Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

KEBOHONGAN

| Jumat, 23 Maret 2012 | 0 komentar |


Pria baru dalam hidup Anda bersumpah bahwa dia sudah melupakan mantannya, namun Anda tahu bahwa dia menyimpan foto wanita itu di dalam dompetnya atau di jok motornya atau di laci mobilnya. Insting kewanitaan Anda memberi tahu adanya sesuatu yang tidak beres, namun Anda tidak bisa membuktikannya.

Siapa yang bohong?
Setiap orang bohong. Hampir semua kebohongan terjadi pada jumpa pertama di mana setiap orang ingin menampilkan diri mereka dengan sebaik-baiknya. Hampir semua kebohongan yang kita katakan adalah Bohong Putih (meminjam istilah Allan Pease). Kebohongan jenis ini dinyatakan sebagai cara agar kita dapat hidup bersama tanpa kekerasan dan agresi karena seringkali kita lebih suka mendengar distorsi yang halus dari suatu kebenaran dari pada fakta-fakta yang nyata dan pahit.Bila Anda punya hidung yang sangat besar, Anda tidak ingin mendengar kebenaran tentangnya - Anda lebih suka mendengar bahwa hidung itu tampak bagus, bahwa tak ada seorang pun yang memperhatikannya, atau bahwa itu adalah ukuran yang tepat untuk wajah Anda.

"Selalu katakanlah yang sebenarnya - dan kemudian larilah."_ PERIBAHASA

Bila Anda pernah mengatakan kebenaran absolut kepada setiap orang yang Anda ajak berinteraksi sepekan kemarin, maka di manakah Anda berada sekarang? Di rumah sakit? Mungkin di penjara. Bila Anda mengucapkan kata-kata yang tepat melintas di benak Anda sewaktu Anda sedang memikirkannya, bagaimana tanggapan mereka? Satu hal yang pasti: Anda tidak akan punya teman, dan mungkin akan berakhir sebagai pengangguran.Bayangkan percakapan ini:

"Hai, Joko Gendut. Kamu kelihatan payah sekali deh. Kenapa tidak pakai kutang saja untuk menopang kedua susumu yang melorot seperti punya wanita tua itu?
"Hai, Yuli. Kenapa kamu nggak mendatangi dokter ahli penyakit kulit untuk membereskan semua bitik-bintik hitam jelek di wajahmu itu? Dan mengapa tidak kau rapikan bulu-bulu di hidung besarmu itu?
"Hai, Anton. Kamu ini jelek sekalii. Kenapa kau tidak berpikir untuk merapikan pakaianmu untuk menutupi kejelekan di wajahmu itu?

Contoh-contoh ini adalah kebenaran. Kebohongan bisa berupa, "Hai, Joko. Badanmu kelihatan segar sekali" atau "Hai, Yuli. Kamu memang cewek keren" atau "Hai, Jagad. Kamu memang lelaki pekerja keras".

Kapan terakhir kali Anda berbohong? Mungkin Anda tidak benar-benar berbohong, namun cuma membiarkan seseorang membuat asumsi yang salah berdasarkan apa yang Anda katakan atau tidak katakan kepada mereka, atau hanya sedikit berbohong untuk menghindari menyakiti perasaan mereka. Mungkin itu hanya sedikit bohong putih - Anda bilang bahwa Anda suka potongan rambut mereka, warna cat rumah atau pasangan baru mereka padahal sebenarnya tidak - atau Anda tidak ingin mereka mendengar kabar buruk dari Anda. Mungkin Anda melebih-lebihkan hal yang kecil untuk menampakkan diri Anda lebih baik demi mendapat simpati atau pekerjaan yang Anda inginkan.

Tatkala Anda menjual motor Anda, mungkin Anda lupa mengatakan adanya kebocoran oli yang terus terjadi pada mesinnya sewaktu Anda bilang betapa bagusnya kondisi Motor itu. Mungkin Anda mencat warna rambut Anda agar tampak lima tahun lebih muda atau menyisir beberapa helai rambut yang tersisa untuk menutupi bagian kepala Anda yang botak, dengan pikiran bahwa Anda dapat membuat orang lain mengira bahwa Anda masih memiliki kepala yang penuh rambut bagus. Pernahkah Anda memakai sepatu hak tinggi agar supaya kaki Anda tampak lebih tinggi dari keadaan yang sesungguhnya, bantalan bahu agar terlihat otoritasnya, atau mungkin berbohong tentang umur dan berat badan anda?

Kita terus-menerus berbohong satu sama lain. Para orang tua berbohong kepada anak-anak mereka tentang seks dan para remaja berbohong kepada orang tua mereka tentang masalah bahwa mereka sudah pernah berhubungan seks. Sebutlah itu apa saja sesuka Anda - Semua itu adalah kebohongan.

"Hanya musuh saja yang mengatakan kebenaran. Teman-teman dan para kekasih berbohong tiada habisnya."_STEPHEN KING

Namun, terlepas dari semua itu. Manusia hanya bisa hidup dengan kebohongan. Karena kebohongan yang diperlukan, sebenarnya juga merupakan kejujuran. Karena kebenaran itu selalu tampil dalam INTERPRETASI (Ferry: 2012). Ada yang nampaknya betul tapi tidak benar.

Kalau anak kecil itu menjadi "gila seks" pada masa dewasanya hanya karena diberi "penjelasan seks" sedemikian rupa sehingga ia salah menginterpretasikannya - entah karena terlalu jelas atau terlalu merangsang - sekalipun benar dari segi ilmu, tapi salah dari sudut pandang yang lebih luas, yakni kemanusiaan.

Syeh Siti Jenar mengajarkan semacam atheisme pada santri-santri dan masyarakatnya yang berakibat pada kekacauan tatanan sosial saat itu (malas, jahat, amoral, dsb). Bukan karena yang diajarkannya keliru, melainkan karena yang diajari BELUM SIAP untuk menerima "kebenaran" itu, sehingga Wali Songo mengatakannya sebagai "keliru" karena "membocorkan rahasia ilahi". Yang benar, mestinya ia BERBOHONG saat itu dan BERSTRATEGI dalam mengajarkan sesuatu sesuai dengan tingkat kedewasaan yang diajari.


"Sebetulnya yang diperlukan oleh manusia untuk mempertahankan Kemanusiaannya bukanlah kejujuran melainkan harmoni."_FERRY WARDIMAN.

