Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Pengetahuan dan Pengalaman dari Perspektif Filsafat Proses Whitehead

| Selasa, 04 Januari 2011 | |
“…..all process which aim progress is based upon
a universal innate desire of
every organism to live beyonds its means…”
Samuel Butler, 1912

Filsafat proses Alfred North Whitehead tidak saja menggugah jantung pemikiran metafisika pada masanya (selanjutnya ANW), tetapi juga menyentuh wilayah epistemologi. Didalam epistemologi dia bergulat dengan bagaimana kita mengetahui sesuatu dan bagaimana otentisitas sebuah pengalaman yang dihadapkan pada pengetahuan. Pertanyaan mendasar yang ingin saya angkat pada tulisan ini berkenan dengan bagaimana ANW memberikan sumbangan dalam wilayah epistemologi. Yang menjadi titik tolak adalah teori mengenai prehension (prehensi). Pengertian ini mencangkup sebuah usaha mencari perdamaian intelektual antara dua kubu yang telah lama berseteru yakni realisme dan idealisme. Yang satu menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan, yang lain menekankan ide-ide dan abstraksi sebagai bentuk pengetahuan yang legitim. Namun juga harus diperhatikan bahwa pengalaman dalam perspektif ANW memiliki tempat yang istimewa, maksudnya dengan mengalami kita menjadi lebih kaya dan penuh dibandingkan jika kita sekedar mengetahui. Dalam perspektif filsafat proses secara keseluruhan, pengalaman sekali lagi adalah basis fundamen yang diberi sentuhan metafisis, usaha pemaknaannya mencoba menggugah kesadaran kita akan makna pengalaman dan proses dalam keseharian kita.

Pendahuluan
            Alfred North Whitehead lahir 15 Februari 1861 di Ramsgate, Kent, Inggris dan meninggal di Cambridge, Massachusettes, Amerika Serikat 30 Desember 1947. Hidupnya dipenuhi dengan konteks pergolakan yang meliputi dua perang dunia yang juga mengguncangkan umat manusia keseluruhan. Dalam dunia Filsafat ia menimba banyak gagasan dari dari para pemikir dari berbagai macam aliran, yang memiliki pemikiran yang bukan haya berbeda namun sering kali bertentangan dengan pemikiran Whitehead sendiri. whitehead bersikap positif pada pluralisme pandangan ini, dia tidak hanya menerima begitu saja warisan pemikiran orang lain tanpa mengolah sekaligus mengintegrasikannya dengan sistem yang dia bangun sendiri. filsafat Whitehead merupakan sebuah usaha kritis dan kreatif dalam berdialog intelektual dengan para pemikir lain serta refleksi maupun konfrontasinya dengan pengalaman hidup.
            Dalam berbagai bukunya, ANW sendiri mengaku dirinya adalah pengikut Plato (terutama Process and Reality). Hal ini dikarenakan kekagumannya pada gagasan Plato yang dianggapnya segar, kaya makna, poetis, dan terbuka. Kesadaran akan betapa besarnya pengaruh Plato terhadap filsafat yang lahir setelahnya mendorong ANW untuk secara agak hiperbolik menyebut seluruh tradisi filsafat Eropa tidak lain adalah catatan kaki atas filsafat Plato[1]. Pada bagian pengantar buku Process and Reality sistem filsafat yang mau dikembangkan adalah suatu sintesis kreatif atas kosmologi yang telah dicetuskan oleh Plato[2], terutama jika dilihat dalam dialognya yang berjudul Timaeus dengan aliran kosmologi modern seperti yang dikembangkan oleh Galileo dan Newton. Tulisan ini tidak memfokuskan diri pada perspektif kosmologi ANW, melainkan pada pemikirannya pada bidang epistemologi. Namun pemikiran ANW adalah suatu sistem dengan abstraksi metafisik yang luar biasa rumit, dan pemikiran epistemologisnya terkandung dalam satu bagian pemikiran yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari bagian yang lain seperti metafisikanya, kosmologinya, ataupun pemikirannya mengenai Tuhan. Konsep prehensi sekali lagi menjadi kunci, usaha memahaminya dalam perspektif proses merupakan suatu pemahaman epistemologis yang berharga jika kita mau memahami segala kompleksitas aspek pengalaman hidup kita secara lebih bijaksana dan menyeluruh.

Prehensi sebagai solusi
            Teori utama ANW dalam hal epistemologis berkaitan langsung dengan prehension. Ini adalah bentuk usaha dari ANW untuk memberikan jalan tengah dari perbedaan persepsi epistemologi sejak Descartes. Sebuah usaha untuk memberikan legitimasi kebenaran pada upaya pencapaian pengetahuan tentang kebenaran yang terus diupayakan sebelumnya. Dua bendera besar yang dibawa dalam pertentangan persepi dalam wilayah epistemologi ini adalah realisme dan idealisme. Menurut kaum realisme, sesuatu baru dapat dikatakan memenuhi kebenaran jika terdapat kesesuaian antara kenyataan dan pemikiran yang menjadi subjek dari proses mengetahui itu. Hal ini mendapat kontradiksi dari kaum idealisme yang memiliki tendensi masuk kedalam abstraksi metafisik dari pikiran untuk merumuskan basis dari realitas yang ada. Dari sisi kaum realisme sendiri ada beberapa aliran yang juga menentukan. Tapi tetap dengan kesamaan yang mengatakan bahwa sesuatu itu benar jika konsep yang dinyatakan itu sesuai dengan keadaan realitas yang sesungguhnya. Aliran pemikiran tersebut antara lain, realisme naif, realisme ekstrem, realisme moderat dan realisme kritis. Namun sekali tetap otoritas pembuktian kebenaran tetap mengacu pada objek pengetahuan yang dimengerti sebagai kenyataan diluar subjek yang dapat mengetahui dan dapat berdiri diluar konstruksi subjek yang melihat. Dengan kata lain terutama dalam pemahaman realisme naif, bahwa subjek tidak memiliki peran sama sekali dalam pembentukan pengetahuan, dalam arti semua konstruksi pengetahuan sepenuhnya berada di tangan objek dan subjek hanya bersikap pasif dalam proses ini.
