Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Fiqih Lintas Budaya

| Kamis, 06 Oktober 2011 | |
Kita sudah sering mendengar istilah Fiqih kontemporer, Fiqih Eksklusif, Fiqih Moderat, Fiqih Sufistik, Fiqih Sosial, dan lain-lain. Banyak macam-macam Fiqih yang kita kenal, kita juga mengenal Fiqih Lintas Agama yang dipopoulerkan oleh aliran Islam Liberal. Namun agaknya Fiqih jenis ini banyak ditentang oleh para Kyai sepuh terutama di Provinsi Jawa Timur, yang kebanyakan dihuni oleh Islam Kanan.

Secara Bahasa, Fiqih Lintas Agama berarti suatu rangkaian hukum Islam yang diambil dari dasar cara pandang atau pola pikir inklusif atau perspektif terbuka pada Agama lain dengan mengenyampingkan postulat masing-masing agama dengan tujuan meminimalisir perbedaan, di samping itu juga mencari pokok-pokok persamaan agar dalam mengimplementasi hukum tetap berlandaskan pada mashlahatul ummat. Namun, dalam aplikasinya, Fiqih lintas Agama justru banyak meninggalkan praktek Islam pribumi yang terbentuk dari akulturasi budaya Indonesia dan Esensi Ajaran Islam, demikian juga Fiqih Lintas Agama juga dipelopori oleh aliran Liberal yang terlanjur mendapat stigma negatif dari kalangan Islam jawa dan kebanyakan Kyai sepuh. Oleh karena itu, Fiqih jenis ini kurang banyak diminati oleh mayoritas Muslim di Indonesia, meskipun secara implisit Gus Dur telah mengaplikasikannya dalam pergerakan Islam Pribuminya beberapa tahun yang lalu.

Agaknya Fiqih Lintas Agama terlanjur dianggap terlalu provokatif oleh mayoritas Muslim, baik dikarenakan redaksinya yang terlalu mencolok, atau kerena dipelopori oleh pihak yang telah mendapat raport merah dari korektor Muslim Indonesia, seperti MUI dan FPI.

Kini masyarakat dikenalkan dengan Fiqih Lintas Budaya yang cenderung lebih bersahabat dalam redaksinya, karena tidak lagi menyinggung Lintas Iman. Fiqih Lintas Budaya mengandung ideologi tentang eksistensialisme, yaitu prinsip di mana muslim diperkenankan untuk lebih Liberal dalam menerapkan hukum yang berkenaan dengan hal muamalah, serta mengkontekstualisasikan hukum Al-Qur'an dengan budaya setempat.

Fiqih Lintas Budaya lebih mengandung unsur kemasyarakatan dan hubungan hablun min an-naas dari pada hal-hal yang bersifat transeden (postulat), oleh karena itu Fiqih ini lebih bersahabat dan dapat diterima oleh kalangan muslim yang tidak telalu berani membincangkan, bahkan mempertanyakan tentang hal-hal transeden, yang mana hal itu adalah makanan shari-hari para penganut Aliran Liberal, dan dari sanalah Fiqih Lintas Budaya terlahir, meskipun banyak hal-hal yang disamarkan demi menarik minat masyarakat untuk mendalaminya.

Bersambung...!

0 komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...