Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

KEBOHONGAN

| Jumat, 23 Maret 2012 | 0 komentar |


Pria baru dalam hidup Anda bersumpah bahwa dia sudah melupakan mantannya, namun Anda tahu bahwa dia menyimpan foto wanita itu di dalam dompetnya atau di jok motornya atau di laci mobilnya. Insting kewanitaan Anda memberi tahu adanya sesuatu yang tidak beres, namun Anda tidak bisa membuktikannya.

Siapa yang bohong?
Setiap orang bohong. Hampir semua kebohongan terjadi pada jumpa pertama di mana setiap orang ingin menampilkan diri mereka dengan sebaik-baiknya. Hampir semua kebohongan yang kita katakan adalah Bohong Putih (meminjam istilah Allan Pease). Kebohongan jenis ini dinyatakan sebagai cara agar kita dapat hidup bersama tanpa kekerasan dan agresi karena seringkali kita lebih suka mendengar distorsi yang halus dari suatu kebenaran dari pada fakta-fakta yang nyata dan pahit.Bila Anda punya hidung yang sangat besar, Anda tidak ingin mendengar kebenaran tentangnya - Anda lebih suka mendengar bahwa hidung itu tampak bagus, bahwa tak ada seorang pun yang memperhatikannya, atau bahwa itu adalah ukuran yang tepat untuk wajah Anda.

"Selalu katakanlah yang sebenarnya - dan kemudian larilah."_ PERIBAHASA

Bila Anda pernah mengatakan kebenaran absolut kepada setiap orang yang Anda ajak berinteraksi sepekan kemarin, maka di manakah Anda berada sekarang? Di rumah sakit? Mungkin di penjara. Bila Anda mengucapkan kata-kata yang tepat melintas di benak Anda sewaktu Anda sedang memikirkannya, bagaimana tanggapan mereka? Satu hal yang pasti: Anda tidak akan punya teman, dan mungkin akan berakhir sebagai pengangguran.Bayangkan percakapan ini:

"Hai, Joko Gendut. Kamu kelihatan payah sekali deh. Kenapa tidak pakai kutang saja untuk menopang kedua susumu yang melorot seperti punya wanita tua itu?
"Hai, Yuli. Kenapa kamu nggak mendatangi dokter ahli penyakit kulit untuk membereskan semua bitik-bintik hitam jelek di wajahmu itu? Dan mengapa tidak kau rapikan bulu-bulu di hidung besarmu itu?
"Hai, Anton. Kamu ini jelek sekalii. Kenapa kau tidak berpikir untuk merapikan pakaianmu untuk menutupi kejelekan di wajahmu itu?

Contoh-contoh ini adalah kebenaran. Kebohongan bisa berupa, "Hai, Joko. Badanmu kelihatan segar sekali" atau "Hai, Yuli. Kamu memang cewek keren" atau "Hai, Jagad. Kamu memang lelaki pekerja keras".

Kapan terakhir kali Anda berbohong? Mungkin Anda tidak benar-benar berbohong, namun cuma membiarkan seseorang membuat asumsi yang salah berdasarkan apa yang Anda katakan atau tidak katakan kepada mereka, atau hanya sedikit berbohong untuk menghindari menyakiti perasaan mereka. Mungkin itu hanya sedikit bohong putih - Anda bilang bahwa Anda suka potongan rambut mereka, warna cat rumah atau pasangan baru mereka padahal sebenarnya tidak - atau Anda tidak ingin mereka mendengar kabar buruk dari Anda. Mungkin Anda melebih-lebihkan hal yang kecil untuk menampakkan diri Anda lebih baik demi mendapat simpati atau pekerjaan yang Anda inginkan.

Tatkala Anda menjual motor Anda, mungkin Anda lupa mengatakan adanya kebocoran oli yang terus terjadi pada mesinnya sewaktu Anda bilang betapa bagusnya kondisi Motor itu. Mungkin Anda mencat warna rambut Anda agar tampak lima tahun lebih muda atau menyisir beberapa helai rambut yang tersisa untuk menutupi bagian kepala Anda yang botak, dengan pikiran bahwa Anda dapat membuat orang lain mengira bahwa Anda masih memiliki kepala yang penuh rambut bagus. Pernahkah Anda memakai sepatu hak tinggi agar supaya kaki Anda tampak lebih tinggi dari keadaan yang sesungguhnya, bantalan bahu agar terlihat otoritasnya, atau mungkin berbohong tentang umur dan berat badan anda?