RESENSI BUKU "AGAMA BUKAN UNTUK PUBLIK"

| Minggu, 18 Maret 2012 | 0 komentar |


Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh dalam perjalanan hidup manusia. Seiring berkembangnya teknologi, agama masih menunjukkan eksistensinya yang kuat. Agama menjadi hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia.
Ketika membahas tentang Agama di Indonesia, biasanya orang akan mengingat sila pertama, yaitu ketuhanan yang maha esa. Orang yang membaca teks pancasila secara tekstual akan beranggapan bahwa untuk menjadi warga Indonesia haruslah beragama.
Agama tidak lagi menjadi urusan pribadi seseorang, melainkan telah menjadi simbol dan parameter kewarganegaraan. Sampai-sampai agama harus dimasukkan ke lembaga pendidikan negeri.
Realitas yang terjadi adalah, tidak semua warga Indonesia beragama. Tidak sedikit warga Negara yang tidak menganut agama dan tidak mempercayai Tuhan. Lalu apa status mereka? Apakah jika di kartu tanda penduduk mereka tidak tercantum Agama, maka mereka tidak dianggap sebagai warga Negara Indonesia? Apakah mereka yang tidak bertuhan berarti melanggar sila pertama?
Hal ini selalu menjadi perdebatan dalam diskursus tentang keyakinan dan kebudayaan Indonesia. Kaum liberal mendukung ateis untuk tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia. Dengan alasan bahwa beragama merupakan hak, bukan kewajiban. Sedangkan kaum fundamentalis Islam tetap menentang hal itu, dengan dalih bahwa ateisme bertentangan dengan Pancasila, yang merupakan landasan Negara.
Terlepas dari polemik kewarganegaraan, di Indonesia telah sering terjadi konflik yang dilatar belakangi oleh sentimen agama. Mulai dari pembakaran Gereja, pembakaran Masjid, kasus bom bunuh diri yang banyak memakan korban tak bersalah, penganiayaan Front Pembela Islam (FPI) kepada Jama’ah Ahmadiyah, kasus ditangkapnya PNS Minangkabau hanya karena pengakuan ateisnya, dan banyak kasus lainnya.
Konflik Agama semakin sering menjadi perbincangan publik, seakan menunjukkan sisi buram Agama yang selama ini dianggap sebagai pondasi moral bangsa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan tidak merupah perspektif masyarakat Indonesia terhadap agama. Karena Agama telah dianggap sebagai sisi lain yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Agama dianggap sebagai kebutuhan spiritual yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu, spiritualitas agama hanya bisa dirasakan oleh orang beragama. Dan hal itu mereka anggap sebagai penyempurna dari makna kehidupan manusia. Keyakinan spiritual tersebut sangatlah subjektif, sehingga tidak bisa dibahasakan, apalagi dilembagakan.
Persoalannya adalah bahwa bangsa Indonesia dan sebagian besar masyarakatnya tidak bisa lepas dari pelembagaan agama, dan banyak orang yang sangat berkepentingan dengannya. Termasuk kekuasaan.
Sehingga yang terjadi adalah realisasi keberagamaan yang tidak pada tempatnya. Karena yang seharusnya menjadi urusan privat kini telah terlembagakan. Kemudian mereka yang fanatik akan sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan melakukan apapun demi kepentingannya. Meskipun dengan menginjak hak asasi manusia. Meskipun dengan pertumpahan darah.
Sehingga seharusnya yang terlebih dahulu kita lakukan adalah menetralisir seminimal mungkin pengaruh agama di wilayah publik dengan memberikan penyadaran secara terus menerus kepada masyarakat akan pentingnya menjaga hubungan kewarganegaraan dibandingkan dengan hubungan keberagamaan.
Download ebook Agama Bukan untuk Publik di sini



TIDAK BERJUDUL

| Sabtu, 17 Maret 2012 | 0 komentar |


Indonesia, Negara yang terkenal dengan keragaman suku, adat, ras, agama, dan budayanya terbentur dengan kenyataan pluralitas yang kompleks. Seakan penduduknya belum siap untuk menerima keragaman tersebut, sehingga dalam praktek bernegara sering diganggu oleh kepentingan golongan yang lambat laun semakin mengikis persatuan bangsa.

Pluralisme dan Pluralitas
Pluralisme dipandang dari segi etimologis atau bahasa berasal dari kata “Plural”, yang bermakna banyak. Sehingga dapat dikembangkan ke dalam dua istilah: pluralitas dan pluralisme
Pluratitas adalah suatu keadaan yang majemuk, berbeda-beda dan variatif. Pluralitas adalah das sein, sebagai relitas akan berkumpulnya berbagai macam warna dalam satu situasi dan kondisi, sehingga dibutuhkan suatu sikap antara menolak atau menerimanya. 
Sedangkan pluralisme adalah suatu faham yang terwujud dalam suatu sikap penerimaan pluralitas. Sehingga pluralisme mengambil posisi sebagai das sollen, atau hukum yang direalisasikan melalui sikap positif untuk menerima kemajemukan.

Bhinneka Tunggal Ika dan Pluralisme
Bhinneka Tunggal Ika adalah slogan NKRI yang lahir dari kenyataan yang plural (pluralitas), sehingga mengandung pengertian tentang semangat Nasionalisme yang terwujud dari penerimaan perbedaan serta upaya untuk mencari kesamaan di antara perbedaan untuk menjalin kerjasama demi terwujudnya kesatuan dan persatuan.
Namun, kasus yang terjadi di lapangan, Bhinneka tunggal ika sering digunakan untuk melegalkan pemaksaan toleransi, sehingga timbul istilah mayoritas dan minoritas; yang mana, minoritas harus bisa menyesuaikan diri dengan mayoritas, dengan alasan, hal-hal yang berbeda harus disamakan, untuk kemudian nilai-nilai yang dibawa oleh kaum mayoritas cenderung menjadi parameter. Sehingga yang terjadi adalah diskriminasi dan alienasi kaum minoritas.
Pengertian tentang "Jihad" harus diluruskan. Dalam hal ini, kita merujuk pada satu hadist yang kurang lebih artinya "Cegahlah kemungkaran dengan tanganmu (perbuatan), kalau tidak bisa, maka dengan ucapanmu, namun bila masih tidak bisa, maka cukuplah mengingkarinya dalam hati. Yang demikian adalah serendah-rendahnya Iman.
Dalam hadist tersebut terdapat kata "kemungkaran" yang harus diartikan secara tepat agar tidak terjadi salah persepsi tentang deskripsi kemungkaran itu sendiri. Islam garis keras menganggap orang yang tidak melaksanakan ritual keagamaan muslim sebagai orang yang melakukan kemungkaran, sehingga mereka (para penganut Islam garis keras) merasa mempunyai hak untuk memaksa orang shalat, puasa dan zakat. Sehingga yang terjadi adalah claim truth dengan menjadikan nilai agama sebagai parameter hukum positif.
Sehingga ketika mengartikan "kemungkaran" seharusnya yang diambil adalah pemaknaan berdasarkan nilai-nilai sosial, bukan dari sudut pandang dogma agamanya.

