Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Polemik Fundamentalisme dalam Realitas Multikultural

| Senin, 13 Februari 2012 | 0 komentar |
Indonesia, Negara yang terkenal dengan keragaman suku, adat, ras, agama, dan budayanya terbentur dengan kenyataan pluralitas yang kompleks. Seakan orang-orangnya belum siap untuk menerima keragaman tersebut, sehingga dalam praktek bernegara  sering terjadi ketimpangan social yang disebabkan oleh kepentingan golongan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang lambat laun semakin mengikis persatuan bangsa.

Ketimpanagan tersebut banyak disebabkan oleh banyak hal, salah satu hal yang mempengaruhi adalah sistem pendidikan di Indonesia yang tidak bisa melepaskan diri dari belenggu fundamentalisme kelompok, dalam hal ini agama. Ketika kita telisik UU SISDIKNAS (sistem pendidikan nasional) Bab I pasaal 1 ayat pertama kita akan menemukan penjelasan bahwa tujuan penddikan adalah agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Bunyi penggalan undang-undang tersebut menunjukkan kepada kita secara eksplisit bahwa Negara telah ikut campur dalam urusan spiritual keagamaan yang seharusnya menjadi privasi masing-masing individu. Karena urusan kepercayaan tidak bisa diukur dan dinilai dengan hukum Negara. Sehingga jika agama dipaksakan untuk menjadi bagian dari urusan Negara, maka hukum dan dogma agama yang diajarkan disekolah akan mempengaruhi pola pikir anak didik dan akan berpotensi untuk menjadi tandingan hukum dan konstitusi Negara.

Hal tersebut jelas tidak kita inginkan, bagaimana mungkin Negara hukum dan demokratis diatur oleh hukum agama yang tidak lain adalah kitab suci. Namun kenyataan yang terjadi adalah, agama menjadi objek penting dalam aturan hidup di Indonesia. Agama wajib diajarkan di lembaga pendidikan formal sejak dini dengan alasan Indonesia adalah Negara beragama, sehingga sudah seharusnya Negara turut andil dalam pelestarian agama. Agama dianggap penting untuk terlibat dalam program pembangunan moral bangsa, dengan asumsi bahwa semakin agamis suatu masyarakat, semakin luhur pula budi pekertinya.  Namun kenyatannya, tidak sedikit penyimpangan dan kerusuhan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan agama.

Hal ini dapat kita temukan dalam beberapa kasus seperti teror bom di beberapa tempat umum, vandalism atau perusakan rumah-rumah ibadah, diskriminasi pada sekte-sekte yang dianggap sesat seperti Ahmadiyah, dan banyak lagi penyimpangan sosial yang dilatarbelakangi oleh sentimen agama. Bahkan jika kita mengingat kasus ditangkapnya Alex Aan (PNS atheis dari kota Padang Sumatera Barat) pada awal Januari tahun ini, hanya karena kepercayaannya, atheism, dianggap sebagai penodaan sila pertama, maka semakin jelas bahwa legitimasi Negara atas fundamentalisme agama begitu mempengaruhi banyak aspek dalam kelangsungan hidup bernegara, bahkan ranah hukum.

Dengan demikian, asumsi bahwa semakin agamis suatu masyarakat, semakin luhur pula budi pekertinya telah terbantahkan dengan beberapa kasus tersebut. Namun upaya pemerintah hanyalah sekedar penanggulangan dengan menggerakkan badan hukum yang dibuat khusus untuk menangani kasus-kasus tersebut, seperti Densus 88, bukannya menggali ke akarnya, yaitu mengkoreksi kembali sistem pendidikan yang berperan penting dalam pembentukan kepribadian bangsa. Karena jika kita pernah mencicipi pendidikan agama di sekolah, maka aspek yang diajarkan adalah aspek hukum atau dogma agama dan akidah, yang notabene sangatlah rentan dengan eksklusifisme dan fundamentalisme yang intoleran. Padahal, pendidikan adalah aspek terpenting dalam proses pemembentukan kepribadian bangsa. Apa jadinya bila pendidikan dikotori oleh fundamentalisme dan semangat-semangat kelompok yang lambat laun akan membentuk kepribadian bangsa yang puritan dan eksklusif.

Penangkapan Alex Aan (Atheis Minangkabau)

Namun, hal itu rupanya telah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan politik. Karena semakin fundamentalis suatu masyarakat, semakin tinggi pula keinginannya untuk menjadikan hukum keyakinan mereka menjadi hukum Negara, atau paling tidak, bisa ikut andil dalam menentukan hukum dan aturan hidup di Indonesia. Dan hal ini merupakan modal besar bagi politikus untuk meraih jabatan di kursi kekuasaan. Kaum fundamentalis adalah pendukung setia yang siap mengangkat seorang politikus yang dianggap bisa melaksanakan apa yang menjadi keinginan mereka. Sehingga upaya yang dilakukan oleh politikus tersebut adalah melestarikan fundamentalisme mulai dari kalangan paling bawah sampai teratas. Dan dunia pendidikan dianggap sebagai ladang subur untuk melestarikannya.

Dengan kata lain, jika fundamentalisme agama dilegitimasi oleh Negara dengan penyelenggarakan pendidikan agama di lembaga pendidikan formal, maka, Negara juga harus siap ketika konstitusi diintervensi oleh dogma agama yang dibawa oleh orang-orang dari kalangan fundamentalis. Sehingga bukan tidak mungkin apabila undang-undang nantinya akan dikuasai oleh kepentingan-kepentingan agama yang tidak lain adalah agama mayoritas.