Kita terus-menerus berbohong satu sama lain. Para orang tua berbohong kepada anak-anak mereka tentang seks dan para remaja berbohong kepada orang tua mereka tentang masalah bahwa mereka sudah pernah berhubungan seks. Sebutlah itu apa saja sesuka Anda - Semua itu adalah kebohongan.

"Hanya musuh saja yang mengatakan kebenaran. Teman-teman dan para kekasih berbohong tiada habisnya."_STEPHEN KING

Namun, terlepas dari semua itu. Manusia hanya bisa hidup dengan kebohongan. Karena kebohongan yang diperlukan, sebenarnya juga merupakan kejujuran. Karena kebenaran itu selalu tampil dalam INTERPRETASI (Ferry: 2012). Ada yang nampaknya betul tapi tidak benar.

Kalau anak kecil itu menjadi "gila seks" pada masa dewasanya hanya karena diberi "penjelasan seks" sedemikian rupa sehingga ia salah menginterpretasikannya - entah karena terlalu jelas atau terlalu merangsang - sekalipun benar dari segi ilmu, tapi salah dari sudut pandang yang lebih luas, yakni kemanusiaan.

Syeh Siti Jenar mengajarkan semacam atheisme pada santri-santri dan masyarakatnya yang berakibat pada kekacauan tatanan sosial saat itu (malas, jahat, amoral, dsb). Bukan karena yang diajarkannya keliru, melainkan karena yang diajari BELUM SIAP untuk menerima "kebenaran" itu, sehingga Wali Songo mengatakannya sebagai "keliru" karena "membocorkan rahasia ilahi". Yang benar, mestinya ia BERBOHONG saat itu dan BERSTRATEGI dalam mengajarkan sesuatu sesuai dengan tingkat kedewasaan yang diajari.


"Sebetulnya yang diperlukan oleh manusia untuk mempertahankan Kemanusiaannya bukanlah kejujuran melainkan harmoni."_FERRY WARDIMAN.

RESENSI BUKU "AGAMA BUKAN UNTUK PUBLIK"

