Bisa dikatakan, bahwa nasib disiplin fiqih hampir sama dengan nasib disiplin tafsir dan disiplin ilmu-ilmu agama lainnya, seperti bahasa, tasawuf, kalam, dan filsafat Islam. Jika al-Zarkasyi dalam al-Burhani fi ‘Ulum al-Qur’an menyebut ilmu-ilmu al-Qur’an dan tafsir telah mencapai puncak kematangannya, bahkan siap saji, maka ilmu fiqih beserta fudamen-fundamennya juga dianggap sebagian pengkaji fiqih telah matang. Dan, karena keserbasempurnaan fiqih, lalu tugas seorang ahli fiqih hanya dibatasi pada upaya-upaya mengadopsi, mengakomodasi dan melanjutkan keseluruhan pemikiran dan mazhab yang dihasilkan para ulama terdahulu.
Sejumlah ktab fiqih yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi Islam, pesantren dan sekolah-sekolah keagamaan, pada umumnya hanya membacakan kembali kitab-kitab fiqih yang ditulis para ulama beberapa abad yang silam. Hampir tidak ditemukan sebuah studi plus, yaitu studi yang tidak hanya membacakan, tetapi lebih jauh, menyoalkan kembali beberapa pandangan yang telah disampaikan oleh ulama-ulama fiqih terdahulu. Pada umumnya mereka hanya membacakan dan mereproduksi pandangan-pandangan fiqih klasik, dan tidak memproduksi pandangan-pandangan alternative yang relevan dengan konteks kekinian. Belum lagi, khazanah fiqih yang tesedia hanya berbicara untuk kebutuhan zamannya, bukan untuk kebutuhan zaman di mana kita hidup saat ini.
Karenannya, diakui atau tidak, fiqih yang tersedia saat ini mempunyai diema-dilema yang mesti dikritisi lebih mendalam, sehigga fiqih sebagai proses ijtihadi dan dialektika antara doktrin dan realitas dapat bersuara kembali atas zaman yang secara kontekstual berbeda sama sekali dengan di mana fiqih dikodifikasi. Tentu saja bukan basa-basi jika kita hendak menegaskan bahwa penghargaan kita terhadap hasil ijtihad ulama tedahulu seharusnya bukan dalam bentuk pencomotan dan pengadopsian apa adanya, melainkan menakar-ulang (rethinking) atass pemikiran ijtihadi da karya-karya mereka secara dinamis dan konstruktif.
Di antara dilema fiqih paling serius ialah tatkala berhubungan dengan pembahasan yang melibatkan kalangan di luar komunitasnya, yaitu non-Muslim, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Pada tataran ini, fiqih mengalami kelemahan yang amt luar biasa. Dimensi keuniversalan dan kelenturan fiqih seakan akan tersimpan rapi di laci, atau mungkin hilang entah ke mana. Fiqih, secara implisit ataupu eksplisit, telah menebarkan kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain.
Ada beberapa istilah yang selau dianggap musuh dalam fiqih klasik, yaitu “musyrik”, “murtad”, dan “kafir”. Bila khazanah fiqih berpapasan dengan komunitas tersebut, maka sudah barang tentu fiqih akan memberikan “kartu kuning” sebagai peringatan keras dalam menghadapi kalangan tersebut. Lalu pertanyaannya, kenapa watak fiqih klasik bisa seperti itu? Apakah Islam memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan permusuhan dan kekerasan, sebagaimana dituduhkan kaum orientalis? Jika tidak, apa yang meti kita lakukan guna menggali oase keislaman yang lebih mengedepankan semangat toleransi dan kebersamaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat kita harus bekerja keras dalam membaca kembali fiqih klasik. Perlu perspektif baru terhadap fiqih, yaitu meletakkannya kembali sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komunitas tertentu pula. Selama ini, bila membaca kitab-kitab fiqih , maka fiqih terlalu diagungkan dan disakralkan oleh pembacanya, sehingga fiqih menjadi ilmu yang terjamah secara lebih mendasar. Padahal, dari segi penamaannya saja, fiqih berarti “pemahaman”. Dan proses pemahaman mengharuskan adanya dialektika dinamis antara teks dan koteks. Sebab, fiqih tidak lahir dari kevakuman, sebagai respon faqih (ahli fiqih) terhadap problem zamanya. Dalam perkembangannya saat ini, fiqih menyimpan sejumlah problematika serius, antara lain: mapannya paradigma klasik dan lambannya upaya pembaharuan, sehingga dengan mudah didapatkan adanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesenjangan.
Selain itu, menurut Abid al-Jabiri, fiqih yang dikontruksikan oleh para ulama terdahulu tidak hanya menutup masa depan atau masa setelah fiqih tersebut dikodifikasi., melainkan juga tidak menjadikan tradisi yang berkembang pada masa-masa sebelumnya sebagai bahan rujukan utama bagi pembaharuan bentuk praktek Islam selanjutnya. Hal ini terjadi, karena fiqih ibarat pendulum yang tidak secara tegas melakukan dialektika epistemologis. Fiqih hanya dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan terhadap sebuah aliran dan mazhab tertentu. Fiqih sekan-akan harus menentukan pilihan: Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah, atau Hanafiiyah.
Atas dasar ini, diperlukan pisau oembedah guna mendongkrak kesadaran kolektif para pengkaji fiqih kontemporer aar secara proaktif melakukan pembacaan ulang terhadap fiqih klasik. Di satu sisi, fiqih merupakan khazanah yang menjadi kebanggaan setiap muslim, tapi di sisi lain tak terelakkan fiqih menjadi hambatan serius dalam menyikapi sejumlah problem kemanusiaan yang tak disentuh oleh para ulama terdahulu. Karena fiqih yang tersedia adalah fiqih yang tidak lagi menyemangati zaman ini, dan bentuknya pun sangat sederhana. Sementara itu problem kemanusiaan terus bertambah dan pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat, naka tak terelakkan pembaharuan fiqih sebagai solusi alternatif.
0 komentar:
Posting Komentar
Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...