Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Postulasi Agama

| Minggu, 16 Oktober 2011 | 0 komentar |



Setiap Agama mempunyai dogma (postulat) tersendiri, yang wajib ditaati dan diimani para pemeluknya. Postulat Agama kadang (baca: kebanyakan) bertentangan dengan Akal sehat manusia, namun para pemeluknya yang sudah mempercayainya tak lagi berani mengkritisi hal-hal yang seharusnya dipertanyakan kebenarannya, bahkan memikirkannya pun mereka takut. Hal itu dikarenakan mereka telah dijinakkan oleh aturan-aturan Agama.

Beberapa strategi Agama dalam menjinakkan para penganutnya ialah:

1. Katahuilah bahwa Nabi yang kita anut adalah orang yang terpercaya (tidak pernah bohong, dan kata-katanya adalah kata-kata Tuhan), maka, apapun yang diucapkannya adalah kebenaran yang harus kita percaya dan taati.

Ketika kita telah percaya pada dogma pertama ini, maka secara psikologis kita akan menuruti apapun yang dikatakan oleh Nabi, dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia adalah orang yang salah.

2. Kitab Agama kita adalah kitab yang sempurna, kalimat Tuhan, dan kata-kata di dalamnya akan dijaga keasliannya oleh Tuhan sendiri sampai akhir dunia.
Dalam dogma ke-dua kita dipaksa untuk mempercayai seluruh isi kitab, dan meyakini bahwa tak ada satu kata pun yang diubah oleh kepentingan manusia, karena Tuhan berjanji dalam kitabnya bahwa Dia akan menjaga kitabnya dari kekeliruan dan perubahan.

ketika kita telah mempercayai dogma ke-dua ini, maka kita akan menyalahkan segala hal yang bertentangan dengan Kitab tersebut, meskipun secara Logika kita meyakini kebenarannya, namun karena bertentangan dengan kitab kita terpaksa harus mengingkarinya, karena kalau tidak, maka kita telah menghina Tuhan yang bersabda dalam kitab tersebut.

3. Agama kita adalah satu-satunya agama yang benar, sedangkan Agama yang lain tidak benar. Karena dalam kitab telah dijelaskan oleh Tuhan. Orang yang mengimani Agama kita akan masuk surga, dan yang tidak mengimani Agama kita akan masuk neraka, meskipun mereka berbuat kebaikan di dunia, karena yang dinilai adalah iman mereka bukan perbuatan mereka.

Ketika kita mempercayai dogma ke-tiga, maka sebaik apapun seseorang jika dia tidak seagama dengan kita, maka kita menganggap dia adalah orang yang akan masuk neraka, dan kita harus membuat dia percaya dan masuk Agama kita.

Secara psikologis kita akan membenci orang yang tidak seagama dengan kita, karena mereka akan masuk Neraka.

Dogma-dogma itu telah menyesatkan pola pikir manusia. Membuat seseorang membenci orang lain hanya karena berbeda iman, Menyangkal kebenaran hanya karena tidak sesuai dengan Kitab Agama.


Konsep Lakum diinukum Waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) adalah bentuk slogan eksklusif, yang diucapkan ketika dialog Agama telah sampai pada puncaknya, yaitu absurditas (ketidak jelasan) karena ujung-ujungnya pasti saling mempertahankan keyakinan masing-masing.

Namun ketika dialektika berujung pada pemaksaan keimanan, maka yang terjadi adalah ekstrimisme atau aksi, bahkan main ancam.

Dalam proses diskusi, yang dibutuhkan adalah nalar dan logika. Namun ketika objek diskusinya Agama, kebanyakan dari kita tak bisa memisahkan logika dan iman, sehingga ujung-ujungnya adalah penyangkalan kebenaran akal, karena alam bawah sadar kita mengatakan bahwa akal kita terbatas untuk mediskusikan tentang rahasia di balik keyakinan kita, dan ada hal-hal yang tidak patut diperdebatkan.