| Minggu, 18 Maret 2012 | 0 komentar |


Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh dalam perjalanan hidup manusia. Seiring berkembangnya teknologi, agama masih menunjukkan eksistensinya yang kuat. Agama menjadi hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia.
Ketika membahas tentang Agama di Indonesia, biasanya orang akan mengingat sila pertama, yaitu ketuhanan yang maha esa. Orang yang membaca teks pancasila secara tekstual akan beranggapan bahwa untuk menjadi warga Indonesia haruslah beragama.
Agama tidak lagi menjadi urusan pribadi seseorang, melainkan telah menjadi simbol dan parameter kewarganegaraan. Sampai-sampai agama harus dimasukkan ke lembaga pendidikan negeri.
Realitas yang terjadi adalah, tidak semua warga Indonesia beragama. Tidak sedikit warga Negara yang tidak menganut agama dan tidak mempercayai Tuhan. Lalu apa status mereka? Apakah jika di kartu tanda penduduk mereka tidak tercantum Agama, maka mereka tidak dianggap sebagai warga Negara Indonesia? Apakah mereka yang tidak bertuhan berarti melanggar sila pertama?
Hal ini selalu menjadi perdebatan dalam diskursus tentang keyakinan dan kebudayaan Indonesia. Kaum liberal mendukung ateis untuk tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia. Dengan alasan bahwa beragama merupakan hak, bukan kewajiban. Sedangkan kaum fundamentalis Islam tetap menentang hal itu, dengan dalih bahwa ateisme bertentangan dengan Pancasila, yang merupakan landasan Negara.
Terlepas dari polemik kewarganegaraan, di Indonesia telah sering terjadi konflik yang dilatar belakangi oleh sentimen agama. Mulai dari pembakaran Gereja, pembakaran Masjid, kasus bom bunuh diri yang banyak memakan korban tak bersalah, penganiayaan Front Pembela Islam (FPI) kepada Jama’ah Ahmadiyah, kasus ditangkapnya PNS Minangkabau hanya karena pengakuan ateisnya, dan banyak kasus lainnya.
Konflik Agama semakin sering menjadi perbincangan publik, seakan menunjukkan sisi buram Agama yang selama ini dianggap sebagai pondasi moral bangsa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan tidak merupah perspektif masyarakat Indonesia terhadap agama. Karena Agama telah dianggap sebagai sisi lain yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Agama dianggap sebagai kebutuhan spiritual yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu, spiritualitas agama hanya bisa dirasakan oleh orang beragama. Dan hal itu mereka anggap sebagai penyempurna dari makna kehidupan manusia. Keyakinan spiritual tersebut sangatlah subjektif, sehingga tidak bisa dibahasakan, apalagi dilembagakan.
Persoalannya adalah bahwa bangsa Indonesia dan sebagian besar masyarakatnya tidak bisa lepas dari pelembagaan agama, dan banyak orang yang sangat berkepentingan dengannya. Termasuk kekuasaan.
Sehingga yang terjadi adalah realisasi keberagamaan yang tidak pada tempatnya. Karena yang seharusnya menjadi urusan privat kini telah terlembagakan. Kemudian mereka yang fanatik akan sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan melakukan apapun demi kepentingannya. Meskipun dengan menginjak hak asasi manusia. Meskipun dengan pertumpahan darah.
Sehingga seharusnya yang terlebih dahulu kita lakukan adalah menetralisir seminimal mungkin pengaruh agama di wilayah publik dengan memberikan penyadaran secara terus menerus kepada masyarakat akan pentingnya menjaga hubungan kewarganegaraan dibandingkan dengan hubungan keberagamaan.
Download ebook Agama Bukan untuk Publik di sini



TIDAK BERJUDUL

| Sabtu, 17 Maret 2012 | 0 komentar |


Indonesia, Negara yang terkenal dengan keragaman suku, adat, ras, agama, dan budayanya terbentur dengan kenyataan pluralitas yang kompleks. Seakan penduduknya belum siap untuk menerima keragaman tersebut, sehingga dalam praktek bernegara sering diganggu oleh kepentingan golongan yang lambat laun semakin mengikis persatuan bangsa.

Pluralisme dan Pluralitas
Pluralisme dipandang dari segi etimologis atau bahasa berasal dari kata “Plural”, yang bermakna banyak. Sehingga dapat dikembangkan ke dalam dua istilah: pluralitas dan pluralisme
Pluratitas adalah suatu keadaan yang majemuk, berbeda-beda dan variatif. Pluralitas adalah das sein, sebagai relitas akan berkumpulnya berbagai macam warna dalam satu situasi dan kondisi, sehingga dibutuhkan suatu sikap antara menolak atau menerimanya. 
Sedangkan pluralisme adalah suatu faham yang terwujud dalam suatu sikap penerimaan pluralitas. Sehingga pluralisme mengambil posisi sebagai das sollen, atau hukum yang direalisasikan melalui sikap positif untuk menerima kemajemukan.