Privatisasi dan Deprivatisasi Agama
Ummat beragama, kadang disibukkan dengan pertanyaan, “Mana yang harus didahulukan antara ketuhanan dan kemanusiaan?”
Keduanya adalah hal utama dalam praktek beragama. Dua aspek tersebut tak dapat dipisahkan. Hanya saja subjek (Agamawan) harus bisa mewujudkannya dalam dua ranah yang berbeda dengan porsi yang tepat.
Untuk mewujudkan faham pluralisme agama, diharuskan adanya pemisahan antara praktek beragama dalam ranah publik, dan beragama dalam ranah privat. Privatisasi agama berlaku untuk aspek transeden; ketuhanan, dogma, ritual. Sedangkan deprivatisasi agama lebih condong kepada toleransi dan penerimaan pluralitas yang berparadigma eskatologis (ketidakberpihakan).
Sehingga statemen "Agama saya yang paling benar" bukan untuk dipublikasikan. Cukup diucapkan dalam hati (diyakini). Sedangkan statemen "Semua agama benar" adalah bentuk toleransi beragama sebagai perwujudan dari kesadaran dan penerimaan realitas yang plural (pluralitas) yang seharusnya diucapkan oleh setiap orang yang beragama dalam ranah publik.
Pluralisme Agama adalah faham yang menuntut ummat beragama untuk mengakui nilai-nilai universal yang dibawa oleh semua agama. Sehingga dalam hal ini, perspektif yang digunakan adalah inklusifisme; keterbukaan untuk menerima semua agama sekaligus menghindari claim truth.

AGAMA BUKAN UNTUK PUBLIK

| | 0 komentar |


Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh dalam perjalanan hidup manusia. Seiring berkembangnya teknologi, agama masih menunjukkan eksistensinya yang kuat. Agama menjadi hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia.



Ketika membahas tentang Agama di Indonesia, biasanya orang akan mengingat sila pertama, yaitu ketuhanan yang maha esa. Orang yang membaca teks pancasila secara tekstual akan beranggapan bahwa untuk menjadi warga Indonesia haruslah beragama.


Agama tidak lagi menjadi urusan pribadi seseorang, melainkan telah menjadi simbol dan parameter kewarganegaraan. Sampai-sampai agama harus dimasukkan ke lembaga pendidikan negeri.


Realitas yang terjadi adalah, tidak semua warga Indonesia beragama. Tidak sedikit warga Negara yang tidak menganut agama dan tidak mempercayai Tuhan. Lalu apa status mereka? Apakah jika di kartu tanda penduduk mereka tidak tercantum Agama, maka mereka tidak dianggap sebagai warga Negara Indonesia? Apakah mereka yang tidak bertuhan berarti melanggar sila pertama?


Hal ini selalu menjadi perdebatan dalam diskursus tentang keyakinan dan kebudayaan Indonesia. Kaum liberal mendukung ateis untuk tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia. Dengan alasan bahwa beragama merupakan hak, bukan kewajiban. Sedangkan kaum fundamentalis Islam tetap menentang hal itu, dengan dalih bahwa ateisme bertentangan dengan Pancasila, yang merupakan landasan Negara.


Terlepas dari polemik kewarganegaraan, di Indonesia telah sering terjadi konflik yang dilatar belakangi oleh sentimen agama. Mulai dari pembakaran Gereja, pembakaran Masjid, kasus bom bunuh diri yang banyak memakan korban tak bersalah, penganiayaan Front Pembela Islam (FPI) kepada Jama’ah Ahmadiyah, kasus ditangkapnya PNS Minangkabau hanya karena pengakuan ateisnya, dan banyak kasus lainnya.


Konflik Agama semakin sering menjadi perbincangan publik, seakan menunjukkan sisi buram Agama yang selama ini dianggap sebagai pondasi moral bangsa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan tidak merupah perspektif masyarakat Indonesia terhadap agama. Karena Agama telah dianggap sebagai sisi lain yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Agama dianggap sebagai kebutuhan spiritual yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu, spiritualitas agama hanya bisa dirasakan oleh orang beragama. Dan hal itu mereka anggap sebagai penyempurna dari makna kehidupan manusia. Keyakinan spiritual tersebut sangatlah subjektif, sehingga tidak bisa dibahasakan, apalagi dilembagakan.


Persoalannya adalah bahwa bangsa Indonesia dan sebagian besar masyarakatnya tidak bisa lepas dari pelembagaan agama, dan banyak orang yang sangat berkepentingan dengannya. Termasuk kekuasaan. Sehingga yang terjadi adalah realisasi keberagamaan yang tidak pada tempatnya. Karena yang seharusnya menjadi urusan privat kini telah terlembagakan. Kemudian mereka yang fanatik akan sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan melakukan apapun demi kepentingannya. Meskipun dengan menginjak hak asasi manusia. Meskipun dengan pertumpahan darah.


Sehingga seharusnya yang terlebih dahulu kita lakukan adalah menetralisir seminimal mungkin pengaruh agama di wilayah publik dengan memberikan penyadaran secara terus menerus kepada masyarakat akan pentingnya menjaga hubungan kewarganegaraan dibandingkan dengan hubungan keberagamaan.


Siapa saja orang ateis di Indonesia

| | 0 komentar |


Artikel ini adalah terjemahan dari salah satu artikel Soe Tjen Marching yang dimuat di “Jakarta Globe” dengan judul Who are the atheists in Indonesia
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa waktu yang lalu, pada awal tahun 2012, Alexander Aan ditahan oleh polisi di Sumatera Barat karena tulisannya, di halaman facebook miliknya, “God does not exist” (Tuhan itu tidak ada). Alexander, yang juga menjadi administrator group atheis di jejaring sosial ini, menyatakan bahwa ia tidak mempercayai adanya malaikat, setan, surga, neraka dan “mitos” lainnya. Singkatnya, ia adalah seorang atheis.

Saya tidak tahu apakah sebelumnya Alex telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata itu yang menyebabkan ia layak ditangkapi, akan tetapi insiden tersebut membuat saya bertanya mengapa atheis sangat dimusuhi di Indonesia. Apakah seseorang yang berkata bahwa ia tidak percaya pada Tuhan dianggap melecehkan agama? Apakah hanya orang atheis yang tidak percaya pada Tuhan? Tuhan yang mana? Terdapat begitu banyak agama dan Tuhan yang berbeda.

Sebagai contoh, ummat Muslim memiliki kitab suci dan Tuhan sendiri, begitu juga dengan ummat Kristen. Ummat Muslim dan Kristen menganggap Tuhan dalam bentuk gajah dan monyet (Tuhan ummat hindu Ganesha dan Hanuman) hanya sekedar mitos. Agaknya ummat Hindu akan keberatan jika harus menyembah Allah atau juru selamat, Yesus Kristus.
Artinya, jika anda beriman pada Tuhan agama tertentu, maka anda akan mengingkari Tuhan-tuhan agama lainnya. Dengan kata lain, ummat beragama adalah orang-orang atheis jika dihadapkan pada Tuhan agama yang lain.