Ketika dalam diskusi kita masih mengedepankan Iman, maka akhir diskusi adalah sikap eksklusif, penolakan kebenaran rasional. Sehingga kata-kata yang keluar adalah "ya sudahlah, itu keyakinanmu, tapi aku tetap yakin Agamaku benar (meskipun tak bisa dijelaskan secara rasional)"




Fiqih Lintas Budaya

| Kamis, 06 Oktober 2011 | 0 komentar |
Kita sudah sering mendengar istilah Fiqih kontemporer, Fiqih Eksklusif, Fiqih Moderat, Fiqih Sufistik, Fiqih Sosial, dan lain-lain. Banyak macam-macam Fiqih yang kita kenal, kita juga mengenal Fiqih Lintas Agama yang dipopoulerkan oleh aliran Islam Liberal. Namun agaknya Fiqih jenis ini banyak ditentang oleh para Kyai sepuh terutama di Provinsi Jawa Timur, yang kebanyakan dihuni oleh Islam Kanan.

Secara Bahasa, Fiqih Lintas Agama berarti suatu rangkaian hukum Islam yang diambil dari dasar cara pandang atau pola pikir inklusif atau perspektif terbuka pada Agama lain dengan mengenyampingkan postulat masing-masing agama dengan tujuan meminimalisir perbedaan, di samping itu juga mencari pokok-pokok persamaan agar dalam mengimplementasi hukum tetap berlandaskan pada mashlahatul ummat. Namun, dalam aplikasinya, Fiqih lintas Agama justru banyak meninggalkan praktek Islam pribumi yang terbentuk dari akulturasi budaya Indonesia dan Esensi Ajaran Islam, demikian juga Fiqih Lintas Agama juga dipelopori oleh aliran Liberal yang terlanjur mendapat stigma negatif dari kalangan Islam jawa dan kebanyakan Kyai sepuh. Oleh karena itu, Fiqih jenis ini kurang banyak diminati oleh mayoritas Muslim di Indonesia, meskipun secara implisit Gus Dur telah mengaplikasikannya dalam pergerakan Islam Pribuminya beberapa tahun yang lalu.

Agaknya Fiqih Lintas Agama terlanjur dianggap terlalu provokatif oleh mayoritas Muslim, baik dikarenakan redaksinya yang terlalu mencolok, atau kerena dipelopori oleh pihak yang telah mendapat raport merah dari korektor Muslim Indonesia, seperti MUI dan FPI.

Kini masyarakat dikenalkan dengan Fiqih Lintas Budaya yang cenderung lebih bersahabat dalam redaksinya, karena tidak lagi menyinggung Lintas Iman. Fiqih Lintas Budaya mengandung ideologi tentang eksistensialisme, yaitu prinsip di mana muslim diperkenankan untuk lebih Liberal dalam menerapkan hukum yang berkenaan dengan hal muamalah, serta mengkontekstualisasikan hukum Al-Qur'an dengan budaya setempat.

Fiqih Lintas Budaya lebih mengandung unsur kemasyarakatan dan hubungan hablun min an-naas dari pada hal-hal yang bersifat transeden (postulat), oleh karena itu Fiqih ini lebih bersahabat dan dapat diterima oleh kalangan muslim yang tidak telalu berani membincangkan, bahkan mempertanyakan tentang hal-hal transeden, yang mana hal itu adalah makanan shari-hari para penganut Aliran Liberal, dan dari sanalah Fiqih Lintas Budaya terlahir, meskipun banyak hal-hal yang disamarkan demi menarik minat masyarakat untuk mendalaminya.

Bersambung...!