Bhinneka Tunggal Ika dan Pluralisme
Bhinneka Tunggal Ika adalah slogan NKRI yang lahir dari kenyataan yang plural (pluralitas), sehingga mengandung pengertian tentang semangat Nasionalisme yang terwujud dari penerimaan perbedaan serta upaya untuk mencari kesamaan di antara perbedaan untuk menjalin kerjasama demi terwujudnya kesatuan dan persatuan.
Namun, kasus yang terjadi di lapangan, Bhinneka tunggal ika sering digunakan untuk melegalkan pemaksaan toleransi, sehingga timbul istilah mayoritas dan minoritas; yang mana, minoritas harus bisa menyesuaikan diri dengan mayoritas, dengan alasan, hal-hal yang berbeda harus disamakan, untuk kemudian nilai-nilai yang dibawa oleh kaum mayoritas cenderung menjadi parameter. Sehingga yang terjadi adalah diskriminasi dan alienasi kaum minoritas.
Pengertian tentang "Jihad" harus diluruskan. Dalam hal ini, kita merujuk pada satu hadist yang kurang lebih artinya "Cegahlah kemungkaran dengan tanganmu (perbuatan), kalau tidak bisa, maka dengan ucapanmu, namun bila masih tidak bisa, maka cukuplah mengingkarinya dalam hati. Yang demikian adalah serendah-rendahnya Iman.
Dalam hadist tersebut terdapat kata "kemungkaran" yang harus diartikan secara tepat agar tidak terjadi salah persepsi tentang deskripsi kemungkaran itu sendiri. Islam garis keras menganggap orang yang tidak melaksanakan ritual keagamaan muslim sebagai orang yang melakukan kemungkaran, sehingga mereka (para penganut Islam garis keras) merasa mempunyai hak untuk memaksa orang shalat, puasa dan zakat. Sehingga yang terjadi adalah claim truth dengan menjadikan nilai agama sebagai parameter hukum positif.
Sehingga ketika mengartikan "kemungkaran" seharusnya yang diambil adalah pemaknaan berdasarkan nilai-nilai sosial, bukan dari sudut pandang dogma agamanya.

Privatisasi dan Deprivatisasi Agama
Ummat beragama, kadang disibukkan dengan pertanyaan, “Mana yang harus didahulukan antara ketuhanan dan kemanusiaan?”
Keduanya adalah hal utama dalam praktek beragama. Dua aspek tersebut tak dapat dipisahkan. Hanya saja subjek (Agamawan) harus bisa mewujudkannya dalam dua ranah yang berbeda dengan porsi yang tepat.
Untuk mewujudkan faham pluralisme agama, diharuskan adanya pemisahan antara praktek beragama dalam ranah publik, dan beragama dalam ranah privat. Privatisasi agama berlaku untuk aspek transeden; ketuhanan, dogma, ritual. Sedangkan deprivatisasi agama lebih condong kepada toleransi dan penerimaan pluralitas yang berparadigma eskatologis (ketidakberpihakan).
Sehingga statemen "Agama saya yang paling benar" bukan untuk dipublikasikan. Cukup diucapkan dalam hati (diyakini). Sedangkan statemen "Semua agama benar" adalah bentuk toleransi beragama sebagai perwujudan dari kesadaran dan penerimaan realitas yang plural (pluralitas) yang seharusnya diucapkan oleh setiap orang yang beragama dalam ranah publik.
Pluralisme Agama adalah faham yang menuntut ummat beragama untuk mengakui nilai-nilai universal yang dibawa oleh semua agama. Sehingga dalam hal ini, perspektif yang digunakan adalah inklusifisme; keterbukaan untuk menerima semua agama sekaligus menghindari claim truth.

AGAMA BUKAN UNTUK PUBLIK

| | 0 komentar |


Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh dalam perjalanan hidup manusia. Seiring berkembangnya teknologi, agama masih menunjukkan eksistensinya yang kuat. Agama menjadi hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia.



Ketika membahas tentang Agama di Indonesia, biasanya orang akan mengingat sila pertama, yaitu ketuhanan yang maha esa. Orang yang membaca teks pancasila secara tekstual akan beranggapan bahwa untuk menjadi warga Indonesia haruslah beragama.


Agama tidak lagi menjadi urusan pribadi seseorang, melainkan telah menjadi simbol dan parameter kewarganegaraan. Sampai-sampai agama harus dimasukkan ke lembaga pendidikan negeri.


Realitas yang terjadi adalah, tidak semua warga Indonesia beragama. Tidak sedikit warga Negara yang tidak menganut agama dan tidak mempercayai Tuhan. Lalu apa status mereka? Apakah jika di kartu tanda penduduk mereka tidak tercantum Agama, maka mereka tidak dianggap sebagai warga Negara Indonesia? Apakah mereka yang tidak bertuhan berarti melanggar sila pertama?