            Pemikiran ini sangat bertolak belakang dengan pemahaman idealisme, yang lebih menekankan subjek sendiri dengan tatanan konsep yang abstrak sebagai bentuk pengetahuan atas benar dan salah. Idealisme adalah sebuah aliran filsafat yang berpandangan bahwa yang nyata adalah ide dan bukan materi. Dengan pandangan ini yang justru menjadi pusat penekanan adalah metafisika dan bukan epistemologi[3].  Sehingga kesimpulannya tidak ada realitas di luar subjek, yang ada hanya pemahaman subjek itu atas realitas, tanpa subjek tidak ada realitas. Segala sesuatu baru menjadi penuh dan utuh kalau ada subjek yang mengambil proses mengetahui. Tidak objek pengetahuan yang lepas dari subjek yang mengetahui. Tidak ada objek yang mandiri berdiri pada dirinya sendiri, karena objek menjadi ada karena ada subjek, objek adalah konstruksi subjek[4]. Dalam wilayah pemahaman ini subjek secara aktif mengkonstruksi pengetahuan, eksistensi objek sepenuhnya berada di tangan aktivitas subjek dalam merekonstruksi. ANW berupaya memberikan semacam jalan tengah atas problematika epistemologis ini. Bagaimana idealisme sebenarnya bisa mucul? Penyebab lahirnya idealisme bisa ditinjau baik dari dalam maupun dari luar lingkungan filsafat. Dari lingkungan filsafat sendiri idealisme lahir dari kritisisme Kant yang menjadi titik tolak utama bagi filsafat idealisme. Yang dimaksud adalah pandangan Kant mengenai das Ding an sich, yang nyata-nyata meninggalkan sebuah problematika inkonsistensi dalam tubuh filsafat Kant sendiri. dimana problemnya? Entitas das Ding an sich bagi Kant merupakan sebab unsur materi dari pengindraan kita, dan juga entitas ini tidak bisa diketahui karena melampaui pengetahuan kita. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa entitas ini menjadi sebab sesuatu kalau mengetahuinya saja kita tidak mampu? Konsep sebab disini menurut Kant melampaui kategori pengetahuan itu sendiri, dan disini letak inkonsistensi[5].  
            Faktor luar filsafat yang juga berpengaruh pada kelahiran idealisme adalah teologi. Banyak filsuf idealis sebelum berpindah haluan ke dunia filsafat terlebih dahulu mencecap wawasan teologi sebagai dasar pemikirannya, memang kita juga tak bisa sembarangan mengatakan bahwa idealisme adalah teologi yang implisit, tetapi juga tidak berlebihan kalau mau dikatakan bahwa dalam aras idealisme beberapa tema teologi muncul kepermukaan dengan menggunakan baju atau kedok filosofis. Teologi muncul secara filosofis dalam idealisme. Misalnya, hubungan antara Allah yang tetap dengan manusia yang berubah diganti menjadi hubungan antara ada absolut dan ada relatif menjadi tema pokok dalam pergulatan pemikiran idealisme. Dengan demikian idealisme bisa juga dikatakan sebagai demitologisasi atau rasionalisasi dari teologi Kristen yang masuk kedalam alam pemikiran spekulasi filosofis.