Bahkan, satu agama dengan aliran berbeda mempunyai keyakinan yang barlainan. Sebagaimana dua aliran Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama. NU percaya bahwa tahlil (mendoakan orang mati) sangatlah islami, karena tahlil merupakan dzikir (mengingat dan menghormat pada Tuhan). Namun hal tersebut dianggap sesat oleh Muhammadiyah. Yang satu menganggapnya sebagai salah satu cara mendekatkan diri pada Tuhan, yang satu malah menganggapnya sesat.

Dalam agama Kristen juga terdapat berbagai aliran; Protestan dan Katholik, misalnya. Ummat Protestan tidak menyembah pada Perawan Maria. Mengapa? Karena mereka percaya Al-Kitab menyatakan bahwa hanya Yesus yang menjadi perantara untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Mereka mengutip bagian dari Al-Kitab yang berbunyi; “Hanya ada satu Tuhan, dan hanya satu penghubung antara Tuhan dan manusia, dia adalah Yesus Kristus” (1 Timothy 2:5). Sehingga, ummat Protestan menganggap pemujaan ummat Katholik pada Perawan Maria sebagai penyembahan berhala.

Sebaliknya, ummat Katholik percaya bahwa sejak Tuhan memilih wanita ini menjadi ibu dari Yesus, penghormatan ummat Katholik untuknya sama dengan penghormatan pada Tuhan.Umat Katolik yakin bahwa cara Tuhan memilih seorang ibu, menjadi jaminan bahwa Maria layak untuk mendapat tempat khusus dalam agama Katholik.

Terdapat banyak contoh dalam perbedaan aliran, salah satu yang krusial adalah kepercayaan pada surga dan neraka. Ummat Katholik percaya bahwa sebagian besar manusia akan masuk surga setelah mati. Namun, bagi sebagian orang yang belum cukup layak tidak bisa mendapatkan tempat yang indah itu. Mereka harus terlebih dahulu masuk ke “purgatory” (api penyucian) – tempat untuk menyucikan dosa – sampai mereka suci dari dosa.

Namun, tidak ada api penyucian dalam kepercayaan Protestan, mereka berkeyakinan bahwa manusia hanya bisa masuk di antara surga atau neraka, tak bisa keduanya. Dengan demikian, dalam satu agama, Tuhan mempunyai aturan yang berbeda.

Memang, satu agama bahkan aliran dapat menganggap sesat pada yang berlainan dengannya. Jika kita bicara tentang agama-agama di dunia, bisakah anda bayangkan betapa banyak hal yang berbeda? Betapa banyak macam surga, neraka, dan Tuhan di sana.

Ribuan tahun yang lalu, kaum Politheisme Roma pada umumnya sangat toleran kepada kepercayaan lain. Mereka mempercayai banyak Tuhan, dan sering mengadopsi Tuhan orang lain. Kepercayaan pada satu Tuhan, faktanya, dianggap aneh oleh penduduk kuno di laut tengah. Oleh karena itu, banyak orang Mesir, Roma, dan Yunani yang melihat kedatangan agama baru Kristen dengan penuh kecurigaan.

Pada tahun 64 sesudah masehi, pada saat kekuasaan Kaisar Nero (37-68), api memporak poranda Romaselama 6 hari. Pada puncak kemarahannya, mereka menyalahkan kaisar atas tragedi tersebut. Nero dengan segera menunjukkan jarinya pada ummat Kristen, yang dianggap sebagai orang “atheis” karena hanya percaya pada satu Tuhan. Nero memerintahkan agar supaya orang atheis ini ditangkap kemudian disiksa. Namun pada saat perang salib di Eropa sekitar tahun (1100-1600 M), giliran ummat Kristen menyiksa kaum Politheisme. Rupanya, di masa dan tempat yang berbeda, kepercayaan pada satu Tuhan atau beberapa Tuhan bisa berbeda tingkat popularitasnya. Siapa yang dianggap atheis dan yang tidak – pun bisa berbeda, tergantung dari mayoritas dalam populasinya. Dan juga, pada saat perang salib (abad 11-13 M) ummat Kristen menyatakan perang terhadap ummat Muslim.

Pada intinya, di masa dan tempat yang berbeda, Tuhan yang dianggap paling asli juga akan berbeda. Orang yang dianggap atheis dan tidak juga akan berbeda. Dengan satu atau beberapa alasan, kita semua bisa disebut sebagai atheis oleh system kepercayaan yang berbeda dengan kita. Sebagaimana Stephen Roberts yang menyatakan dirinya atheis: “Menurut saya kita sama-sama atheis, saya hanya percaya pada lebih sedikit Tuhan dari pada yang anda percayai.”

Baca juga teks aslinya dalam bahasa Inggris di sini

Muna dan Fiki = ISLAM

| | 0 komentar |


Mana yang salah? Islam atau budaya Indonesia?
Dulu Islam diterima dengan terbuka oleh masyarakat Indonesia, meskipun budaya Islam sangat berbeda dengan budaya pribumi.Dari kebaya menjadi kerudung, dari keris menjadi sajadah.

Kini masyarakat ekumenis tersebut berubah menjadi tertutup. Kini mereka menutup diri dari penerimaan budaya baru. Dan bodohnya, mereka menganggap budayanya saat ini adalah budaya aslinya.

Apakah Islam datang di Indonesia dengan kekerasan, pasti tidak. Kalau mereka datang dengan kekerasan, pasti sudah ditolak oleh orang-orang Indonesia. Justru karena elastisnya, Islam bisa masuk menjadi salah satu bagian dari Indonesia. Namun, kini setelah Islam sudah memiliki banyak ummat setia, ia menjadi bringas dan sombong.

Apakah Islam seperti itu? Iya.....

Bandingkan dengan peradaban Islam di Arab. Pada permulaan Islam, yang disampaikan adalah kelenturan tanpa paksaan. "Untukmu agamamu, untukku agamaku". Namun ketika Islam sudah tersebar dan besar, tiba waktunya bagi Islam untuk menunjukkan wajah aslinya, yang beringas dan penuh dengan paksaan. "Kejar dan bunuhlah mereka dimanapun kau temukan mereka".

Dalam perjalanannya, Islam di Indonesia pun memiliki dua wajah, ada yang masih berorientasi pada esensi "Islam is peace" juga yang menganggap "Jihad sebagai Perjuangan yang sesungguhnya".

Sehingga mereka yang menganut "Islam damai" menganggap ayat Makkiyah [lakum diinukum waliyadiin] "bagimu agamamu, bagiku agamaku" masih berlaku. padahal Pejihad bersurban itu berdalih bahwa ayat tersebut telah di "Naskh" (diabrogasi/diamandemen) oleh ayat madaniah "Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah".