Hal ini selalu menjadi perdebatan dalam diskursus tentang keyakinan dan kebudayaan Indonesia. Kaum liberal mendukung ateis untuk tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia. Dengan alasan bahwa beragama merupakan hak, bukan kewajiban. Sedangkan kaum fundamentalis Islam tetap menentang hal itu, dengan dalih bahwa ateisme bertentangan dengan Pancasila, yang merupakan landasan Negara.


Terlepas dari polemik kewarganegaraan, di Indonesia telah sering terjadi konflik yang dilatar belakangi oleh sentimen agama. Mulai dari pembakaran Gereja, pembakaran Masjid, kasus bom bunuh diri yang banyak memakan korban tak bersalah, penganiayaan Front Pembela Islam (FPI) kepada Jama’ah Ahmadiyah, kasus ditangkapnya PNS Minangkabau hanya karena pengakuan ateisnya, dan banyak kasus lainnya.


Konflik Agama semakin sering menjadi perbincangan publik, seakan menunjukkan sisi buram Agama yang selama ini dianggap sebagai pondasi moral bangsa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan tidak merupah perspektif masyarakat Indonesia terhadap agama. Karena Agama telah dianggap sebagai sisi lain yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Agama dianggap sebagai kebutuhan spiritual yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu, spiritualitas agama hanya bisa dirasakan oleh orang beragama. Dan hal itu mereka anggap sebagai penyempurna dari makna kehidupan manusia. Keyakinan spiritual tersebut sangatlah subjektif, sehingga tidak bisa dibahasakan, apalagi dilembagakan.


Persoalannya adalah bahwa bangsa Indonesia dan sebagian besar masyarakatnya tidak bisa lepas dari pelembagaan agama, dan banyak orang yang sangat berkepentingan dengannya. Termasuk kekuasaan. Sehingga yang terjadi adalah realisasi keberagamaan yang tidak pada tempatnya. Karena yang seharusnya menjadi urusan privat kini telah terlembagakan. Kemudian mereka yang fanatik akan sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan melakukan apapun demi kepentingannya. Meskipun dengan menginjak hak asasi manusia. Meskipun dengan pertumpahan darah.


Sehingga seharusnya yang terlebih dahulu kita lakukan adalah menetralisir seminimal mungkin pengaruh agama di wilayah publik dengan memberikan penyadaran secara terus menerus kepada masyarakat akan pentingnya menjaga hubungan kewarganegaraan dibandingkan dengan hubungan keberagamaan.


Siapa saja orang ateis di Indonesia

| | 0 komentar |


Artikel ini adalah terjemahan dari salah satu artikel Soe Tjen Marching yang dimuat di “Jakarta Globe” dengan judul Who are the atheists in Indonesia
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa waktu yang lalu, pada awal tahun 2012, Alexander Aan ditahan oleh polisi di Sumatera Barat karena tulisannya, di halaman facebook miliknya, “God does not exist” (Tuhan itu tidak ada). Alexander, yang juga menjadi administrator group atheis di jejaring sosial ini, menyatakan bahwa ia tidak mempercayai adanya malaikat, setan, surga, neraka dan “mitos” lainnya. Singkatnya, ia adalah seorang atheis.

Saya tidak tahu apakah sebelumnya Alex telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata itu yang menyebabkan ia layak ditangkapi, akan tetapi insiden tersebut membuat saya bertanya mengapa atheis sangat dimusuhi di Indonesia. Apakah seseorang yang berkata bahwa ia tidak percaya pada Tuhan dianggap melecehkan agama? Apakah hanya orang atheis yang tidak percaya pada Tuhan? Tuhan yang mana? Terdapat begitu banyak agama dan Tuhan yang berbeda.

Sebagai contoh, ummat Muslim memiliki kitab suci dan Tuhan sendiri, begitu juga dengan ummat Kristen. Ummat Muslim dan Kristen menganggap Tuhan dalam bentuk gajah dan monyet (Tuhan ummat hindu Ganesha dan Hanuman) hanya sekedar mitos. Agaknya ummat Hindu akan keberatan jika harus menyembah Allah atau juru selamat, Yesus Kristus.
Artinya, jika anda beriman pada Tuhan agama tertentu, maka anda akan mengingkari Tuhan-tuhan agama lainnya. Dengan kata lain, ummat beragama adalah orang-orang atheis jika dihadapkan pada Tuhan agama yang lain.