Menurut ANW baik realisme naif maupun idealisme absolut telah jatuh pada titik ekstrem yang pada akhirnya mereduksi kenyataan itu sendiri. Sebenarnya kalau kita mau kritis melihat pemahaman masing-masing aliran, baik subjek maupun objek adalah dua entitas yang sama-sama diperlukan keberadaannya untuk mencapai suatu kondisi pengetahuan. Memang masing-masing tidak berdiri sendiri secara mandiri, namun tetap berada dalam suatu hubungan korelatif yang berkesinambungan. Dengan kata lain usaha untuk mereduksinya kedalam subjek aktif atau objek aktif semata adalah sebuah reduksi pemahaman kedalam polarisasi subjek-objek. ANW mempunyai ambisi untuk mengatasi kesalahpahaman ini. Dengan teori prehensinya ANW berusaha masuk dan mengatasi dikotomi subjek objek yang diwariskan tersebut. ANW juga sekaligus mengkritik pemahaman Hume yang terwujud dalam aliran sensasionalisme, bahwa pengetahuan itu muncul hanya karena penerimaan pasif oleh subjek atas rangkaian impresi atomis yang berasal dari objek di luar subjek dan ditangkap sebagai gabungan oleh pancaindera. Sehingga apa yang dapat diketahui hanyalah apa yang dapat ditangkap dan dicerna oleh panca indera. Pandangan ANW menelurkan suatu pemikiran baru yang disebut dengan prehensi[6]. Istilah ini diciptakan oleh ANW sendiri, dan berasal dari bahasa Latin prehendere yang artinya mengambil, memegang, atau menangkap. Dengan istilah ini ANW berusaha menggambarkan sebuah proses menuju kondisi mengetahui dari setiap satuan aktual terhadap semua unsur lingkungan yang ada di sekitarnya. Istilah ini perlu dibedakan dengan istilah perception, yang menurut dia lebih dekat dengan pengertian dengan akal budi. Sedangkan dengan istilah prehension ANW lebih menekankan bahwa penyerapan yang paling dasar atas unsur lingkungan dalam proses menjadi dirinya sendiri (konkresi) dan dalam menyumbangkan diri pada proses pembentukan satuan aktual lain (transisi) itu tidak semuanya disertai kesadaran dan tidak selalu bersifat kognitif. Setiap satuan aktual merupakan sebuah kesatuan kompleks[7] dari berbagai prehensi[8]. Dalam konteks ini ada dua persepsi yang menjadi titik perhatian kita. Pertama adalah persepsi positif yang lebih dikenal dengan nama feelings, merupakan proses inklusi memasukan pengalaman dari unsur lingkungan kedalam proses pembentukan diri dari satuan aktual yang sedang terus berproses menjadi. Sedangkan yang kedua dikenal dengan nama eksklusi yaitu penyingkiran unsur lingkungan dalam proses yang sama. Prinsipnya seperti proses penyaringan, bahwa yang relevan bagi proses satuan aktual akan diserap (inklusi dengan feeling) dan yang tidak relevan dalam perkembangan satuan aktual akan ditolak (eksklusi).  Ada 5 faktor yang berpengaruh dalam proses ini, pertama subjek yang merasakan, data awal yang dirasakan, eliminasi unsur yang dieksklusikan, data objektif yang dirasakan, dan cara subjek merasakan data objektif. Untuk mempermudah pemahaman, saya akan mencoba memberi gambaran bagaimana proses epistemologis itu terjadi, sebagai sebuah usaha visualisasi mengenai apa yang disebut dengan Simple Physical Feeling yakni suatu bentuk prehensi positif yang melibatkan hubungan langsung antara satuan aktual sebagai subjek yang merasakan, dan satuan aktual lain sebagai objek yang dirasakan.[9]

                                                                                                                                
setiap simple physical feeling selalu mengkutsertakan dua satuan aktual, yang menjadi subjek dan yang menjadi objek. Dalam gambar diatas, pemain anggar menjadi satuan aktual yang satu adalah subjek yang merasakan dengan potensi besar yang masih mungkin untuk mewujudkan diri, dan bola menjadi satuan aktual kedua sebagai objek yang dirasakan juga sebagai data awal yang sudah mencapai kepenuhan dan tidak bisa mengubah dirinya lagi. Kita akan melihat bagaimana proses pemain anggar mengetahui fenomen bola dalam proses epistemologis pemikiran ANW. Langkah pertama adalah menyadari bahwa bola sebagai data awal terlibat dalam proses konkresi sebagai materi yang memiliki potensi untuk diserap dan diolah oleh subjek pemain anggar yang menjalani proses mewujudkan dirinya. (1) adalah subject which feels= subjek yang merasakan, namun bukan subjek yang hanya ada dan menjadi begitu saja, melainkan harus ditekankan proses ‘feelings’ dan proses yang membentuknya, yaitu pengalaman masa lampau. Memiliki subjective aim  -tujuan yang terkandung dalam setiap satuan aktual, merupakan arah yang ingin selalu dituju dalam setiap gerak dan proses yang terjadi dalam satuan aktual- satuan aktual yang ada dalam dirinya, sehingga sekaligus dia sekaligus juga keluar dari dirinya sendiri. (2) adalah satuan aktual yang diprehensi, atau dirasakan lebih merupakan sebuah ‘konkresi’ dari berbagai macam prehensi. (2) juga merupakan data awal yang adalah keseluruhan bola, satuan aktual masa lampau yang dalam perspektif subjek menjadi ‘bahan’ untuk diambil unsurnya. (X) data objektif yang berarti bagian dari data awal yang dirasakan dan diambil sebagai sesuatu relevan bagi pembentukan dirinya. Proses penyerapan x kedalam subjek c disebut juga dengan Simple Physical Feeling[10] -. Feelings (x1),(x2),(y) merupakan sebuah prehensi negatif pada subjek (1). Artinya, unsur x1 , x2, dan y adalah unsur yang tidak dipergunakan atau tidak relevan bagi pembentukan diri subjek, unsur yang dieksklusi. Unsur ini memang dieliminasi namun mendapat pemaknaan baru dalam perspektif kepentingan subjek (1), dengan kata lain walaupun unsur ini dieliminasi tetapi memberi pengaruh pada pembentukan diri subjek (1). Di sisi lain, prehensi postif terletak pada proses penerimaan x oleh bagian subjek C.