Strategi Berpikir

| | 0 komentar |
Model Konvergen dan Divergen
Saya yakin kedua istilah tersebut telah dimengerti dengan baik, konvergen dan divergen. Bahasan ini bertujuan menyegarkan ingatan kita supaya kita bisa menyadari saat menggunakannya. Hal ini dianggap perlu lantaran kita biasanya cenderung memiliki kecondongan kepada satu pola berpikir saja. Padahal pola berpikir tersebut hanya cocok untuk situasi tertentu dan tidak produktif untuk situasi lainnya. Akibatnya, kecenderungan kepada salah satu pola berpikir akan membatasi diri kita sendiri.
Seperti dikemukakan di atas, pada saat kuliah kita sering mendengar cara berpikir konvergen dan divergen. Tapi sayang sekali kita tidak pernah dilatih untuk menggunakannya. Kelemahan sekolah-sekolah kita adalah mereka tidak pernah mengajarkan kepada kita cara berpikir. Mereka hanya mencekoki kita apa yang harus kita pikirkan ( apa yang harus dipelajari ) dan dinilai melalui ujian. Sedangkan bagaimana kita berpikir diserahkan kepada masing-masing individu. Akibatnya, secara tak sadar kita terjebak pada satu pola yang kita sukai saja sepanjang hidup kita. Dan pengambilan satu pola ini yang menyebabkan kita seringkali berbenturan dengan banyak orang dan menyulitkan kita mengikuti berbagai perubahan yang cepat.
Mengutip S.p.Reid dalam bukunya Berpikir Strategis, pemikiran konvergen dikaitkan dengan fokus dan mengarah pada jawaban tertentu. Terpusat pada sasaran akhir merupakan keinginan dasar dari jenis berpikir ini. Di sisi lain, pemikiran divergen dikaitkan dengan eksplorasi dan kreativitas, terbuka dan bergerak menjauh.
Masing-masing model berpikir tersebut memiliki aturan-aturan masing-masing yang saling berseberangan satu sama lain. Yang perlu dipahami, ke duanya tidak bisa dicampuradukkan. Masing-masing model cocok untuk situasi tertentu, dan seringkali tidak cocok untuk situasi lainnya.
Bayangkan, di sebuah UGD ada seorang pasien yang gawat. Dalam situasi seperti itu sangat dibutuhkan jawaban spesifik yang jelas , langkah-langkah yang pasti dan cepat untuk menangani pasien tersebut. Pemikiran-pemikiran kreatif dan imaginatif, dalam kondisi demikian, akan dipandang sebagai perilaku tidak bertanggung-jawab dan kurang ajar. Dalam situasi kritis yang membutuhkan langkah segera yang pasti, model berpikir konvergen sangatlah tepat.
Sebaliknya, ketika kita diminta membuat visi, di mana setiap person diminta pemikiran prediktifnya sangatlah tidak mungkin menggunakan pola berpikir konvergen ini. Andai saat akan menyusun visi yang akan dicapai bersama, kemudian pimpinan mengatakan,
“Silakan Anda mengembangkan ide-ide kreatif dan pikiran imaginatif sehingga akan diperoleh gambaran visioner yang kaya. Tapi mohon diingat, jangan sekali-sekali membuat gambaran yang tidak cocok dengan keadaan kita saat ini. Itu akan membuang-buang waktu dan pikiran saja.”
Atau “Silakan membuat visi yang kreatif, tapi mohon tidak melampaui visi yang telah saya buat.”
Atau ketika ada sebuah program baru yang hendak dijalankan. Lalu pimpinan mengadakan pelatihan-pelatihan untuk melaksanakan program tersebut. Dalam pelatihan itu, peserta hanya diberikan contoh-contoh pelaksanaan program tersebut. Pimpinan tidak pernah memberi kesempatan peserta untuk menyampaikan pemahamannya terhadap program tersebut.
Dalam situasi seperti itu, tidak akan mungkin lahir ide-ide kreatif. Semuanya hanya diarahkan kepada satu kemungkinan jawaban yang dianggap benar oleh pimpinan.
Seperti dikemukakan di atas, pola berpikir konvergen tidaklah mesti buruk, tapi menjadi kontraproduktif jika kita hanya cenderung menggunakan satu pola saja ( konvergen ) untuk segala situasi. Budaya yang berlaku di negara kita sangat kuat berkecenderungan pada satu pola ini. Sejak sekolah, oleh para guru kita hanya diperbolehkan kita menjawab satu jawaban yang dianggap benar saja, misalnya sesuai dengan pendapat guru atau texbook. Jawaban yang tidak cocok dengan pendapat guru atau texbook pasti dianggap salah. Dan kita dinilai goblog karena memberi jawaban yang tidak sesuai. Akibatnya lebih jauh, murid-murid tidak akan membaca buku atau mencari pengetahuan lain di luar yang disarankan guru, meski pun dari disiplin ilmu yang sama. Kalau membaca buku dari disipilin yang sama saja sudah enggan, apalagi membaca wacana dari disiplin ilmu yang lain, tentu mustahil.
Di dunia kerja juga berlaku hal yang demikian. Selama bertahun-tahun dunia kerja kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang memberlakukan pola pikir konvergen ini. Siapapun yang dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan protap dan juknis yang telah digunakan selama bertahun-tahun akan dianggap sebagai pekerja yang baik. Dan siapapun yang mempunyai pikiran-pikiran yang keluar dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku akan dicap pembangkang. Semuanya berkewajiban untuk tunduk patuh kepada aturan-aturan dan program-program yang telah ditetapkan oleh pimpinan. Menyampaikan program alternatif dipandang sebagai perlawanan terhadap pimpinan.
