"Pluralisme Agama memang membutuhkan pengakuan, baik secara personal, komunal maupun institusional. Namun Pluralitas Agama tidak. Pluralitas Agama butuh pengakuan dan perlakuan penuh harga"
Pluralisme telah menjadi salah satu isme yang mengglobal. Di mana-mana orang menganggap bahwa menghargai perbedaan adalah perasaan dan tindakan yang identik dengan pluralisme. Walau pun sebenarnya pluralisme bisa dimaknai dalam perspektif yang jamak, namun dalam catatan ini pluralisme yang dibicarakan adalah pluralisme agama. Saya sebut agama karena pluralisme dalam pengembangan konsepnya yang modern lebih banyak berkutat soal agama-agama dan pengembangannya di Indonesia juga sangat concern terhadap persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat dari perjumpaan (pemeluk) agama-agama yang berbeda-beda.
Penolakan terhadap pluralisme agama (sebagaimana dilakukan MUI dan juga berbagai pihak yang tidak terpublikasi) adalah hal yang sama sekali wajar dan biasa. Sebab seperti biasanya suatu paham/perspektif perlu untuk disetujui baru kemudian diterima atau malah sebaliknya, tidak disetujui dan lantas ditolak. Penolakan terhadap isme tertentu bukan pula hal yang baru terjadi, sebut saja komunisme dan atheisme yang telah ditolak oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, agar diterima dan diberlakukan, suatu isme, misalkan pluralisme agama sangat membutuhkan persetujuan (consent), baik personal, komunal, maupun institusional.
Ada banyak alasan mengapa orang-orang menolak pluralisme agama. Pluralisme agama ditolak karena dicurigai sebagai suatu agama global dengan misi penghapusan identitas agama-agama, penghapusan klaim kebenaran, dan bertentangan dengan standar-standar nilai tertentu, misalnya kitab suci, dogma, dan sebagainya. Orang yang menerima pluralisme agama dan mengembangkannya pun punya alasan sendiri dan hal ini tidak perlu menjadi menjadi masalah karena tidak memiliki cukup alasan.
Pluralisme agama adalah paham/perspektif baru terhadap realitas kehidupan beragama yang beragam. Interaksi lintas batas yang meningkatkan intensitas perjumpaan pemeluk agama yang berbeda-beda, politisasi agama, dan konflik bernuansa agama memungkinkan pluralisme agama berkembang dengan cepat dalam rangka penciptaan solusi dan proyeksi hidup bersama yang damai antara agama-agama yang berbeda. Tujuan yang mulia ini sekiranya tidak ditolak. Tetapi jika ada penolakan terhadap pluralisme agama, maka tidak jadi soal karena tidak akan berdampak serius. Bagi saya, jika saudara-saudari mau menerima dan mengembangkan pluralisme agama atau mau menolak dan mengharamkannya, silahkan saja sebab pluralisme agama pun bukan perspektif tunggal untuk memahami realitas beragama yang plural di Indonesia. Pluralisme agama, pada dirinya sendiri, juga memiliki keragaman. Bandingkanlah pluralisme agama a la Cobb dengan pluralisme agama a la Hick. Karena itu, percayalah, tidak akan terjadi konflik antar agama jika anda menolak pluralisme agama.
Hal pluralisme agama tentu sangat jauh berbeda dengan pluralitas agama. Jika pluralisme agama adalah perspektif untuk memahami realitas beragama yang plural, maka pluralitas agama adalah eksistensi agama yang plural di Indonesia yang berupaya dipahami dari perspektif tadi. Pluralisme agama adalah suatu paham atau perspektif sedangkan pluralitas agama adalah eksistensi.
Persoalan kita kini tidak terletak pada penerimaan atau penolakan terhadap suatu isme (pluralisme agama), melainkan pada pengakuan terhadap pluralitas agama sebagai ayng eksistensial dari bangsa kita. Banyak orang tidak berhasil untuk membedakan dua hal yan hampir mirip ini (pluralisme agama dan pluralitas agama) dan kekeliruan ini berdampak serius. Perhatikanlah, persetujuan (consent) yang sebenarnya mesti terarah pada pluralisme agama sebagai paham sering diarahkan secara salah kepada pluralitas agama sebagai yang eksistensial, yang sesungguhnya tidak membutuhkan persetujuan dari siapa pun.
Masalah yang muncul dalam interaksi antara pemeluk agama yang berbeda-beda di Indonesia akhir-akhir ini, menurut saya, mungkin juga bersumber dari ketidakmampuan untuk membedakan pluralisme agama dengan pluralitas agama. Lihatlah bahwa beragama (beribadah, membangun tempat ibadah, dan melakukan berbagai aktivitas lainnya) di Indonesia masih sangat memerlukan persetujuan dari pihak tertentu. Padahal beragama adalah kehidupan kedua setelah eksistensi agama diakui, oleh karena itu beragama menjadi juga sesuatu yang eksistensial yang turut menjadi pilar bangsa dan sesuatu yang eksistensial itu tidak membutuhkan persetujuan. Eksistensi agama yang berbeda-beda di Indonesia hari ini tidak membutuhkan persetujuan melainkan pengakuan yang sadar dari semua orang dan perlakuan yang penuh harga.
Upaya pengingkaran atas realitas yang plural inilah yang memunculkan banyak masalah. Agama-agama sebagai realitas yang eksistensial dipaksa untuk hanya bisa menjadi ada atau tidak ada berdasarkan persetujuan dari pihak tertentu. Setiap orang yang hendak menyangkali realitas eksistensial agama-agama di Indonesia sebenarnya sedang memaksa diri untuk menciptakan dunia mimpi yang tidak pernah bisa jadi nyata, sebab titik pijak untuk mencapai tujuan tadi bukan kenyataan karena (sekali lagi) agama-agama sebagai eksistensi tidak membutuhkan persetujuan, melainkan pengakuan dan perlakuan penuh harga.
Mengingkari eksistensi agama yang jamak menjadi akar dari masalah-masalah relasi antar (pemeluk) agama-agama di Indonesia dan masalah-masalah yang muncul dalam relasi antar (pemeluk) agama ini bisa terselesaikan bahkan mungkin terbangun secara baik jika setiap orang menyadari realitas berbangsa hari ini. Bangsa kita adalah bangsa yang penuh dengan pluralitas (multi-agama, multi-etnis, dsb).
Kehidupan beragama dalam kenyataan yang plural di Indonesia bisa lebih baik lagi jika realitas beragama yang plural itu terinternalisasi dan menjadi kesadaran bersama. Akhirnya, terhadap realitas agama yang plural di Indonesia dan kepada semua pemeluk agama saya ucapkan selamat beragama. Anda tidak butuh persetujuan dari siapa pun untuk hal itu !
1 komentar:
9 Januari 2011 pukul 23.21
Anda jangan sekeedar menulis saja,, tapi tunjukkan referensinya yang jelas.. menurut saya Pluralisme Agama sudah diakui oleh semua Agama, dan itu merupakan Sunnatullah.
Posting Komentar
Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...