            Dari pemekaran epistemologis diatas kita dapat melihat bahwa walaupun unsur x1, x2, dan y mengalami eliminasi namun tetap memberikan pengaruh pada pembentukan diri subjek (1), kedudukannya disini adalah sebagai bentuk dari prehensi negatif. Dengan kata lain, semua hal yang dialami subjek baik yang relevan ataupun yang tidak relevan (mengalami eksklusi) tetap berpengaruh pada proses perkembangan subjek, juga muncul kesadaran pentingnya proses dari pembentukan diri dan interkoneksi yang berkesinambungan dari pengalaman-pengalaman yang dilalui subjek[11]. Hal keempat yang juga perlu diperhatikan adalah mengenai subjective form[12], yaitu bagaimana subjek “merasakan” data subjektif. Ada dua kemungkinan perasaan yang muncul, yaitu jika subjek mengalami ketertarikan pada data objektif yang diambil maka disebut juga dengan aversion, sedangkan jika subjek mengalami perasaan enggan terhadap data objektif yang diambil maka disebut juga dengan adversion. Kategori-kategori mengenai bagaimana momen subjek yang merasakan sebenarnya tidak hanya dua, ada juga yang namanya emotions, valuations, purposes, consciousness, dan subjective form. Prehensi sebagai sebuah proses epistemologis sebenarnya mau mengatakan bahwa adalah sebuah perjalanan berkesinambungan untuk mencapai apa yang dinamakan dengan subjective aim, yakni tujuan hidup yang mau dicapai dalam proses antara apa yang diresapi dan apa yang tidak diresapi dari pengalaman subjek tidak hanya berhenti dalam satu proses, melainkan terus, saling mempengaruhi satu sama lain, dan juga bahwa semua bentuk pengalaman dan pengetahuan tidak akan pernah sia-sia, semuanya membentuk subjek baik secara prehensi positif maupun prehensi negatif.

Mengenai persepsi dan pengalaman
            Menurut ANW ada 3 macam persepsi, pertama adalah persepsi yang ditangkap oleh panca indera, dalam hal ini ANW lebih menyebut sebagai presentational immediacy. Yang dialami dari jenis persepsi pertama ini adalah apa yang secara langsung tampak dan menyediakan diri bagi perangsangan panca indera yakni pengetahuan akan sesuatu yang sudah dipilah-pilah menurut akal budi manusia. Aliran sensasionalisme menyamakan begitu saja persepsi dengan presentational immediacy ini, padahal menurut ANW tipikal persepsi seperti ini sudah merupakan sebuah abstraksi dari yang lebih mendasar. Persepsi jenis kedua adalah causal efficiacy adalah dimana objek secara kausal menyatakan diri kepada subjek yang memprehensi atau “merasakannya” [13] sehingga kerap merupakan sebuah reaksi spontan atas proses pengetahuan akan suatu objek. Dalam konteks ini persepsi tidak hanya berlaku pada manusia, melainkan pada seluruh mahluk hidup termasuk hewan dan tumbuhan, yang juga mendasari secara sah upaya memahami masa sekarang, meramal masa depan, dengan berbekal pengetahuan atas proses pengalaman di masa lampau. Persepsi ini adalah jenis persepsi yang paling mendasar, karena objek menyatakan diri dan ditangkap oleh subjek masih dalam keutuhannya yang belum terpisah-pisah secara tegas. Yang ketiga ada persepsi yang disebut dengan symbolic reference, sebagai perpaduan antara causal effifacy dan presentational immediacy.  Sebagai contoh ketika saya melihat sebuah pohon mangga, dengan tinggi 6 meter, berdaun hijau, berbatang kasar. Kesadaran akan sebutan pohon mangga tidak hanya mendasarkan diri pada pengalaman empiris saya terhadap pohon itu, melainkan juga mengandaikan seluruh pengalaman masa lalu baik dari benda dihadapan saya maupun masa lalu yang saya alami secara subjektif. Kata “pohon” lebih mengacu pada sebuah simbol bahasa, yang menunjuk pada objek realitas tertentu dihadapan saya. Pohon pun adalah sebuah simbol yang lahir dari warisan kultur sosial dimana saya hidup dan berkembang, jika dalam budaya kita adalah pohon maka dalam kebudayaan Inggris mereka akan lebih menyebut tree. Ungkapan itu adalah sebuah hasil hubungan yang berkesinambungan, semua masa lalu saya, masa lalu masyarakat saya terlibat dalam suatu kegiatan penciptaan ungkapan itu. Begitu pula masa lalu benda yang saya sebut sebagai pohon itu, dibelakangnya terdapat historisitas yang terungkap dalam proses yang terus menerus berjalan.