Sebagai akibat dari pembudayaan pola berpikir konvergen dalam waktu lama, maka tercipta budaya bisu. Di mana pun kita akan mudah mendapati orang-orang yang tidak berani berbeda pendapat dengan pimpinan, orang-orang yang tidak mampu menelurkan ide-ide baru, orang-orang yang suka ‘nggrundel’ ketika tidak menyetujui kebijakan pimpinan tapi tidak berani mengutarakan kepada pimpinannya, orang-orang yang tidak siap dengan perubahan, orang-orang yang selalu menolak hal-hal ( informasi ) baru dan masih berderet lagi sikap-sikap yang dihasilkan dari pembudayaan berpikir konvergen ini.
Padahal, jika dilihat dari kecenderungan-kecenderungan  yang berlaku di masyarakat saat ini sangat dibutuhkan person-person yang selalu mampu untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain untuk menjawab tantangan-tantangan baru yang ada, yang tidak lagi bisa dihadapi dengan cara-cara lama.
Dengan kenyataan tersebut, mau tidak mau kita juga harus mulai mengembangkan alternatif model berpikir yang lain, yakni model berpikir divergen. Namun perlu sekali lagi dipahami bahwa keharusan ini bukanlah disebabkan oleh jeleknya model konvergen. Seperti dicontohkan di atas, konvergen cocok diterapkan untuk situasi tertentu. Misalnya untuk situasi yang kritis dan mendesak, diperlukan langkah-langkah cepat untuk menanganinya.
Model berpikir divergen frekuensinya sangat terbuka lebar, berbeda dengan konvergen yang terfokus. Pola berpikir divergen selalu bergerak, mengarah keluar, mencari sesuatu yang menarik di sepanjang perjalanan. Keuntungan menggunakan pola pikir divergen yang baik adalah mereka seringkali piawai dalam menghasilkan ide dan alternatif. Tapi sayangnya, mereka tidak suka mengakhiri sesuatu dan mereka tidak suka bekerja dalam suatu sistem yang teratur. Lebih parah lagi, seringkali kelompok ini tidak bisa konsisten mengikuti sebuah program kerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Satu lagi kelemahan kelompok ini adalah tidak begitu memiliki ketrampilan menggunakan logika-logika formal. Padahal, dalam sebuah kerja tim seringkali ditemui masalah-masalah yang membutuhkan penyelesaian yang terfokus.
Di tangan pemikir divergen jarang sekali diperoleh hasil yang tuntas. Adalah berbahaya menyerahkan tanggung-jawab pelaksanaan program kerja yang membutuhkan hasil yang jelas. Perlu dipahami bahwa pemikir divergen murni hampir tidak pernah memikirkan pencapaian hasil, mereka hanya menikmati proses yang terbuka. Dalam arti, dalam perjalanan pelaksanaan program, bisa jadi rencana yang telah disepakati akan diabaikan. Mereka membuat perencanaan baru yang tidak jelas arahnya.
Dari uraian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa masing-masing pola berpikir memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Orang yang berpikir konvergen menyukai pendekatan logika, sementara orang divergen menyukai pikiran-pikiran yang terbuka dan kreatif. Masing-masing akan cocok untuk situasi tertentu dan tidak cocok untuk situasi lainnya. Ada situasi tertentu yang membutuhkan logika terstruktur, dan ada juga situasi lain yang membutuhkan pemikiran yang elastis dan terbuka.
Atas dasar kenyataan di atas, maka tidaklah mungkin kita hanya mengembangkan salah satu pola berpikir saja. Keduanya harus kita kembangkan secara seimbang. Yang dimaksud mengembangkan adalah seringkali menggunakan kedua pola berpikir tersebut dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kita hadapi. Menggunakan kedua pendekatan berpikir ini tidak sama dengan mencampuradukkan keduanya. Pencampuradukkan akan menghasilkan kekacauan berpikir.
Menurut S.P. Reid, ada orang yang terlahir “cemerlang” dan ada pula orang-orang hebat yang cukup beruntung dapat belajar sejak dini dari kehidupan bagaimana menguasai kiat memanfaatkan ketrampilan konvergen dan divergen tersebut. Mereka sering tampil di hadapan kita sebagai wirausahawan intuitif, pemimpin inovator dengan visi besar, atau sebagai genius. Selain itu, mereka dapat menjadi manajer luar biasa yang mampu menyelesaikan masalah-masalah paling kompleks dan multi aspek secara lebih cepat daripada kebanyakan orang. Kabar baiknya, pola tersebut dapat dipelajari dan ditingkatkan pada usia berapa pun juga.
Selanjutnya, menurut S.P. Reid, apakah dengan memiliki peta sederhana tentang proses intelektual berarti kita bisa  belajar menjadi genius di sebuah lokakarya atau kursus ? Jawaban singkatnya : tidak, banyak bukti menunjukkan bahwa meskipun ketrampilan berpikir itu dapat dipeoleh, masih diperlukan waktu setidaknya 10 tahun kerja keras untuk mewujudkan karya inspiratif dan mencerahkan yang dapat digolongkan “cemerlang” dalam bidang seni dan ilmu. Jadi, mengembangkan pola berpikir yang secara intuitif digunakan seorang genius takkan mengubah Anda menjadi seorang cemerlang dalam waktu semalam. Kabar baiknya adalah, begitu Anda mengetahui adanya dua pola berpikir yang sangat berbeda, keduanya dapat dikembangkan terus menerus di dalam diri Anda dan rekan Anda.

