membenarkan lelaki Islam mempunyai pasangan melebihi satu sedangkan ‘hak’ yang sama dinafikan kepada kaum wanita.
Benarkan saya terlebih dahulu menegaskan bahawa asas masyarakat Islam adalah keadilan dan kesaksamaan. Allah mencipta lelaki dan wanita sebagai sama, tetapi dengan keupayaan dan tanggungjawab berlainan. Lelaki dan Wanita berbeza, secara fisiologi dan psikologi. Peranan dan tanggungjawab mereka berbeza. Di dalam Islam, Lelaki dan wanita adalah sama tetapi tidak serupa.
Berikut disenaraikan satu per satu sebab Islam melarang poliandri:
1. Jika seseorang lelaki mempunyai lebih daripada seorang isteri, ibu bapa anak yang lahir daripada perkahwinan tersebut mudah dikenal pasti. Bapa serta ibunya dapat di kenal pasti dengan mudah. Sekiranya seorang wanita mempunyai lebih daripada seorang suami, hanya ibu kepada anak yang lahir daripada perkahwinan tersebut dapat dikenal pasti tetapi tidak bapanya. Pengenalan kedua ibu bapa amat dititikberatkan di dalam Islam. Ahli psikologi mendedahkan bahawa anak-anak yang tidak mengetahui siapa ibu bapa mereka, terutama bapa, mengalami gangguan dan trauma mental yang teruk.
Kebiasaannya, zaman kanak-kanak mereka tidak bahagia. Atas alasan ini juga, anak-anak pelacur melalui zaman kanak-kanak yang tidak sihat. Sekiranya anak di luar nikah didaftarkan ke sekolah dan ibunya ditanya siapa bapa kanak-kanak tersebut, wanita itu perlu memberikan dua atau tiga nama! Saya menyedari bahawa kemajuan sains terkini membolehkan kedua ibu dan bapa dikenal pasti menerusi bantuan ujian genetic. Oleh itu, pandangan ini yang mungkin bersesuaian pada masa dahulu kini tidak lagi bersesuaian.
2. Berdasarkan tabii, lelaki lebih cenderung berpoligami berbanding wanita. Ini kerana Allah mengurniakan naluri kasih dan cinta lelaki tidak sama dengan naluri kasih dan cinta wanita. Naluri inilah yang mengangkat lelaki menjadi ketua dalam keluarga.
3. Secara biologi, lebih mudah bagi kaum lelaki menjalankan kewajipannya sebagai suami meskipun mempunyai beberapa orang isteri. Dalam situasi yang sama, seorang wanita yang mempunyai beberapa orang suami, tidak akan dapat menjalankan tugasnya sebagai isteri. Wanita melalui pelbagai perubahan psikologi dan perilaku akibat perubahan fasa kitaran haid.
4. Seorang wanita yang bersuami lebih daripada satu akan mempunyai beberapa pasangan seksual pada masa yang sama dan mempunyai peluang tinggi untuk mendapat penyakit kelamin atau penyakit jangkitan seksual yang boleh menjangkiti suami mereka walaupun kesemua mereka tidak melakukan seks di luar nikah. Hal ini tidak akan berlaku kepada lelaki yang mempunyai isteri melebihi satu dan tiada di antara mereka yang mengamalkan seks di luar nikah.
Alasan-alasan di atas adalah alasan yang mudah dikenal pasti. Mungkin terdapat pelbagai lagi sebab mengapa Allah yang Maha Bijaksana, melarang poliandri.