            Hal ini melahirkan kesadaran baru akan jawaban atas pertanyaan bagaimana aku sebagai subjek mampu mengetahui sesuatu. Bahwa aku adalah satuan aktual yang tidak berdiri sendiri dan tertutup serta murni subjektif melainkan hasil dari proses sejarah masa lalu aku yang terus memiliki kesinambungan historis serta mempengaruhi satu sama lain dengan satuan aktual yang lain di masa datang. Maka setiap bentuk pengalaman selalu melibatkan interkoneksi antara aku dengan aku-aku yang lain atau sesuatu di luar aku. Dikotomi subjek objek dilampaui disini, dengan pernyataan bahwa subjek lahir dari objek yang memberikan diri dan selanjutnya subjek itu telah mencapai kepenuhan dengan proses prehensi sehingga menjadi objek-objek bagi subjek-subjek lain dimasa datang, maka pemisahan subjek dan objek tidak lagi menjadi relevan, karena subjek yang sekarang mengakui diri sebagai subjek adalah objek bagi subjek yang lain. Dengan kata lain pengalaman selalu butuh proses dan interkoneksi yang terus menerus[14]. Disisi lain, ANW berpendapat bahwa realitas adalah apa saja yang masuk dalam kategori pemahaman kita dalam bentuk pengalaman, dan pengalaman dalam konteks ini selalu lebih kaya dari pengetahuan. Pengetahuan hanya menemukan basis empirisnya pada manusia, sehingga ini menjadi sebuah ciri khas sendiri pada manusia, hewan dan tumbuhan tidak bisa mengetahui. Refleksi di tahap epistemologis sebelum ANW kerap menyamakan apa yang dapat diketahui manusia dengan apa yang tentangnya manusia mendapatkan gagasan yang tegas dan jelas. Bahwa yang dapat diketahui harus dapat dipahami secara tegas dan jelas, kenyataan adanya hal-hal yang tidak dapat dialami secara jelas dan tegas disingkirkan dan dicap sebagai mitos atau tidak layak untuk dipahami.  Descartes dengan cogitonya semakin mengibarkan bendera pemikiran semacam ini, dan kategori jelas dan tegas menjadi tolok ukur apakah sesuatu sungguh nyata atau hanya sekedar reka-reka belaka. Filsafat modern pada awal kelahirannya telah menjadi berat sebelah ke arah epistemologi. Apa yang dapat ditangkap secara jelas dan tegas itulah yang diakui sebagai yang nyata, entah ditemukan melalui intuisi akal budi atau mengalami melalui pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat ditangkap oleh akal budi atau oleh panca indera dianggap sebagai tidak ada,  tidak objektif, dan menjadi sebuah ketetapan yang sewenang-wenang. Dengan kata-kata lain konsep pemikiran yang belum dapat dijelaskan secara cerah dan tegas dianggap sebagai tidak nyata, mereduksi juga kedalaman makna hidup, nilai-nilai yang dianut, pada ruang yang tidak nyata.
            Filsafat proses ANW memaknai pengalaman sebagai objek penelitian filosofis yang mempunyai cangkupan jauh lebih luas dan tentunya lebih mendalam dari pada pengalaman dipahami dalam perspektif ilmu lain, sains misalnya. Dalam ruang sains pengalaman hanya dipahami sebagai objek yang diamati dan dicerap secara empirik melalui ruang panca indera manusia, sedangkan dalam perpektif ANW, pengalaman dipandang memeluk seluruh realitas yang ada sejauh dapat dialami, dipikirkan, dan direfleksikan oleh manusia. Pengalaman dalam perspektif ini menyentuh seluruh kenyataan dan bersangkut paut dalam proses terbentuknya apa yang kerap dia sebut sebagai satuan aktual, yakni entitas aktual yang menyatukan seluruh kenyataan yang ada kedalam gumpalan pemahamannya. ANW disini berperan sebagai seorang filsuf empiris, filsafat tidak boleh melulu hanya bersifat spekulatif, tetapi harus melandaskan diri pada pengalaman empiris yang teruji kebenarannya atas dasar kesesuaian sistem pemikiran yang diciptakan dengan pengalaman empirik yang ada. Empirisme ANW harus tetap dibedakan dengan empirisme ala Locke ataupun David Hume, menurut William James empirisme ANW adalah empirisme radikal dengan cirinya yakni memandang realitas secara holistik. Kenyataan harus dipahami dan dialami secara utuh dan menyeluruh dengan segala “bau” ambiguitas dan kompleksitasnya, dan kemudian dianalisa secara tajam dengan pisau rasio untuk memperoleh kejelasan dan ketepatan. Disini pengalaman mendapat prioritasnya.   
            Bagi ANW semakin jelas bahwa potensi pengalaman jauh lebih kaya dari pada pengetahuan, hal ini kelihatan pada penekanannya di konsep feelings sebagai kategori dasar pengalaman. Feeling dipandang bukan hanya sebagai monopoli manusia saja, melainkan sebagai sebuaah kategori dasar dari semua mahluk hidup. Perlu diingat juga feeling adalah prehensi positif adalah penyerapan unsur-unsur dunia sekitar untuk menjadi bagian dari bentuk satuan aktual dalam proses konkresinya[15]. Panca indera untuk mencapai pengetahuan bukanlah satu-satunya cara untuk melalukan penyerapan itu, pengalaman-pengalaman estetis, religius, moral, umumnya mampu mengatasi penyerapan inderawi dan tidak pertama-tama bermotifkan pengetahuan. ANW menyatakan bahwa fungsi pokok suatu proposisi pengalaman bukan untuk ditemukan kesalahannya, melainkan sebagai rangsangan bagi perwujudan nilai dan pencapaian pemahaman akan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Tapi kenyataan berbeda dengan apa yang diketahui, ANW berpendapat bahwa pengalaman –seperti terus tersirat dalam tulisan saya ini- selalu jauh lebih kaya daripada pengetahuan. Mengapa? Konsekuensi logisnya begini, jika kenyataan disamakan begitu saja dengan apa yang diketahui, dan yang diketahui disamakan juga dengan apa yang mengenainya manusia dapat membuktikan secara ilmiah empiris atau jelas dan tegas, maka realitas ilahi, nilai-nilai, arah, makna, dan tujuan hidup yang secara objektif menjadi bagian dari hidup manusia akan tersingkir dan dianggap sebagai persepsi subjektif niscaya belaka. Demikian filsafat proses berusaha untuk tetap setia pada bendera keutuhan dan kekayaan pengalaman yang dilengkapi dengan segala bentuk kompleksitasnya. Filsafat proses ANW harus berpijak dan bermuara dalam relung pengalaman, pengalaman dalam arti setajam-tajamnya secara ontologis menyangkut seluruh kenyataan yang ada dan menjadi yang juga tidak hanya dibatasi hanya pada hal ilmiah dan empirik belaka. Kenyataan yang ada dan menjadi adalah lebih luas daripada apa yang dapat disampaikan secara logis, jelas, dan lugas, apalagi hanya dibatasi pada proses kuantifikasi dalam bentuk angka-angka.