Bahkan, satu agama dengan aliran berbeda mempunyai keyakinan yang barlainan. Sebagaimana dua aliran Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama. NU percaya bahwa tahlil (mendoakan orang mati) sangatlah islami, karena tahlil merupakan dzikir (mengingat dan menghormat pada Tuhan). Namun hal tersebut dianggap sesat oleh Muhammadiyah. Yang satu menganggapnya sebagai salah satu cara mendekatkan diri pada Tuhan, yang satu malah menganggapnya sesat.

Dalam agama Kristen juga terdapat berbagai aliran; Protestan dan Katholik, misalnya. Ummat Protestan tidak menyembah pada Perawan Maria. Mengapa? Karena mereka percaya Al-Kitab menyatakan bahwa hanya Yesus yang menjadi perantara untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Mereka mengutip bagian dari Al-Kitab yang berbunyi; “Hanya ada satu Tuhan, dan hanya satu penghubung antara Tuhan dan manusia, dia adalah Yesus Kristus” (1 Timothy 2:5). Sehingga, ummat Protestan menganggap pemujaan ummat Katholik pada Perawan Maria sebagai penyembahan berhala.

Sebaliknya, ummat Katholik percaya bahwa sejak Tuhan memilih wanita ini menjadi ibu dari Yesus, penghormatan ummat Katholik untuknya sama dengan penghormatan pada Tuhan.Umat Katolik yakin bahwa cara Tuhan memilih seorang ibu, menjadi jaminan bahwa Maria layak untuk mendapat tempat khusus dalam agama Katholik.

Terdapat banyak contoh dalam perbedaan aliran, salah satu yang krusial adalah kepercayaan pada surga dan neraka. Ummat Katholik percaya bahwa sebagian besar manusia akan masuk surga setelah mati. Namun, bagi sebagian orang yang belum cukup layak tidak bisa mendapatkan tempat yang indah itu. Mereka harus terlebih dahulu masuk ke “purgatory” (api penyucian) – tempat untuk menyucikan dosa – sampai mereka suci dari dosa.

Namun, tidak ada api penyucian dalam kepercayaan Protestan, mereka berkeyakinan bahwa manusia hanya bisa masuk di antara surga atau neraka, tak bisa keduanya. Dengan demikian, dalam satu agama, Tuhan mempunyai aturan yang berbeda.

Memang, satu agama bahkan aliran dapat menganggap sesat pada yang berlainan dengannya. Jika kita bicara tentang agama-agama di dunia, bisakah anda bayangkan betapa banyak hal yang berbeda? Betapa banyak macam surga, neraka, dan Tuhan di sana.

Ribuan tahun yang lalu, kaum Politheisme Roma pada umumnya sangat toleran kepada kepercayaan lain. Mereka mempercayai banyak Tuhan, dan sering mengadopsi Tuhan orang lain. Kepercayaan pada satu Tuhan, faktanya, dianggap aneh oleh penduduk kuno di laut tengah. Oleh karena itu, banyak orang Mesir, Roma, dan Yunani yang melihat kedatangan agama baru Kristen dengan penuh kecurigaan.

Pada tahun 64 sesudah masehi, pada saat kekuasaan Kaisar Nero (37-68), api memporak poranda Romaselama 6 hari. Pada puncak kemarahannya, mereka menyalahkan kaisar atas tragedi tersebut. Nero dengan segera menunjukkan jarinya pada ummat Kristen, yang dianggap sebagai orang “atheis” karena hanya percaya pada satu Tuhan. Nero memerintahkan agar supaya orang atheis ini ditangkap kemudian disiksa. Namun pada saat perang salib di Eropa sekitar tahun (1100-1600 M), giliran ummat Kristen menyiksa kaum Politheisme. Rupanya, di masa dan tempat yang berbeda, kepercayaan pada satu Tuhan atau beberapa Tuhan bisa berbeda tingkat popularitasnya. Siapa yang dianggap atheis dan yang tidak – pun bisa berbeda, tergantung dari mayoritas dalam populasinya. Dan juga, pada saat perang salib (abad 11-13 M) ummat Kristen menyatakan perang terhadap ummat Muslim.

