Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Etika Beragama

| Senin, 13 Juni 2011 | |


Ketika memilih judul tersebut, saya teringat oleh suatu ungkapan bahwa “Untuk menjalani hidup, tak dibutuhkan pikiran yang pandai, akan tetapi pikiran yang mengerti”. Begitu pula dalam beragama, kita tak cukup hanya mengetahui ajaran-ajaran Agama saja, namun hakikat keberagamaan itu sendiri yang harus terus dicari dan dipahami. Sehingga Agamawan tak terjebak pada pengertian-pengertian beragama yang terkadang terdistorsi oleh setiap orang yang memahaminya.

Agama
--------
Agama adalah suatu keyakinan yang memiliki postulat masing-masing, yang berupa dogma-dogma yang harus dipatuhi oleh setiap pemeluknya, postulat tersebut merupakan identitas Agama itu sendiri yang tak bisa diubah atau dikritisi, karena hal itu sudah merupakan identitas yang apabila diubah akan mengubah Agama itu sendiri. (Alferd: 2009, Hal: 7)

Agama mengandung nilai-nilai universal yang bersifat kekal, tak berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Hal ini bisa juga disebut dengan Hakikat keagamaan. Namun dalam prakteknya Agama selalu berproses dan elastis. Karena Agama dalam prakteknya tidak sama dengan hakikat keagamaan itu sendiri.
Oleh karena itu kita harus bisa memilah dan membuat diferensiasi antara Agama yang bersifat Universal (hakikat keberagamaan) dan Agama yang bersifat Parsial (praktek beragama).

Agama dalam aspek Universal
----------------------------------
Dalam aspek universal, istilah agama dipahami sebagai nilai-nilai luhur yang mengajarkan kebaikan. Setiap agama memiliki nilai-nilai luhur yang menjadi landasan praktek keberagamaannya. Landasan tersebutlah yang dipegang teguh oleh Agamawan, dan masing-masing Agamawan memiliki pemahaman yang berbeda tentang nilai itu, tingkat pemahaman tentang nilai-nilai luhur tersebutlah yang menjadi tolak ukur spiritual keberagamaan masing-masing Agamawan.

Agama dalam Aspek Parsial
--------------------------------
Dalam aspek parsial, istilah agama dipahami sebagai praktek keberagamaan sebagai abstraksi dari pemahaman dari pengertian agama secara Universal, sehingga dalam aplikasinya Agama dipahami dari sisi subjek dan objek dalam proses prehensi tentang agama itu sendiri (Alferd: 2009, Hal: 4). Oleh karena itu, Agama dalam aspek parsial selalu terpengaruh oleh konteks subjek atau orang yang menjalankannya, namun juga tetap berlandaskan pada titik postulat yang sudah menjadi identitas suatu Agama.

Praktek beragama adalah usaha untuk mewujudkan nilai-nilai luhur yang menjadi tujuan dari konsep agama itu sendiri. Karena sangatlah mustahil apabila nilai-nilai luhur yang abstrak tersebut bisa direalisasikan tanpa adanya perwujudan Agama secara parsial yang memperhatikan konteks pemeluk agama itu sendiri, sehingga proses keberagamaan tidak dipandang sebagai hal yang absurd dan jauh dari jangkauan pola pikir masyarakat, dan yang terpenting adalah konsep keberagamaan tetap pada tujuannya yaitu kemashlahatan ummat.

Praktek Beragama
---------------------
Dalam praktek beragama, hal utama yang harus dikaji dan dipahami, yaitu, hakikat subjek atau pelaku agama itu sendiri, yaitu manusia dengan akalnya.
Manusia adalah makhluq yang memilki 2 fungsi sekaligus yang keduanya harus berjalan seimbang dan harmonis, yaitu:
1. Manusia sebagai Makhluq Sosial
2. Manusia sebagai Hamba Tuhan
Masing-masing fungsi tersebut meiliki ranah atau domain tersendiri. Karena setiap fungsi tersebut diperuntukkan bagi objek yang berbeda, maka prektek atau aplikasinya juga berbeda.

Dalam praktek beragama, Manusia sebagai makhluk sosial (dalam hal ini agamawan) mengambil domain publik untuk meletakkan nilai-nilai agama yang dianutnya, sehingga respon manusia tak lepas dari konteks publik yang terkadang sangat beragam. Maka manusia juga membutuhkan pengetahuan tentang hukum sosial dan kajian keilmuan yang lain, sehingga praktek beragama dalam masyarakat tidak menyimpang dari peradaban masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, agama yang dimaksud mencakup tentang dialektika masalah hukum maupun realisasi keberagamaan yang harmonis yang tujuan utamanya tidak lain adalah kemashlahatan ummat (masyarakat secara keseluruhan).

Di sisi lain, manusia memiliki domain khusus dalam praktek beragama, yaitu praktek beragama personal. Dalam hal ini, komunikasi manusia (agamawan) hanya tertuju pada keyakinan pribadinya, yaitu persepsinya tentang postulat agama yang diyakini dan dirasakannya secara pribadi; pada Tuhan yang diyakininya beserta semua dogma-dogmanya. Maka kali ini manusia berada pada fungsi yang ke-dua, yaitu manusia sebagai hamba Tuhan.

Dalam fungsi yang ke-dua ini terkandung sifat independen dan relatif, oleh karena itu, dalam prakteknya selalu dipengaruhi oleh pribadi masing-masing manusia dalam menghayati dan mengenal Tuhannya secara pribadi. Maka dalam hal ini, yang berperan adalah sisi spiritual seorang manusia. Oleh karena itu, masing-masing pribadi memilki konsep spiritual yang berbeda, dan hal itu merupakan hak prerogative tiap-tiap manusia.

Kadang seorang manusia akan sangat tampak pluralis dalam ranah publik, namun dalam ranah personal dia akan sangat fanatis pada postulat agamanya.
begitu juga sebaliknya. Maka manusia harusnya dapat memiliki virtu, yakni sikap yang tepat pada waktu dan tempat yang tepat dalam merealisasikan kedua fungsinya (sebagai makhluq sosial dan hamba Tuhan). Sehingga tak akan terjadi deklarasi publik yang menfatwakan bahwa hanya agama yang dianutnya yang benar. Karena hal itu akan menimbulkan disintegrasi dalam bermasyarakat. Dan tak akan terjadi pemerkosaan iman oleh keyakinan lain, dengan mempermasalahkan ritual keagamaan pemeluk agama lain yang dianggap tidak realistis menurut pandangannya, karena tiap-tiap keimanan sudah selayaknya memperoleh penghormatan yang agung, bukan malah dikritisi dan dipermasalahkan dalam ranah publik, karena yang demikian adalah keyakinan masing-masing personal dan sudah menjadi hak prerogative dalam praktek beragama secara personal.

Pada akhirnya, untuk menjadi manusia yang baik, seorang pemeluk agama tidak hanya membutuhkan pengetahuan agama saja melainkan juga etika dalam beragama. Ketika seorang agamawan telah memahami tentang etika beragama, ia tak akan berpikiran kerdil dalam langkah kehidupannya, karena ia telah menjalankan kedua fungsi manusia dengan tepat dalam waktu dan tempat yang tepat.

0 komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...