Hal tersebut merupakan konsekwensi yang harus ditanggung Negara. Namun korbannya tak lain adalah rakyat. Dalam hal ini kaum minoritas jelas menjadi korban utama. Jika kita mengingat polemik RUU pornografi beberapa tahun yang lalu, maka itulah salah satu produk dari campur tangan agama dalam menyusun peraturan yang diberlakukan untuk seluruh warga Negara Indonesia. Jika saja RUU tersebut ditetapkan, maka yang dirugikan adalah para pecinta seni dan orang-orang yang menggeluti bidang intertaimen.

Jika kita mengingat kata “kedaulatan” maka di Indonesia hanya ada kedaulatan di tangan rakyat, hanya rakyat yang berdaulat di Indonesia. Namun intervensi agama selalu saja membawa Tuhan dalam kedaulatan Negara, sehingga dalam praktik penegakan hukum banyak terjadi diskriminasi terhadap kaum minoritas yang tidak cukup mempunyai kekuatan politik untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan konstitusi.

Berkembang pesatnya Partai politik Islam di Indonesia menunjukkan betapa banyak masyarakat Indonesia yang lebih percaya kepada pemimpin yang pro fundamentalisme dan melestarikan hubungan keberagamaan dari pada pemimpin yang nasionalis dan menjaga hubungan kewarganegaraan. Hal ini tidak lain adalah salah satu dampak dari proses pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah formal. Politik islam sudah tentu akan menghasilkan produk hukum ala islam dan dampaknya sudah tentu adalah fundamentalisme dan penggolongan masyarakat secara hirarkis berdasarkan agamanya.

Jefrey K. Hadden mengatakan dalam Profetic Religion and Politic (86) “Kebangkitan politik islam pada umumnya merupakan gejala telah lahirnya global fundamentalism yang siap melakukan penghadangan dan resistansi terhadap globalisasi, liberalisasi, serta kepentingan-kepentingan barat”. Dengan demikian kebangkitan politik islam berpotensi untuk menghambat terwujudnya bangsa yang adil dan sejahtera disebabkan oleh kebijakan-kebijakan politik yang akan cenderung memihak kelompok islam. Oleh karena itu kebangkitan politik islam di Indonesia harus diantisipasi dengan semangat multikultural sebagai perwujudan dari penerimaan realitas kebangsaan yang multi suku, adat, ras, agama, dan budaya. Untuk mewujudkannya tidak lain adalah dengan menyelenggarakan pendidikan berbasis multikultural dan pluralisme yang menanamkan kesadaran akan keanekaragaman SARA dan menuntun anak didik untuk bisa hidup berdampingan dengan bermacam-macam perbedaan.

Dengan demikian upaya yang seharusnya dilakukan oleh Negara adalah menjalankan program pendewasaan masyarakat dengan merekontruksi sistem pendidikan di sekolah formal ke arah pengutamaan kesadaran multikultur dan mereduksi atau paling tidak meminimalisir hal-hal yang menyebarkan bibit fundamentaisme. Jika hal itu adalah pelajaran agama di sekolah, maka seharusnya Negara membatasi aspek yang disampaikan dalam pelajaran agama di sekolah hanya dalam hal sejarah dan peradabannya, itu pun harus mencakup semua agama yang diakui di Indonesia sekaligus menyampaikan kemungkinan-kemungkinan adanya agama-agama atau kepercayaan yang belum diakui di Indonesia mengingat begitu pesat perkembangan budaya di Indonesia, tanpa harus memasukkan hukum dan doktrin kepercayaan agama tertentu yang pada akhirnya akan menjadi bibit fundamentalisme dan pemahaman yang sempit tentang nilai.

Pada intinya, Negara harus berupaya untuk memisahkan diri dari agama (menerapkan sekularisasi) secara utuh. Namun jika pelembagaan agama sebagai sarana dakwah atau pelestarian agama di masyarakat masih dianggap perlu bagi sebagian kelompok, maka biarlah itu diatur oleh lembaga otonom agama, dengan catatan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat dan tidak keluar dari hukum dan norma bernegara. Dan tugas Negara hanyalah untuk melayani lembaga-lembaga tersebut sesuai dengan proporsinya masing-masing tanpa pandang bulu.

Dengan begitu, kita berharap masyarakat bisa menerima realitas multikultural secara utuh. Penerimaan yang dimaksud tentu bukan sekedar toleransi, namun kesadaran untuk menerima dan menghormati orang lain yang berbeda dengan kita. Sehingga tercipta keharmonisan dan persatuan dalam perbedaan, seperti semangat sumpah pemuda untuk berbahasa satu,bertanah air satu, dan berbangsa satu – Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rocky Gerung – salah satu dosen besar di Universitas Indonesia Jakarta – dalam salah satu pidatonya “perbedaan kita tidak boleh menghalangi kita untuk berkata sama di depan ayat konstitusi, bukan ayat-ayat suci (kitab suci agama)”.

Dengan sistem sekuler (pemisahan Negara dari agama), bukan berarti Negara menjadi anti terhadap agama, namun justru sekulerisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan karena dalam menentukan kebijakan, terutamanya yang politis, akan didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Sehingga Negara akan kembali pada tujuan utamanya yaitu untuk melindungi hak setiap warga Negaranya, dan warga Negara bisa lebih bebas untuk menganut agama dan kepercayaannya masing-masing tanpa harus diatur oleh Negara. Serta konflik yang dilatarbelakangi oleh agama dapat dicegah, karena sejak dini masyarakat telah dididik dengan semangat kebhinnekaan. Kalaupun masih ada penyimpangan sosial yang dilatarbelakangi oleh agama,  paling tidak hukum yang berlaku akan bertindak tegas terhadap konflik-konflik yang terjadi di masyarakat tanpa mempertimbangkan hirarki keberagamaan, sehingga diskriminasi terhadap agama minoritas tidak lagi terjadi dan keutuhan hubungan kewarganegaraan akan terjaga.