Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Filsafat dan Liberalisme

| Sabtu, 28 Januari 2012 | 0 komentar |
Banyak di antara kita yang belajar filsafat sekaligus mendalaminya, namun hanya sedikit dari kita yang menaruh empati dan mempraktekkan apa yang kita pelajari dalam kehidupan kita. Filsafat seakan hanya menjadi sarana untuk menganalisis produk pemikiran seseorang atau hanya digunakan untuk alat berpikir jernih, namun dalam kenyataannya praktek berfilsafat selalu dibatasi oleh ideologi masa lalu yang telah mendarah daging dalam diri kita.

Kita terlalu berat untuk meninggalkan postulasi agama demi kebebasan berpikir kita, padahal tujuan kita berfilsafat adalah untuk kebebasan berpikir dan pada gilirannya akan tiba saatnya untuk membuka tabir kepalsuan di balik postulat-postulat yang membius kita selama ini. Namun, dosis yang kita minum terlalu berlebih, sehingga kita ketagihan akan postulat agama yang menenangkan batin kita dan sekaligus membunuh akal sehat kita. Kita berat untuk meninggalkannya karena kita terlanjur ketagihan oleh ketenangan yang diberikannya. Yang ada dalam pikiran kita adalah, “Hanya Agamaku lah yang dapat memberikan yang ku butuhkan”. Jika demikian yang terjadi, maka tidak ada lagi obat sebaik apapun yang dapat menggantikannya. Berfilsafat tidak lagi berguna jika diterapkan pada orang-orang semacam itu.

Filsafat hanya untuk orang-orang yang bersedia membuka pikiran dan meninggalkan apa saja yang menghalanginya untuk berpikir bebas, karena itulah tujuan berfilsafat yang sebenarnya. Namun yang banyak kita temui adalah orang-orang yang berfilsafat untuk mencari kebenaran Agamanya dari sudut pandang logika (dalil aqli) namun mengingkari kebenaran yang bertentangan dengan agamanya. Yang demikian adalah proses berfilsafat yang didahului oleh tujuan-tujuan apologetis (mencari alibi untuk agamanya sendiri) sehingga tidak akan sampai pada perspektif inklusif atau kesadaran pluralis.

Perspektif inklusif atau keterbukaan hanya dimiliki oleh orang-orang dengan kecerdasan liberal (bukan kecerdasan spiritual). Karena dengan kecerdasan liberal, kita bisa berpikir luas melebihi apa yang kita anggap benar. Bagi saya paham liberal adalah hakikat kehidupan sosial, yaitu bebas dari segala belenggu kemanusiaan. Bebas dari belenggu tiranik. Bebas dari belenggu diskriminatif. Bebas dari belenggu ideologi, politik, agama dan setersunya. Hikmat liberalisme adalah pada nilai-nilai azazi kemanusiaan. Tak ada satu orang pun yang boleh merampasnya.

Sedangkan kecerdasan spiritual hanya menjaga ketenangan batin ketika kita dilanda derita atau sedang mengalami kesusahan, fungsi kecerdasan spiritual hanya untuk menstabilkan keadaan kita agar tetap berupaya untuk tenang dan positif thinking (bukan berpikir realistis), karena kecerdasan spiritual tak ada bedanya dengan khotbah jum’at atau kuliah shubuh yang tujuannya hanya untuk menguatkan iman kita dan selalu percaya pada tuhan yang mengatur jalan hidup kita.

Dengan kata lain, ESQ yang dipromosikan oleh Ginanjar adalah bentuk teori apologetik Islam yang dikemas lebih modern, dengan tujuan agar bisa dikonsumsi oleh orang-orang yang bosan dengan khotbah jum’at atau kuliah shubuh di televisi yang pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu dakwah Islam.
Oleh karena itu, filsafat belum sampai pada tujuannya bila belum sampai pada liberalisme.

Saya Benci Membaca Al-Qur'an

| | 0 komentar |
Perasaan ini timbul ketika saya menyaksikan sebuah realitas yang paradoks dalam keberagamaan saya sendiri. Ketika saya membaca Al-Qur’an, yang saya temukan adalah sindiran-sindiran yang tertuju kepada saya, terasa isi kandungannya mendiskreditkan saya selaku pembaca setianya. Betapa tidak, Ayat-ayat yang semula ditujukan untuk kaum kafir dan orang-orang munafik sama persis dengan praktik beragama yang saya lakukan.

Saya suka mengkultuskan seseorang yang menjadi idola saya, sehingga saya tidak lagi mempertimbangkan benar-tidaknya apa yang menjadi pikiran idola saya, yang penting kalau dia yang bicara saya percaya, kritik logis tidak lagi saya butuhkan untuk menilai statemen idola saya. Yang demikian disebut dalam al-Qur’an sebagai penyekutuan Tuhan, karena kebenaran Tuhan terlalu kompleks bila harus dituangkan dalam porsonofikasi statemen seorang manusia.