Analoginya:
Andaikan kita sedang mau mengecat rumah... ayah anda mengatakan: "Saya mau rumah ini kita cat warna kuning" .... sejam kemudian ayah anda kembali lagi dan mengatakan: "Saya mau rumah ini kita cat warna merah" ... Setelah itu apa warna rumah ini?

Orang yang menganggap "Islam is Peace" akan menjawab = tetap kuning lah...
Sedangkan kambing bersurban dan komplotannya akan menjawab = merah dong...

Justru kalau menurut saya, orang-orang yang menyuarakan takbir sambil obrak abrik diskotik itulah yang mengerti esensi Islam. Karena itulah Tujuan akhir dari penyebaran Islam yang dilakukan Muhammad. Sedangkan orang2 yang menjalankan Islam sebagai Agama damai adalah orang-orang yang memahami metode persuasif sebagai esensi... sangat keliru,, itu adalah tipu muslihat yang lumrah dilakukan seorang politisi.

Dikotomi dalam satu tubuh ini memang membingungkan. Namun jelas bagi kita yang cukup menganggap Muhammad sebagai Politikus, bukan Utusan Tuhan.

Lalu apa itu Islam?

Polemik Fundamentalisme dalam Realitas Multikultural

| Senin, 13 Februari 2012 | 0 komentar |
Indonesia, Negara yang terkenal dengan keragaman suku, adat, ras, agama, dan budayanya terbentur dengan kenyataan pluralitas yang kompleks. Seakan orang-orangnya belum siap untuk menerima keragaman tersebut, sehingga dalam praktek bernegara  sering terjadi ketimpangan social yang disebabkan oleh kepentingan golongan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang lambat laun semakin mengikis persatuan bangsa.

Ketimpanagan tersebut banyak disebabkan oleh banyak hal, salah satu hal yang mempengaruhi adalah sistem pendidikan di Indonesia yang tidak bisa melepaskan diri dari belenggu fundamentalisme kelompok, dalam hal ini agama. Ketika kita telisik UU SISDIKNAS (sistem pendidikan nasional) Bab I pasaal 1 ayat pertama kita akan menemukan penjelasan bahwa tujuan penddikan adalah agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Bunyi penggalan undang-undang tersebut menunjukkan kepada kita secara eksplisit bahwa Negara telah ikut campur dalam urusan spiritual keagamaan yang seharusnya menjadi privasi masing-masing individu. Karena urusan kepercayaan tidak bisa diukur dan dinilai dengan hukum Negara. Sehingga jika agama dipaksakan untuk menjadi bagian dari urusan Negara, maka hukum dan dogma agama yang diajarkan disekolah akan mempengaruhi pola pikir anak didik dan akan berpotensi untuk menjadi tandingan hukum dan konstitusi Negara.

Hal tersebut jelas tidak kita inginkan, bagaimana mungkin Negara hukum dan demokratis diatur oleh hukum agama yang tidak lain adalah kitab suci. Namun kenyataan yang terjadi adalah, agama menjadi objek penting dalam aturan hidup di Indonesia. Agama wajib diajarkan di lembaga pendidikan formal sejak dini dengan alasan Indonesia adalah Negara beragama, sehingga sudah seharusnya Negara turut andil dalam pelestarian agama. Agama dianggap penting untuk terlibat dalam program pembangunan moral bangsa, dengan asumsi bahwa semakin agamis suatu masyarakat, semakin luhur pula budi pekertinya.  Namun kenyatannya, tidak sedikit penyimpangan dan kerusuhan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan agama.

Hal ini dapat kita temukan dalam beberapa kasus seperti teror bom di beberapa tempat umum, vandalism atau perusakan rumah-rumah ibadah, diskriminasi pada sekte-sekte yang dianggap sesat seperti Ahmadiyah, dan banyak lagi penyimpangan sosial yang dilatarbelakangi oleh sentimen agama. Bahkan jika kita mengingat kasus ditangkapnya Alex Aan (PNS atheis dari kota Padang Sumatera Barat) pada awal Januari tahun ini, hanya karena kepercayaannya, atheism, dianggap sebagai penodaan sila pertama, maka semakin jelas bahwa legitimasi Negara atas fundamentalisme agama begitu mempengaruhi banyak aspek dalam kelangsungan hidup bernegara, bahkan ranah hukum.

Dengan demikian, asumsi bahwa semakin agamis suatu masyarakat, semakin luhur pula budi pekertinya telah terbantahkan dengan beberapa kasus tersebut. Namun upaya pemerintah hanyalah sekedar penanggulangan dengan menggerakkan badan hukum yang dibuat khusus untuk menangani kasus-kasus tersebut, seperti Densus 88, bukannya menggali ke akarnya, yaitu mengkoreksi kembali sistem pendidikan yang berperan penting dalam pembentukan kepribadian bangsa. Karena jika kita pernah mencicipi pendidikan agama di sekolah, maka aspek yang diajarkan adalah aspek hukum atau dogma agama dan akidah, yang notabene sangatlah rentan dengan eksklusifisme dan fundamentalisme yang intoleran. Padahal, pendidikan adalah aspek terpenting dalam proses pemembentukan kepribadian bangsa. Apa jadinya bila pendidikan dikotori oleh fundamentalisme dan semangat-semangat kelompok yang lambat laun akan membentuk kepribadian bangsa yang puritan dan eksklusif.

Penangkapan Alex Aan (Atheis Minangkabau)

Namun, hal itu rupanya telah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan politik. Karena semakin fundamentalis suatu masyarakat, semakin tinggi pula keinginannya untuk menjadikan hukum keyakinan mereka menjadi hukum Negara, atau paling tidak, bisa ikut andil dalam menentukan hukum dan aturan hidup di Indonesia. Dan hal ini merupakan modal besar bagi politikus untuk meraih jabatan di kursi kekuasaan. Kaum fundamentalis adalah pendukung setia yang siap mengangkat seorang politikus yang dianggap bisa melaksanakan apa yang menjadi keinginan mereka. Sehingga upaya yang dilakukan oleh politikus tersebut adalah melestarikan fundamentalisme mulai dari kalangan paling bawah sampai teratas. Dan dunia pendidikan dianggap sebagai ladang subur untuk melestarikannya.

Dengan kata lain, jika fundamentalisme agama dilegitimasi oleh Negara dengan penyelenggarakan pendidikan agama di lembaga pendidikan formal, maka, Negara juga harus siap ketika konstitusi diintervensi oleh dogma agama yang dibawa oleh orang-orang dari kalangan fundamentalis. Sehingga bukan tidak mungkin apabila undang-undang nantinya akan dikuasai oleh kepentingan-kepentingan agama yang tidak lain adalah agama mayoritas.