Kesimpulan
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pandangan epistemologis ANW, antara lain, pertama, Teori utama ANW dalam hal epistemologis berkaitan langsung dengan prehension. Ini adalah bentuk usaha dari ANW untuk memberikan jalan tengah dari perbedaan persepsi epistemologi sejak Descartes. Sebuah usaha untuk memberikan legitimasi kebenaran pada upaya pencapaian pengetahuan tentang kebenaran yang terus diupayakan sebelumnya. Kedua,  Menurut dia baik realisme naif maupun idealisme absolut telah jatuh pada titik ekstrem yang pada akhirnya mereduksi kenyataan itu sendiri. Sebenarnya kalau kita mau kritis melihat pemahaman masing-masing aliran, baik subjek maupun objek adalah dua entitas yang sama-sama diperlukan keberadaannya untuk mencapai suatu kondisi pengetahuan. Memang masing-masing tidak berdiri sendiri secara mandiri, namun tetap berada dalam suatu hubungan korelatif yang berkesinambungan. Dengan kata lain usaha untuk mereduksinya kedalam subjek aktif atau objek aktif semata adalah sebuah reduksi pemahaman kedalam polarisasi subjek-objek.
Ketiga, Pandangan ANW menelurkan suatu pemikiran baru yang disebut dengan prehensi[16]. Istilah ini diciptakan oleh ANW sendiri, dan berasal dari bahasa Latin prehendere yang artinya mengambil, memegang, atau menangkap. Dengan istilah ini ANW berusaha menggambarkan sebuah proses menuju kondisi mengetahui dari setiap satuan aktual terhadap semua unsur lingkungan yang ada di sekitarnya. Istilah ini perlu dibedakan dengan istilah perception, yang menurut dia lebih dekat dengan pengertian dengan akal budi. Sedangkan dengan istilah prehension ANW lebih menekankan bahwa pencerapan yang paling dasar atas unsur lingkungan dalam proses menjadi dirinya sendiri (konkresi) dan dalam menyumbangkan diri pada proses pembentukan satuan aktual lain (transisi) itu tidak semuanya disertai kesadaran dan tidak selalu bersifat kognitif. Empat, Dalam konteks ini ada dua persepsi yang menjadi titik perhatian kita. Pertama adalah persepsi positif yang lebih dikenal dengan nama feelings, merupakan proses inklusi memasukan pengalaman dari unsur lingkungan kedalam proses pembentukan diri dari satuan aktual yang sedang terus berproses menjadi. Sedangkan yang kedua dikenal dengan nama eksklusi yaitu penyingkiran unsur lingkungan dalam proses yang sama. Prinsipnya seperti proses penyaringan, bahwa yang relevan bagi proses satuan aktual akan diserap (inklusi dengan feeling) dan yang tidak relevan dalam perkembangan satuan aktual akan ditolak (eksklusi). Lima, , semua hal yang dialami subjek baik yang relevan ataupun yang tidak relevan (mengalami eksklusi) tetap berpengaruh pada proses perkembangan subjek, juga muncul kesadaran pentingnya proses dari pembentukan diri dan interkoneksi yang berkesinambungan dari pengalaman-pengalaman yang dilalui subjek[17]. Enam, mengenai subjective form, yaitu bagaimana subjek “merasakan” data subjektif. Ada dua kemungkinan perasaan yang muncul, yaitu jika subjek mengalami ketertarikan pada data objektif yang diambil maka disebut juga dengan aversion, sedangkan jika subjek mengalami perasaan enggan terhadap data objektif yang diambil maka disebut juga dengan adversion. Kategori-kategori mengenai bagaimana momen subjek yang merasakan sebenarnya tidak hanya dua, ada juga yang namanya emotions, valuations, purposes, consciousness, dan subjective form. Tujuh, Prehensi sebagai sebuah proses epistemologis sebenarnya mau mengatakan bahwa adalah sebuah perjalanan berkesinambungan antara apa yang diresapi dan apa yang tidak diresapi dari pengalaman subjek. Tidak hanya berhenti dalam satu proses, melainkan terus, saling mempengaruhi satu sama lain, dan juga bahwa semua bentuk pengalaman dan pengetahuan tidak akan pernah sia-sia, semuanya membentuk subjek baik secara prehensi positif maupun prehensi negatif.
Delapan, ada 3 macam persepsi, pertama adalah persepsi yang ditangkap oleh panca indera, dalam hal ini ANW lebih menyebut sebagai presentational immediacy. Yang dialami dari jenis persepsi pertama ini adalah apa yang secara langsung tampak dan menyediakan diri bagi perangsangan panca indera. Aliran sensasionalisme menyamakan begitu saja persepsi dengan presentational immediacy ini, padahal menurut ANW tipikal persepsi seperti ini sudah merupakan sebuah abstraksi dari yang lebih mendasar. Persepsi jenis kedua adalah causal efficiacy adalah dimana objek secara kausal menyatakan diri kepada subjek yang memprehensi atau “merasakannya” [18]. Dalam konteks ini persepsi tidak hanya berlaku pada manusia, melainkan pada seluruh mahluk hidup termasuk hewan dan tumbuhan, yang juga mendasari secara sah upaya memahami masa sekarang, meramal masa depan, dengan berbekal pengetahuan atas proses pengalaman di masa lampau. Persepsi ini adalah jenis persepsi yang paling mendasar, karena objek menyatakan diri dan ditangkap oleh subjek masih dalam keutuhannya yang belum terpisah-pisah secara tegas. Yang ketiga ada persepsi yang disebut dengan symbolic reference, sebagai perpaduan antara causal effifacy dan presentational immediacy.
