Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Pendidikan Agama di Indonesia

| Sabtu, 14 Januari 2012 | |
Kegelisahan ini timbul hanya ketika ku membaca alam yang megah di luar diriku sendiri, terpaku di atas tanah pertiwi, terdiam terbata dan terbatas oleh fakir asa, fakir bahasa.

Kulihat apa yang kurasa, yang kubaca dan kumengerti akan Indonesia pertiwi. Kuingat dasar negara dengan kedaulatan di tangan rakyat, namun rekayasa politik selalu saja membawa Tuhan dalam kedaulatan Negara, sehingga dalam Undang-Undang tentang tujuan pendidikan sampai dikatakan bahwa "Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan akhlaq anak didik" bukannya "mencerdaskan kehidupan bangsa" seperti yang termaktub dalam konstitusi.

Ada apa dengan Indonesia?
Indonesia, Negara yang mempunyai sumpah pemuda; "Bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu". Di dalamnya tak ada sumpah untuk beragama satu atau bertuhan satu. Tapi mengapa agama begitu menjadi hal yang dianggap penting hingga bisa memainkan alur politik, pemikiran dan kebudayaan di Indonesia.

Dalam konstitusi, secara eksplisit dikatakan bahwa Indonesia adalah negara sekuler. Karena Tuhan tak berdaulat di Indonesia, Negara Indonesia hanya berdasarkan kedaulatan rakyat. Tak seharusnya agama dijadikan sebagai parameter kewarganegaraan. Beragama adalah hak yang boleh diambil, boleh juga tidak. Sehingga makna dari sila pertama tidak harus diartikan sebagai keharusan warga Indonesia untuk memeluk agama.

Sayang sekali bila kepentingan hubungan kewarganegaraan dikesampingkan hanya demi kepentingan hubungan keberagamaan. Dan ironisnya kaum fundamentalis agama sering kali menggunakan sila pertama sebagai justifikasi untuk kekuatan dan kepentingan kelompok dalam eksistensinya di ranah public politic, itu pun diakibatkan oleh penafsiran pancasila yang eksklusif, subjektif dan disesuaikan dengan masing-masing ideologi yang dibawa, dalam hal ini agama.

Kenyataan yang terjadi adalah, agama menjadi objek penting dalam aturan hidup di Indonesia. Agama wajib diajarkan di lembaga pendidikan formal sejak dini. Sedangkan aspek yang diajarkan adalah aspek hukum agama dan akidah, yang notabene sangatlah rentan dengan eksklusifisme dan fundamentalisme. Padahal, pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk kepribadian bangsa. Apa jadinya bila pendidikan dikotori oleh fundamentalisme dan semangat-semangat kelompok yang lambat laun akan membentuk kepribadian bangsa yang puritan dan eksklusif.

Pendidikan Agama di Sekolah
Pendidikan agama di sekolah sebagaimana yang dirumuskan dalam kurikulum pendidikan agama sangatlah berorientasi pada keimanan dan ketakwaan, sehingga ukuran keberhasilan pendidikan agama adalah ketika anak didik telah mampu mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan, ada upaya dari Departemen agama untuk mengembangkan kurikulum pendidikan agama dengan menitikberatkan pada aspek psikomotorik anak didik, sehingga diharapkan pelajaran agama dapat terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan keseluruhan mata pelajaran dengan proses pendidikan terpadu. Hal ini sangat mengancam semangat Nasionalisme dalam jiwa anak didik. Bagaimana mungkin mata pelajaran yang dilandaskan pada kepercayaan dijadikan sebagai acuan proses pembelajaran di sekolah. Sedangkan yang disampaikan dalam pelajaran agama adalah masalah iman dan ritual keberagamaan. Anak didik diajarkan untuk memprioritaskan percaya pada doktrin agama, tanpa harus mempertanyakannya, dan kita tahu bahwa dalam ajaran agama diajarkan yang namanya claim truth, yaitu percaya bahwa agama kita lah yang paling benar, kemudian diajarkan ritual-ritual keberagamaan yang indikatornya tidak hanya mengarah pada aspek kognitif, namun juga psikomotorik, sehingga anak didik tidak cukup menjadikannya sebagai pengetahuan, namun juga harus bisa mempraktekkannya.

Kurikulum semacam itu selain membunuh daya kritis anak didik, juga seakan-akan bertujuan untuk mengutamakan keberagamaan dan meletakkan kepentingan kewarganegaraan pada ranah sekunder. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan utama kewarganegaraan dan realitas kemajemukan Indonesia, sehigga output dari proses pendidikan semacam itu tidak bisa diharapkan untuk bersikap adil dan bijak ketika dihadapkan dalam realitas kemajemukan di Indonesia.

Realitas multikultural seakan hanya menjadi wacana tanpa arah, karena sejak dini masyarakat telah dicekoki oleh nilai-nilai parsial, dalam hal ini moral agama, sementar nilai-nilai universal yang berpedoman pada hukum positif dan sejajar dengan rasionalitas sama sekali tidak diutamakan. Pendidikan semacam itu hanya akan menciptakan manusia-manusia dengan perspektif sempit tentang nilai dan moral.

Tak heran jika di Indonesia banyak terjadi konflik yang melibatkan ummat beragama, karena sejak dini masyarakat telah dididik untuk eksklusif, intoleran, dan hidup secara individual. 

Jika agama dianggap perlu untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah, maka seharusnya yang diajarkan adalah sejarah-sejarah peradabannya, bukan aspek hukum dan akidahnya, itu pun harus mencakup seluruh agama yang diakui di Indonesia. Sehingga pendidikan agama di sekolah tidak dimonopoli oleh agama mayoritas.

Seharusnya yang lebih diprioritaskan adalah pendidikan berbasis multikutural dengan mengenalkan keberagaman SARA di Indonesia sekaligus cara bijak untuk menyikapinya. Sehingga pluralitas dapat diterima dengan terbuka oleh setiap warga Negara, dan keutamaan hubungan kewarganegaraan bisa terjaga.

Dengan demikian seharusnya negara tidak melegitimasi pendidikan yang berimbas pada perpecahan yang disebabkan oleh fundamentalisme. Sehingga upaya yang harus diterapkan adalah pemisahan urusan Negara dan urusan agama. Biarlah agama diatur oleh kelompok agama masing-masing, walaupun seharusnya agama hanya boleh dikonsumsi secara individual. Namun jika dakwah atau pelestarian agama di masyarakat masih dianggap perlu bagi sebagian kelompok, maka biarlah itu diatur oleh kelompok masing-masing, dengan catatan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat dan tidak keluar dari hukum dan norma bernegara.

Sudah saatnya Kurikulum Pendidikan Indonesia menerapkan pendidikan kewarganegaraan yang berpedoman kepada sumpah pemuda, di mana sama sekali agama tidak disinggung di sana, sehingga semangat yang harus ditanamkan sejak dini adalah semangat untuk bersatu dan berkata sama di depan ayat-ayat kontitusi, bukan di depan ayat-ayat suci. Berpegang teguh pada kedaulatan Rakyat, bukan kedaulatan Tuhan.

Bagaimana dengan ummat beragama?
Dengan memisahkan Negara dari agama, bukan berarti negara menjadi anti terhadap agama. Namun justru masyarakat bisa lebih bebas untuk menganut agamanya masing-masing tanpa harus diatur oleh Negara. Dan konflik antar ummat beragama dapat diminimalisir, karena paling tidak Negara akan bertindak tegas terhadap konflik-konflik yang terjadi di masyarakat tanpa mempertimbangkan latar belakang keberagamaan, sehingga diskriminasi terhadap agama minoritas tidak lagi terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...