Hal tersebut merupakan konsekwensi yang harus ditanggung Negara. Namun korbannya tak lain adalah rakyat. Dalam hal ini kaum minoritas jelas menjadi korban utama. Jika kita mengingat polemik RUU pornografi beberapa tahun yang lalu, maka itulah salah satu produk dari campur tangan agama dalam menyusun peraturan yang diberlakukan untuk seluruh warga Negara Indonesia. Jika saja RUU tersebut ditetapkan, maka yang dirugikan adalah para pecinta seni dan orang-orang yang menggeluti bidang intertaimen.

Jika kita mengingat kata “kedaulatan” maka di Indonesia hanya ada kedaulatan di tangan rakyat, hanya rakyat yang berdaulat di Indonesia. Namun intervensi agama selalu saja membawa Tuhan dalam kedaulatan Negara, sehingga dalam praktik penegakan hukum banyak terjadi diskriminasi terhadap kaum minoritas yang tidak cukup mempunyai kekuatan politik untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan konstitusi.

Berkembang pesatnya Partai politik Islam di Indonesia menunjukkan betapa banyak masyarakat Indonesia yang lebih percaya kepada pemimpin yang pro fundamentalisme dan melestarikan hubungan keberagamaan dari pada pemimpin yang nasionalis dan menjaga hubungan kewarganegaraan. Hal ini tidak lain adalah salah satu dampak dari proses pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah formal. Politik islam sudah tentu akan menghasilkan produk hukum ala islam dan dampaknya sudah tentu adalah fundamentalisme dan penggolongan masyarakat secara hirarkis berdasarkan agamanya.

Jefrey K. Hadden mengatakan dalam Profetic Religion and Politic (86) “Kebangkitan politik islam pada umumnya merupakan gejala telah lahirnya global fundamentalism yang siap melakukan penghadangan dan resistansi terhadap globalisasi, liberalisasi, serta kepentingan-kepentingan barat”. Dengan demikian kebangkitan politik islam berpotensi untuk menghambat terwujudnya bangsa yang adil dan sejahtera disebabkan oleh kebijakan-kebijakan politik yang akan cenderung memihak kelompok islam. Oleh karena itu kebangkitan politik islam di Indonesia harus diantisipasi dengan semangat multikultural sebagai perwujudan dari penerimaan realitas kebangsaan yang multi suku, adat, ras, agama, dan budaya. Untuk mewujudkannya tidak lain adalah dengan menyelenggarakan pendidikan berbasis multikultural dan pluralisme yang menanamkan kesadaran akan keanekaragaman SARA dan menuntun anak didik untuk bisa hidup berdampingan dengan bermacam-macam perbedaan.

Dengan demikian upaya yang seharusnya dilakukan oleh Negara adalah menjalankan program pendewasaan masyarakat dengan merekontruksi sistem pendidikan di sekolah formal ke arah pengutamaan kesadaran multikultur dan mereduksi atau paling tidak meminimalisir hal-hal yang menyebarkan bibit fundamentaisme. Jika hal itu adalah pelajaran agama di sekolah, maka seharusnya Negara membatasi aspek yang disampaikan dalam pelajaran agama di sekolah hanya dalam hal sejarah dan peradabannya, itu pun harus mencakup semua agama yang diakui di Indonesia sekaligus menyampaikan kemungkinan-kemungkinan adanya agama-agama atau kepercayaan yang belum diakui di Indonesia mengingat begitu pesat perkembangan budaya di Indonesia, tanpa harus memasukkan hukum dan doktrin kepercayaan agama tertentu yang pada akhirnya akan menjadi bibit fundamentalisme dan pemahaman yang sempit tentang nilai.

Pada intinya, Negara harus berupaya untuk memisahkan diri dari agama (menerapkan sekularisasi) secara utuh. Namun jika pelembagaan agama sebagai sarana dakwah atau pelestarian agama di masyarakat masih dianggap perlu bagi sebagian kelompok, maka biarlah itu diatur oleh lembaga otonom agama, dengan catatan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat dan tidak keluar dari hukum dan norma bernegara. Dan tugas Negara hanyalah untuk melayani lembaga-lembaga tersebut sesuai dengan proporsinya masing-masing tanpa pandang bulu.

Dengan begitu, kita berharap masyarakat bisa menerima realitas multikultural secara utuh. Penerimaan yang dimaksud tentu bukan sekedar toleransi, namun kesadaran untuk menerima dan menghormati orang lain yang berbeda dengan kita. Sehingga tercipta keharmonisan dan persatuan dalam perbedaan, seperti semangat sumpah pemuda untuk berbahasa satu,bertanah air satu, dan berbangsa satu – Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rocky Gerung – salah satu dosen besar di Universitas Indonesia Jakarta – dalam salah satu pidatonya “perbedaan kita tidak boleh menghalangi kita untuk berkata sama di depan ayat konstitusi, bukan ayat-ayat suci (kitab suci agama)”.

Dengan sistem sekuler (pemisahan Negara dari agama), bukan berarti Negara menjadi anti terhadap agama, namun justru sekulerisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan karena dalam menentukan kebijakan, terutamanya yang politis, akan didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Sehingga Negara akan kembali pada tujuan utamanya yaitu untuk melindungi hak setiap warga Negaranya, dan warga Negara bisa lebih bebas untuk menganut agama dan kepercayaannya masing-masing tanpa harus diatur oleh Negara. Serta konflik yang dilatarbelakangi oleh agama dapat dicegah, karena sejak dini masyarakat telah dididik dengan semangat kebhinnekaan. Kalaupun masih ada penyimpangan sosial yang dilatarbelakangi oleh agama,  paling tidak hukum yang berlaku akan bertindak tegas terhadap konflik-konflik yang terjadi di masyarakat tanpa mempertimbangkan hirarki keberagamaan, sehingga diskriminasi terhadap agama minoritas tidak lagi terjadi dan keutuhan hubungan kewarganegaraan akan terjaga.


Filsafat dan Liberalisme

| Sabtu, 28 Januari 2012 | 0 komentar |
Banyak di antara kita yang belajar filsafat sekaligus mendalaminya, namun hanya sedikit dari kita yang menaruh empati dan mempraktekkan apa yang kita pelajari dalam kehidupan kita. Filsafat seakan hanya menjadi sarana untuk menganalisis produk pemikiran seseorang atau hanya digunakan untuk alat berpikir jernih, namun dalam kenyataannya praktek berfilsafat selalu dibatasi oleh ideologi masa lalu yang telah mendarah daging dalam diri kita.