Pada intinya, di masa dan tempat yang berbeda, Tuhan yang dianggap paling asli juga akan berbeda. Orang yang dianggap atheis dan tidak juga akan berbeda. Dengan satu atau beberapa alasan, kita semua bisa disebut sebagai atheis oleh system kepercayaan yang berbeda dengan kita. Sebagaimana Stephen Roberts yang menyatakan dirinya atheis: “Menurut saya kita sama-sama atheis, saya hanya percaya pada lebih sedikit Tuhan dari pada yang anda percayai.”

Baca juga teks aslinya dalam bahasa Inggris di sini

Muna dan Fiki = ISLAM

| | 0 komentar |


Mana yang salah? Islam atau budaya Indonesia?
Dulu Islam diterima dengan terbuka oleh masyarakat Indonesia, meskipun budaya Islam sangat berbeda dengan budaya pribumi.Dari kebaya menjadi kerudung, dari keris menjadi sajadah.

Kini masyarakat ekumenis tersebut berubah menjadi tertutup. Kini mereka menutup diri dari penerimaan budaya baru. Dan bodohnya, mereka menganggap budayanya saat ini adalah budaya aslinya.

Apakah Islam datang di Indonesia dengan kekerasan, pasti tidak. Kalau mereka datang dengan kekerasan, pasti sudah ditolak oleh orang-orang Indonesia. Justru karena elastisnya, Islam bisa masuk menjadi salah satu bagian dari Indonesia. Namun, kini setelah Islam sudah memiliki banyak ummat setia, ia menjadi bringas dan sombong.

Apakah Islam seperti itu? Iya.....

Bandingkan dengan peradaban Islam di Arab. Pada permulaan Islam, yang disampaikan adalah kelenturan tanpa paksaan. "Untukmu agamamu, untukku agamaku". Namun ketika Islam sudah tersebar dan besar, tiba waktunya bagi Islam untuk menunjukkan wajah aslinya, yang beringas dan penuh dengan paksaan. "Kejar dan bunuhlah mereka dimanapun kau temukan mereka".

Dalam perjalanannya, Islam di Indonesia pun memiliki dua wajah, ada yang masih berorientasi pada esensi "Islam is peace" juga yang menganggap "Jihad sebagai Perjuangan yang sesungguhnya".

Sehingga mereka yang menganut "Islam damai" menganggap ayat Makkiyah [lakum diinukum waliyadiin] "bagimu agamamu, bagiku agamaku" masih berlaku. padahal Pejihad bersurban itu berdalih bahwa ayat tersebut telah di "Naskh" (diabrogasi/diamandemen) oleh ayat madaniah "Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah".

Analoginya:
Andaikan kita sedang mau mengecat rumah... ayah anda mengatakan: "Saya mau rumah ini kita cat warna kuning" .... sejam kemudian ayah anda kembali lagi dan mengatakan: "Saya mau rumah ini kita cat warna merah" ... Setelah itu apa warna rumah ini?

Orang yang menganggap "Islam is Peace" akan menjawab = tetap kuning lah...
Sedangkan kambing bersurban dan komplotannya akan menjawab = merah dong...

Justru kalau menurut saya, orang-orang yang menyuarakan takbir sambil obrak abrik diskotik itulah yang mengerti esensi Islam. Karena itulah Tujuan akhir dari penyebaran Islam yang dilakukan Muhammad. Sedangkan orang2 yang menjalankan Islam sebagai Agama damai adalah orang-orang yang memahami metode persuasif sebagai esensi... sangat keliru,, itu adalah tipu muslihat yang lumrah dilakukan seorang politisi.

Dikotomi dalam satu tubuh ini memang membingungkan. Namun jelas bagi kita yang cukup menganggap Muhammad sebagai Politikus, bukan Utusan Tuhan.

Lalu apa itu Islam?