Perasaan ini timbul ketika saya menyaksikan sebuah realitas yang paradoks dalam keberagamaan saya sendiri. Ketika saya membaca Al-Qur’an, yang saya temukan adalah sindiran-sindiran yang tertuju kepada saya, terasa isi kandungannya mendiskreditkan saya selaku pembaca setianya. Betapa tidak, Ayat-ayat yang semula ditujukan untuk kaum kafir dan orang-orang munafik sama persis dengan praktik beragama yang saya lakukan.
Saya suka mengkultuskan seseorang yang menjadi idola saya, sehingga saya tidak lagi mempertimbangkan benar-tidaknya apa yang menjadi pikiran idola saya, yang penting kalau dia yang bicara saya percaya, kritik logis tidak lagi saya butuhkan untuk menilai statemen idola saya. Yang demikian disebut dalam al-Qur’an sebagai penyekutuan Tuhan, karena kebenaran Tuhan terlalu kompleks bila harus dituangkan dalam porsonofikasi statemen seorang manusia.
Selain itu saya juga suka mengingkari kebenaran yang datang dari orang yang berbeda pemikiran dengan saya, karena cara berpikir saya terlalu simpel, yaitu segala hal yang berkenaan dengan keyakinan saya adalah kebenaran yang tidak akan saya ingkari dan saya akan selalu membantah segala hal yang membuat "status quo" yang menjadi kayakinan saya terancam tereduksi. Yang demikian dikatakan dalam Al-Qur’an sebagai kemunafikan, yang dinyatakan bahwa “kebenaran hanya milik Allah” dan bisa datang melalui siapa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan tidak menutup kemungkinan juga dari musuh kita.
Berbagai paradoksi tersebut mengguncang batin saya, sampai-sampai saya berupaya untuk mengingkari semua realitas itu untuk mencari posisi aman dari predikat kafir dan munafik. Namun akhirnya saya sadar, saya tak boleh menambah satu kesalahan lagi dengan mengingkari kekafiran dan kemunafikan saya, yang harus saya lakukan adalah berhenti mengkambing hitamkan Al-Qur’an yang jelas-jelas telah menganggap prilaku saya sebagai prilaku golongan kafir dan munafik, dan juga berupaya semaksimal mungkin untuk mengganti prilaku-prilaku kekafiran dan kemunafikan dengan prilaku muslim yang sebenarnya, yang tak mudah mengingkari kebenaran di luar kepercayaannya dan yang tidak mudah membenarkan semua yang datang dari orang lain, betapa pun orang itu kita anggap shalih dan kita yakini, karena Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia untuk menganalisa dan mengkoreksi hal-hal yang semula dianggap benar sebagai kesalahan di masa depan untuk kemudian digantikan dengan kebenaran yang relevan dari pencarian-pencarian yang tak sekedar taqlid buta.
0 komentar:
Posting Komentar
Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...