Kita terlalu berat untuk meninggalkan postulasi agama demi kebebasan berpikir kita, padahal tujuan kita berfilsafat adalah untuk kebebasan berpikir dan pada gilirannya akan tiba saatnya untuk membuka tabir kepalsuan di balik postulat-postulat yang membius kita selama ini. Namun, dosis yang kita minum terlalu berlebih, sehingga kita ketagihan akan postulat agama yang menenangkan batin kita dan sekaligus membunuh akal sehat kita. Kita berat untuk meninggalkannya karena kita terlanjur ketagihan oleh ketenangan yang diberikannya. Yang ada dalam pikiran kita adalah, “Hanya Agamaku lah yang dapat memberikan yang ku butuhkan”. Jika demikian yang terjadi, maka tidak ada lagi obat sebaik apapun yang dapat menggantikannya. Berfilsafat tidak lagi berguna jika diterapkan pada orang-orang semacam itu.

Filsafat hanya untuk orang-orang yang bersedia membuka pikiran dan meninggalkan apa saja yang menghalanginya untuk berpikir bebas, karena itulah tujuan berfilsafat yang sebenarnya. Namun yang banyak kita temui adalah orang-orang yang berfilsafat untuk mencari kebenaran Agamanya dari sudut pandang logika (dalil aqli) namun mengingkari kebenaran yang bertentangan dengan agamanya. Yang demikian adalah proses berfilsafat yang didahului oleh tujuan-tujuan apologetis (mencari alibi untuk agamanya sendiri) sehingga tidak akan sampai pada perspektif inklusif atau kesadaran pluralis.

Perspektif inklusif atau keterbukaan hanya dimiliki oleh orang-orang dengan kecerdasan liberal (bukan kecerdasan spiritual). Karena dengan kecerdasan liberal, kita bisa berpikir luas melebihi apa yang kita anggap benar. Bagi saya paham liberal adalah hakikat kehidupan sosial, yaitu bebas dari segala belenggu kemanusiaan. Bebas dari belenggu tiranik. Bebas dari belenggu diskriminatif. Bebas dari belenggu ideologi, politik, agama dan setersunya. Hikmat liberalisme adalah pada nilai-nilai azazi kemanusiaan. Tak ada satu orang pun yang boleh merampasnya.

Sedangkan kecerdasan spiritual hanya menjaga ketenangan batin ketika kita dilanda derita atau sedang mengalami kesusahan, fungsi kecerdasan spiritual hanya untuk menstabilkan keadaan kita agar tetap berupaya untuk tenang dan positif thinking (bukan berpikir realistis), karena kecerdasan spiritual tak ada bedanya dengan khotbah jum’at atau kuliah shubuh yang tujuannya hanya untuk menguatkan iman kita dan selalu percaya pada tuhan yang mengatur jalan hidup kita.

Dengan kata lain, ESQ yang dipromosikan oleh Ginanjar adalah bentuk teori apologetik Islam yang dikemas lebih modern, dengan tujuan agar bisa dikonsumsi oleh orang-orang yang bosan dengan khotbah jum’at atau kuliah shubuh di televisi yang pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu dakwah Islam.
Oleh karena itu, filsafat belum sampai pada tujuannya bila belum sampai pada liberalisme.

Saya Benci Membaca Al-Qur'an

| | 0 komentar |
Perasaan ini timbul ketika saya menyaksikan sebuah realitas yang paradoks dalam keberagamaan saya sendiri. Ketika saya membaca Al-Qur’an, yang saya temukan adalah sindiran-sindiran yang tertuju kepada saya, terasa isi kandungannya mendiskreditkan saya selaku pembaca setianya. Betapa tidak, Ayat-ayat yang semula ditujukan untuk kaum kafir dan orang-orang munafik sama persis dengan praktik beragama yang saya lakukan.

Saya suka mengkultuskan seseorang yang menjadi idola saya, sehingga saya tidak lagi mempertimbangkan benar-tidaknya apa yang menjadi pikiran idola saya, yang penting kalau dia yang bicara saya percaya, kritik logis tidak lagi saya butuhkan untuk menilai statemen idola saya. Yang demikian disebut dalam al-Qur’an sebagai penyekutuan Tuhan, karena kebenaran Tuhan terlalu kompleks bila harus dituangkan dalam porsonofikasi statemen seorang manusia.

Selain itu saya juga suka mengingkari kebenaran yang datang dari orang yang berbeda pemikiran dengan saya, karena cara berpikir saya terlalu simpel, yaitu segala hal yang berkenaan dengan keyakinan saya adalah kebenaran yang tidak akan saya ingkari dan saya akan selalu membantah segala hal yang membuat "status quo" yang menjadi kayakinan saya terancam tereduksi. Yang demikian dikatakan dalam Al-Qur’an sebagai kemunafikan, yang dinyatakan bahwa “kebenaran hanya milik Allah” dan bisa datang melalui siapa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan tidak menutup kemungkinan juga dari musuh kita.

Berbagai paradoksi tersebut mengguncang batin saya, sampai-sampai saya berupaya untuk mengingkari semua realitas itu untuk mencari posisi aman dari predikat kafir dan munafik. Namun akhirnya saya sadar, saya tak boleh menambah satu kesalahan lagi dengan mengingkari kekafiran dan kemunafikan saya, yang harus saya lakukan adalah berhenti mengkambing hitamkan Al-Qur’an yang jelas-jelas telah menganggap prilaku saya sebagai prilaku golongan kafir dan munafik, dan juga berupaya semaksimal mungkin untuk mengganti prilaku-prilaku kekafiran dan kemunafikan dengan prilaku muslim yang sebenarnya, yang tak mudah mengingkari kebenaran di luar kepercayaannya dan yang tidak mudah membenarkan semua yang datang dari orang lain, betapa pun orang itu kita anggap shalih dan kita yakini, karena Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia untuk menganalisa dan mengkoreksi hal-hal yang semula dianggap benar sebagai kesalahan di masa depan untuk kemudian digantikan dengan kebenaran yang relevan dari pencarian-pencarian yang tak sekedar taqlid buta.

Pendidikan Agama di Indonesia

| Sabtu, 14 Januari 2012 | 0 komentar |
Kegelisahan ini timbul hanya ketika ku membaca alam yang megah di luar diriku sendiri, terpaku di atas tanah pertiwi, terdiam terbata dan terbatas oleh fakir asa, fakir bahasa.

Kulihat apa yang kurasa, yang kubaca dan kumengerti akan Indonesia pertiwi. Kuingat dasar negara dengan kedaulatan di tangan rakyat, namun rekayasa politik selalu saja membawa Tuhan dalam kedaulatan Negara, sehingga dalam Undang-Undang tentang tujuan pendidikan sampai dikatakan bahwa "Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan akhlaq anak didik" bukannya "mencerdaskan kehidupan bangsa" seperti yang termaktub dalam konstitusi.