Sembilan, Hal ini melahirkan kesadaran baru akan jawaban atas pertanyaan bagaimana aku sebagai subjek mampu mengetahui sesuatu. Bahwa aku adalah satuan aktual yang tidak berdiri sendiri dan tertutup serta murni subjektif melainkan hasil dari proses sejarah masa lalu aku yang terus memiliki kesinambungan historis serta mempengaruhi satu sama lain dengan satuan aktual yang lain di masa datang. Maka setiap bentuk pengalaman selalu melibatkan interkoneksi antara aku dengan aku-aku yang lain atau sesuatu di luar aku. Dikotomi subjek objek dilampaui disini, dengan pernyataan bahwa subjek lahir dari objek yang memberikan diri dan selanjutnya subjek itu telah mencapai kepenuhan dengan proses prehensi sehingga menjadi objek-objek bagi subjek-subjek lain dimasa datang, maka pemisahan subjek dan objek tidak lagi menjadi relevan, karena subjek yang sekarang mengakui diri sebagai subjek adalah objek bagi subjek yang lain. Dengan kata lain pengalaman selalu butuh proses dan interkoneksi yang terus menerus[19]. Sepuluh, Disisi lain, ANW berpendapat bahwa realitas adalah apa yang saja yang masuk dalam kategori pemahaman kita dalam bentuk pengalaman, dan pengalaman dalam konteks ini selalu lebih kaya dari pengetahuan. Pengetahuan hanya menemukan basis empirisnya pada manusia, sehingga ini menjadi sebuah ciri khas sendiri pada manusia, hewan dan tumbuhan tidak bisa mengetahui. Sebelas, Bagi ANW semakin jelas bahwa potensi pengalaman jauh lebih kaya daripada pengetahuan, hal ini kelihatan pada penekanannya di konsep feelings sebagai kategori dasar pengalaman. Feeling dipandang bukan hanya sebagai monopoli manusia saja, melainkan sebagai sebuah kategori dasar dari semua mahluk hidup. Perlu diingat juga feeling adalah prehensi positif adalah penyerapan unsur-unsur dunia sekitar untuk menjadi bagian dari bentuk satuan aktual dalam proses konkresinya[20]. Panca indera untuk mencapai pengetahuan bukanlah satu-satunya cara untuk melalukan penyerapan itu, pengalaman-pengalaman estetis, religius, moral, umumnya mampu mengatasi penyerapan inderawi dan tidak pertama-tama bermotifkan pengetahuan.
Dua belas,  Filsafat proses ANW memaknai pengalaman sebagai objek penelitian filosofis yang mempunyai cangkupan jauh lebih luas dan tentunya lebih mendalam dari pada pengalaman dipahami dalam perspektif ilmu lain, sains misalnya. Dalam ruang sains pengalaman hanya dipahami sebagai objek yang diamati dan dicerap secara empirik melalui ruang panca indera manusia, sedangkan dalam perpektif ANW, pengalaman dipandang memeluk seluruh realitas yang ada sejauh dapat dialami, dipikirkan, dan direfleksikan oleh manusia. Pengalaman dalam perspektif ini menyentuh seluruh kenyataan dan bersangkut paut dalam proses terbentuknya apa yang kerap dia sebut sebagai satuan aktual, yakni entitas aktual yang menyatukan seluruh kenyataan yang ada kedalam gumpalan pemahamannya. Tiga belas, Empirisme ANW harus tetap dibedakan dengan empirisme ala Locke ataupun David Hume, menurut William James empirisme ANW adalah empirisme radikal dengan cirinya yakni memandang realitas secara holistik. Kenyataan harus dipahami dan dialami secara utuh dan menyeluruh dengan segala “bau” ambiguitas dan kompleksitasnya, dan kemudian dianalisa secara tajam dengan pisau rasio untuk memperoleh kejelasan dan ketepatan.
Empat belas, ANW berpendapat bahwa pengalaman –seperti terus tersirat dalam tulisan saya ini- selalu jauh lebih kaya daripada pengetahuan. Mengapa? Konsekuensi logisnya begini, jika kenyataan disamakan begitu saja dengan apa yang diketahui, dan yang diketahui disamakan juga dengan apa yang mengenainya manusia dapat membuktikan secara ilmiah empiris atau jelas dan tegas, maka realitas ilahi, nilai-nilai, arah, makna, dan tujuan hidup yang secara objektif menjadi bagian dari hidup manusia akan tersingkir dan dianggap sebagai persepsi subjektif niscaya belaka. Lima belas, Filsafat proses ANW harus berpijak dan bermuara dalam relung pengalaman, pengalaman dalam arti setajam-tajamnya secara ontologis menyangkut seluruh kenyataan yang ada dan menjadi yang juga tidak hanya dibatasi hanya pada hal ilmiah dan empirik belaka. Kenyataan yang ada dan menjadi adalah lebih luas melampaui apa yang dapat disampaikan secara logis, jelas, dan lugas.