Selain itu saya juga suka mengingkari kebenaran yang datang dari orang yang berbeda pemikiran dengan saya, karena cara berpikir saya terlalu simpel, yaitu segala hal yang berkenaan dengan keyakinan saya adalah kebenaran yang tidak akan saya ingkari dan saya akan selalu membantah segala hal yang membuat "status quo" yang menjadi kayakinan saya terancam tereduksi. Yang demikian dikatakan dalam Al-Qur’an sebagai kemunafikan, yang dinyatakan bahwa “kebenaran hanya milik Allah” dan bisa datang melalui siapa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan tidak menutup kemungkinan juga dari musuh kita.

Berbagai paradoksi tersebut mengguncang batin saya, sampai-sampai saya berupaya untuk mengingkari semua realitas itu untuk mencari posisi aman dari predikat kafir dan munafik. Namun akhirnya saya sadar, saya tak boleh menambah satu kesalahan lagi dengan mengingkari kekafiran dan kemunafikan saya, yang harus saya lakukan adalah berhenti mengkambing hitamkan Al-Qur’an yang jelas-jelas telah menganggap prilaku saya sebagai prilaku golongan kafir dan munafik, dan juga berupaya semaksimal mungkin untuk mengganti prilaku-prilaku kekafiran dan kemunafikan dengan prilaku muslim yang sebenarnya, yang tak mudah mengingkari kebenaran di luar kepercayaannya dan yang tidak mudah membenarkan semua yang datang dari orang lain, betapa pun orang itu kita anggap shalih dan kita yakini, karena Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia untuk menganalisa dan mengkoreksi hal-hal yang semula dianggap benar sebagai kesalahan di masa depan untuk kemudian digantikan dengan kebenaran yang relevan dari pencarian-pencarian yang tak sekedar taqlid buta.

Pendidikan Agama di Indonesia

| Sabtu, 14 Januari 2012 | 0 komentar |
Kegelisahan ini timbul hanya ketika ku membaca alam yang megah di luar diriku sendiri, terpaku di atas tanah pertiwi, terdiam terbata dan terbatas oleh fakir asa, fakir bahasa.

Kulihat apa yang kurasa, yang kubaca dan kumengerti akan Indonesia pertiwi. Kuingat dasar negara dengan kedaulatan di tangan rakyat, namun rekayasa politik selalu saja membawa Tuhan dalam kedaulatan Negara, sehingga dalam Undang-Undang tentang tujuan pendidikan sampai dikatakan bahwa "Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan akhlaq anak didik" bukannya "mencerdaskan kehidupan bangsa" seperti yang termaktub dalam konstitusi.

Ada apa dengan Indonesia?
Indonesia, Negara yang mempunyai sumpah pemuda; "Bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu". Di dalamnya tak ada sumpah untuk beragama satu atau bertuhan satu. Tapi mengapa agama begitu menjadi hal yang dianggap penting hingga bisa memainkan alur politik, pemikiran dan kebudayaan di Indonesia.

Dalam konstitusi, secara eksplisit dikatakan bahwa Indonesia adalah negara sekuler. Karena Tuhan tak berdaulat di Indonesia, Negara Indonesia hanya berdasarkan kedaulatan rakyat. Tak seharusnya agama dijadikan sebagai parameter kewarganegaraan. Beragama adalah hak yang boleh diambil, boleh juga tidak. Sehingga makna dari sila pertama tidak harus diartikan sebagai keharusan warga Indonesia untuk memeluk agama.

Sayang sekali bila kepentingan hubungan kewarganegaraan dikesampingkan hanya demi kepentingan hubungan keberagamaan. Dan ironisnya kaum fundamentalis agama sering kali menggunakan sila pertama sebagai justifikasi untuk kekuatan dan kepentingan kelompok dalam eksistensinya di ranah public politic, itu pun diakibatkan oleh penafsiran pancasila yang eksklusif, subjektif dan disesuaikan dengan masing-masing ideologi yang dibawa, dalam hal ini agama.

Kenyataan yang terjadi adalah, agama menjadi objek penting dalam aturan hidup di Indonesia. Agama wajib diajarkan di lembaga pendidikan formal sejak dini. Sedangkan aspek yang diajarkan adalah aspek hukum agama dan akidah, yang notabene sangatlah rentan dengan eksklusifisme dan fundamentalisme. Padahal, pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk kepribadian bangsa. Apa jadinya bila pendidikan dikotori oleh fundamentalisme dan semangat-semangat kelompok yang lambat laun akan membentuk kepribadian bangsa yang puritan dan eksklusif.