Ada apa dengan Indonesia?
Indonesia, Negara yang mempunyai sumpah pemuda; "Bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu". Di dalamnya tak ada sumpah untuk beragama satu atau bertuhan satu. Tapi mengapa agama begitu menjadi hal yang dianggap penting hingga bisa memainkan alur politik, pemikiran dan kebudayaan di Indonesia.

Dalam konstitusi, secara eksplisit dikatakan bahwa Indonesia adalah negara sekuler. Karena Tuhan tak berdaulat di Indonesia, Negara Indonesia hanya berdasarkan kedaulatan rakyat. Tak seharusnya agama dijadikan sebagai parameter kewarganegaraan. Beragama adalah hak yang boleh diambil, boleh juga tidak. Sehingga makna dari sila pertama tidak harus diartikan sebagai keharusan warga Indonesia untuk memeluk agama.

Sayang sekali bila kepentingan hubungan kewarganegaraan dikesampingkan hanya demi kepentingan hubungan keberagamaan. Dan ironisnya kaum fundamentalis agama sering kali menggunakan sila pertama sebagai justifikasi untuk kekuatan dan kepentingan kelompok dalam eksistensinya di ranah public politic, itu pun diakibatkan oleh penafsiran pancasila yang eksklusif, subjektif dan disesuaikan dengan masing-masing ideologi yang dibawa, dalam hal ini agama.

Kenyataan yang terjadi adalah, agama menjadi objek penting dalam aturan hidup di Indonesia. Agama wajib diajarkan di lembaga pendidikan formal sejak dini. Sedangkan aspek yang diajarkan adalah aspek hukum agama dan akidah, yang notabene sangatlah rentan dengan eksklusifisme dan fundamentalisme. Padahal, pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk kepribadian bangsa. Apa jadinya bila pendidikan dikotori oleh fundamentalisme dan semangat-semangat kelompok yang lambat laun akan membentuk kepribadian bangsa yang puritan dan eksklusif.

Pendidikan Agama di Sekolah
Pendidikan agama di sekolah sebagaimana yang dirumuskan dalam kurikulum pendidikan agama sangatlah berorientasi pada keimanan dan ketakwaan, sehingga ukuran keberhasilan pendidikan agama adalah ketika anak didik telah mampu mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan, ada upaya dari Departemen agama untuk mengembangkan kurikulum pendidikan agama dengan menitikberatkan pada aspek psikomotorik anak didik, sehingga diharapkan pelajaran agama dapat terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan keseluruhan mata pelajaran dengan proses pendidikan terpadu. Hal ini sangat mengancam semangat Nasionalisme dalam jiwa anak didik. Bagaimana mungkin mata pelajaran yang dilandaskan pada kepercayaan dijadikan sebagai acuan proses pembelajaran di sekolah. Sedangkan yang disampaikan dalam pelajaran agama adalah masalah iman dan ritual keberagamaan. Anak didik diajarkan untuk memprioritaskan percaya pada doktrin agama, tanpa harus mempertanyakannya, dan kita tahu bahwa dalam ajaran agama diajarkan yang namanya claim truth, yaitu percaya bahwa agama kita lah yang paling benar, kemudian diajarkan ritual-ritual keberagamaan yang indikatornya tidak hanya mengarah pada aspek kognitif, namun juga psikomotorik, sehingga anak didik tidak cukup menjadikannya sebagai pengetahuan, namun juga harus bisa mempraktekkannya.

Kurikulum semacam itu selain membunuh daya kritis anak didik, juga seakan-akan bertujuan untuk mengutamakan keberagamaan dan meletakkan kepentingan kewarganegaraan pada ranah sekunder. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan utama kewarganegaraan dan realitas kemajemukan Indonesia, sehigga output dari proses pendidikan semacam itu tidak bisa diharapkan untuk bersikap adil dan bijak ketika dihadapkan dalam realitas kemajemukan di Indonesia.

Realitas multikultural seakan hanya menjadi wacana tanpa arah, karena sejak dini masyarakat telah dicekoki oleh nilai-nilai parsial, dalam hal ini moral agama, sementar nilai-nilai universal yang berpedoman pada hukum positif dan sejajar dengan rasionalitas sama sekali tidak diutamakan. Pendidikan semacam itu hanya akan menciptakan manusia-manusia dengan perspektif sempit tentang nilai dan moral.

Tak heran jika di Indonesia banyak terjadi konflik yang melibatkan ummat beragama, karena sejak dini masyarakat telah dididik untuk eksklusif, intoleran, dan hidup secara individual. 

Jika agama dianggap perlu untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah, maka seharusnya yang diajarkan adalah sejarah-sejarah peradabannya, bukan aspek hukum dan akidahnya, itu pun harus mencakup seluruh agama yang diakui di Indonesia. Sehingga pendidikan agama di sekolah tidak dimonopoli oleh agama mayoritas.

Seharusnya yang lebih diprioritaskan adalah pendidikan berbasis multikutural dengan mengenalkan keberagaman SARA di Indonesia sekaligus cara bijak untuk menyikapinya. Sehingga pluralitas dapat diterima dengan terbuka oleh setiap warga Negara, dan keutamaan hubungan kewarganegaraan bisa terjaga.

Dengan demikian seharusnya negara tidak melegitimasi pendidikan yang berimbas pada perpecahan yang disebabkan oleh fundamentalisme. Sehingga upaya yang harus diterapkan adalah pemisahan urusan Negara dan urusan agama. Biarlah agama diatur oleh kelompok agama masing-masing, walaupun seharusnya agama hanya boleh dikonsumsi secara individual. Namun jika dakwah atau pelestarian agama di masyarakat masih dianggap perlu bagi sebagian kelompok, maka biarlah itu diatur oleh kelompok masing-masing, dengan catatan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat dan tidak keluar dari hukum dan norma bernegara.

Sudah saatnya Kurikulum Pendidikan Indonesia menerapkan pendidikan kewarganegaraan yang berpedoman kepada sumpah pemuda, di mana sama sekali agama tidak disinggung di sana, sehingga semangat yang harus ditanamkan sejak dini adalah semangat untuk bersatu dan berkata sama di depan ayat-ayat kontitusi, bukan di depan ayat-ayat suci. Berpegang teguh pada kedaulatan Rakyat, bukan kedaulatan Tuhan.

Bagaimana dengan ummat beragama?
Dengan memisahkan Negara dari agama, bukan berarti negara menjadi anti terhadap agama. Namun justru masyarakat bisa lebih bebas untuk menganut agamanya masing-masing tanpa harus diatur oleh Negara. Dan konflik antar ummat beragama dapat diminimalisir, karena paling tidak Negara akan bertindak tegas terhadap konflik-konflik yang terjadi di masyarakat tanpa mempertimbangkan latar belakang keberagamaan, sehingga diskriminasi terhadap agama minoritas tidak lagi terjadi.