Berpikir HolistikYang dimaksud dengan berpikir holistik adalah model berpikir yang menggunakan model berpikir divergen dan konvergen secara bertahap. Kemampuan menggunakan kedua model berpikir tersebut, ditambah kemampuan “melihat” hubungan antara ide-ide atau informasi-informasi yang sebelumnya tidak terhubung merupakan dasar bagi berpikir cerdas.
Untuk bisa menguasai cara berpikir seperti itu, kita harus membiasakan pikiran kita menggunakan kedua model berpikir. Dunia kita saat ini hampir selalu mementingkan fokus dan kepastian sehingga berakibat    kemampuan otak kita untuk berpikir kreatif        ( divergen ) menjadi lemah. Oleh karena itu, untuk menguasai cara berpikir holistik seperti diuraikan di atas, kita harus sering melatih ke dua-duanya.
Pimpinan-pimpinan yang dianggap memiliki kinerja otak yang tinggi tampaknya mampu menggunakan sumber daya intelektual yang beragam. Kemampuan mereka dalam menganalisis situasi yang mereka hadapi dengan tajam dan memberikan solusi-solusi yang tepat menunjukkan kepiawaian mereka menggunakan berpikir divergen dan dilanjutkan dengan menggunakan cara berpikir konvergen. Jika seseorang terbiasa menggunkan pola berpikir dua tingkat seperti itu, maka otaknya akan secara konsisten bekerja seperti itu.
Yang perlu kita mengerti adalah begitu kita memahami arah dan penggunaan dari kedua cara berpikir tersebut, maka kita dapat memperoleh manfaat yang besar dari penggunaan cara berpikir holistik tersebut. Semakin sering kita mempraktekkannya, maka secara otomatis kualitas berpikir kita akan meningkat.