Pendidikan Agama di Sekolah
Pendidikan agama di sekolah sebagaimana yang dirumuskan dalam kurikulum pendidikan agama sangatlah berorientasi pada keimanan dan ketakwaan, sehingga ukuran keberhasilan pendidikan agama adalah ketika anak didik telah mampu mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan, ada upaya dari Departemen agama untuk mengembangkan kurikulum pendidikan agama dengan menitikberatkan pada aspek psikomotorik anak didik, sehingga diharapkan pelajaran agama dapat terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan keseluruhan mata pelajaran dengan proses pendidikan terpadu. Hal ini sangat mengancam semangat Nasionalisme dalam jiwa anak didik. Bagaimana mungkin mata pelajaran yang dilandaskan pada kepercayaan dijadikan sebagai acuan proses pembelajaran di sekolah. Sedangkan yang disampaikan dalam pelajaran agama adalah masalah iman dan ritual keberagamaan. Anak didik diajarkan untuk memprioritaskan percaya pada doktrin agama, tanpa harus mempertanyakannya, dan kita tahu bahwa dalam ajaran agama diajarkan yang namanya claim truth, yaitu percaya bahwa agama kita lah yang paling benar, kemudian diajarkan ritual-ritual keberagamaan yang indikatornya tidak hanya mengarah pada aspek kognitif, namun juga psikomotorik, sehingga anak didik tidak cukup menjadikannya sebagai pengetahuan, namun juga harus bisa mempraktekkannya.

Kurikulum semacam itu selain membunuh daya kritis anak didik, juga seakan-akan bertujuan untuk mengutamakan keberagamaan dan meletakkan kepentingan kewarganegaraan pada ranah sekunder. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan utama kewarganegaraan dan realitas kemajemukan Indonesia, sehigga output dari proses pendidikan semacam itu tidak bisa diharapkan untuk bersikap adil dan bijak ketika dihadapkan dalam realitas kemajemukan di Indonesia.

Realitas multikultural seakan hanya menjadi wacana tanpa arah, karena sejak dini masyarakat telah dicekoki oleh nilai-nilai parsial, dalam hal ini moral agama, sementar nilai-nilai universal yang berpedoman pada hukum positif dan sejajar dengan rasionalitas sama sekali tidak diutamakan. Pendidikan semacam itu hanya akan menciptakan manusia-manusia dengan perspektif sempit tentang nilai dan moral.

Tak heran jika di Indonesia banyak terjadi konflik yang melibatkan ummat beragama, karena sejak dini masyarakat telah dididik untuk eksklusif, intoleran, dan hidup secara individual. 

Jika agama dianggap perlu untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah, maka seharusnya yang diajarkan adalah sejarah-sejarah peradabannya, bukan aspek hukum dan akidahnya, itu pun harus mencakup seluruh agama yang diakui di Indonesia. Sehingga pendidikan agama di sekolah tidak dimonopoli oleh agama mayoritas.

Seharusnya yang lebih diprioritaskan adalah pendidikan berbasis multikutural dengan mengenalkan keberagaman SARA di Indonesia sekaligus cara bijak untuk menyikapinya. Sehingga pluralitas dapat diterima dengan terbuka oleh setiap warga Negara, dan keutamaan hubungan kewarganegaraan bisa terjaga.

Dengan demikian seharusnya negara tidak melegitimasi pendidikan yang berimbas pada perpecahan yang disebabkan oleh fundamentalisme. Sehingga upaya yang harus diterapkan adalah pemisahan urusan Negara dan urusan agama. Biarlah agama diatur oleh kelompok agama masing-masing, walaupun seharusnya agama hanya boleh dikonsumsi secara individual. Namun jika dakwah atau pelestarian agama di masyarakat masih dianggap perlu bagi sebagian kelompok, maka biarlah itu diatur oleh kelompok masing-masing, dengan catatan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat dan tidak keluar dari hukum dan norma bernegara.

Sudah saatnya Kurikulum Pendidikan Indonesia menerapkan pendidikan kewarganegaraan yang berpedoman kepada sumpah pemuda, di mana sama sekali agama tidak disinggung di sana, sehingga semangat yang harus ditanamkan sejak dini adalah semangat untuk bersatu dan berkata sama di depan ayat-ayat kontitusi, bukan di depan ayat-ayat suci. Berpegang teguh pada kedaulatan Rakyat, bukan kedaulatan Tuhan.

Bagaimana dengan ummat beragama?
Dengan memisahkan Negara dari agama, bukan berarti negara menjadi anti terhadap agama. Namun justru masyarakat bisa lebih bebas untuk menganut agamanya masing-masing tanpa harus diatur oleh Negara. Dan konflik antar ummat beragama dapat diminimalisir, karena paling tidak Negara akan bertindak tegas terhadap konflik-konflik yang terjadi di masyarakat tanpa mempertimbangkan latar belakang keberagamaan, sehingga diskriminasi terhadap agama minoritas tidak lagi terjadi.