Daftar Pustaka
Whitehead, Alfred North, Process and Reality, An Essay in Cosmology, Harper Torchbooks, New York, 1957
Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar, Kanisius 2001,
Kraus, E, The Metaphysics of Experience, Fordham University press, 1988,
Sherburne, Donald, A Key to Whitehead Process and Reality. The University of Chicago Press, 1966
Kline, George L (ed), Alfred North Whitehead: Essays on His Philosophy, Prentice Hall, New Jersey, 1963

[1] Whitehead, Alfred North, Process and Reality, An Essay in Cosmology, Harper Torchbooks, New York, 1957 hal 39
[2] Ibid, XIV
[3] Bdk, Budi Hardiman, F, Filsafat Modern, Gramedia, 2004, hal 154.
[4] Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar, Kanisius 2001, hal 72
[5] Budi Hardiman, F, Op.Cit, hal 156
[6] “…Leibniz discriminated apperception from perception in monadology. That Whitehead selects the term of prehension do designate the internal relatedness of one entity to its world is significant in it self….Prehension on the other hand denotes the bare process of seizing, excluding, the extraneous notions of subject and of  consciousness…” Kraus, E, The Metaphysics of Experience, Fordham University press, 198, hal 16
[7] Memang kompleks dalam arti bahasa yang mempergunakan dikotomi subjek objek akan mengalami kesulitan dalam menelaahnya, “……To present the complete explication of the doctrine of prehension and correlative doctrine of organicity of the world is virtually impossible in subject-predicatr languange…” Ibid hal 16
[8] Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar, Kanisius 2001, hal 42
[9] Bdk, Sherburne, Donald, A Key to Whitehead Process and Reality. The University of Chicago Press, 1966. hal 10.
[10] Perlu penajaman distingsi agar semakin transparan, konsep feeling bisa mengandung tiga kemungkinan, pertama Simple Physical Feeling yang merupakan pencerapan atau prehensi positif atas benda-benda/objek yang masih bisa dikenali secara fisik, kemudian ada Conceptual Feeling yang merupakan prehensi positif atau pencerapan atas objek yang dikenali secara konsep atau menggunakan akal budi yang “murni”. Juga terdapat apa yang dinamakan dengan Intellectual Feeling. “.. semangat bertualan yang eksis pada setiap satuan aktual (Adventure) berkaitan dengan kreatifitas setiap satuan aktual untuk secara kreatif mencari alternatif perwujudan baru (Creativity) yang merupakan realisasi subjective aim-nya sekaligus merupakan warisan dari masa lalunya. Kebebasan untuk “berpetualang” mencari perwujudan baru secara “kreatif” apa yang menjadi tujuan “subjektifnya” menjadi semakin kelihatan nyata pada manusia berkat adanya “Intellectual Feeling”, yakni aktivitas mencerap atau menggarap masa lampau dan menjadikannya bagian dari diri dalam suatu perwujudan baru yang didasarkan pada kesadaran akan alternatif perwujudan lain yang masih mungkin. Berkat adanya Intellectual Feeling ini warisan masa lampau tidak sepenuhnya mutlak menjadi bagian penuh dari masa depan, melainkan masih ada kemungkinan perubahan dalam menentukan masa depan.
[11] Bdk, Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar, Kanisius 2001, hal 45
[12] Sekilas perlu dijelaskan disini apa yang dimaksud dengan Subjective form, yang disebabkan dan berkaitan erat dengan tujuan subjektif dari satuan aktual pada integrasi lebih jauh, sehingga mampu mendapatkan kepuasan (satisfaction) yang merupakan kepenuhan dari subjek. Bdk, Whitehead, Alfred North, Process and Reality, An Essay in Cosmology, Harper Torchbooks, New York, 1957 hal 29. Subjective form merupakan salah salah satu dari kategori eksistensi yang ada pada sistem pemikiran Whitehead, -Bdk, Ibid, hal 32-. Subjective form merupakan elemen yang esensial bagi momen prehensi konseptual, juga dalam semua proses prehensi –Bdk, Ibid hal 49-  dalam setiap prehensi negatif ataupun prehensi positif selalu terkandung subjective formnya sendiri, walaupun tampak redup dan tak berarti. Ini mengacu pada kompleksitas emosional yang merupakan subjective form yang mengarahkan diri pada tercapainya kepuasan akhir (final satisfaction).  Kesimpulannya adalah subjective form adalah bentuk perasaan yang muncul ketika terjadi proses prehensi pada satuan aktual. Bagian dari proses prehensi yang merupakan sebuah inti atau elemen esensial yang mewarnai proses prehensi baik secara positif maupun negatif.
[13] Ibid, hal 73
[14] Bdk, Ibid hal 74
[15] PR, 231
[16] “…Leibniz discriminated apperception from perception in monadology. That Whitehead selects the term of prehension do designate the internal relatedness of one entity to its world is significant in it self….Prehension on the other hand denotes the bare process of seizing, excluding, the extraneous notions of subject and of  consciousness…” Kraus, E, The Metaphysics of Experience, Fordham University press, 198, hal 16
[17] Bdk, Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar, Kanisius 2001, hal 45
[18] Ibid, hal 73
[19] Bdk, Ibid hal 74
[20] PR, 231

0 komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...