Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Beragama secara personal dan publik

| Senin, 10 Januari 2011 | |
Sobat PAI. Community,
Agama adalah sebuah tuntunan atau ajaran yang dijalani oleh manusia, yang juga menghendaki kapada para penganutnya untuk meyakini sesuatu yang absolut (Tuhan), meyakini dan melaksanakan doktrin-doktrin yang menjadi identitas suatu Agama.
Fungsi Agama secara hakiki adalah sebagai etika manusia dalam menjalani kehidupannya, baik kepada Tuhannya maupun kepada sesamanya.

Secara mendasar, manusia memiliki dua peran. yakni:
1. sebagai Hamba Tuhan
2. sebagai Makhluq sosial (Khalifah di bumi)

Perwujudan Agama kepada Tuhan (manusia sebagai hamba Tuhan) adalah menyangkut hubungan spiritual seorang yang beragama terhadap Tuhannya. karena dalam Agama telah dijelaskan bagaimana kita mengenal Tuhan, semisal dalam Agama Islam seperti ajaran Tauhid, dalam Agama Kristen seperti Trinitas dan lain-lain. Termasuk juga di dalamnya adalah berbagai praktek agama atau ritual keagamaan, sebagai deklarasi Agama seseorang kepada Tuhannya, bisa dikatakan sebagai "Hablu min Allah". dalam ranah ini agama bersifat personal, subjektif dan relatif, tergantung individu masing-masing yang menjalaninya.

Sedangkan Perwujudan Agama kepada sesamanya (manusia sebagai makhluq sosial) adalah moral dalam bermasyarakat, karena dalam Agama sendiri diajarkan tatanan nilai yang harus dijunjung tinggi sebagai pedoman hidup bermasyarakat. sebagaimana dalam Islam dikenal dengan "Hablu min an-naas". Dalam ranah ini agama lebih bersifat Publik, titik tolaknya adalah peradaban masyarakat yang terkandung di dalamnya tatanan nilai publik yang relati berbeda antara peradaban satu dengan yang lain.

Dengan demikian beragama secara publik tidak boleh bercampur aduk dengan beragama secara personal begitu juga sebaliknya, karena ranahnya yang berbeda.
Kita membawa nama Tuhan, ketika kita beragama secara personal, kita membawa nilai etika bermasyarakat, ketika kita beragama secara publik.

Dalam beberapa kasus, kita sering menjumpai kesalahan-kesalahan dalam praktek beragama, di mana Agama secara personal dipraktekkan dalam ranah publik. Seperti kasus FPI yang mendeklarasikan Islam di ranah publik secara anarkis, kasus MUI yang kerap menghardik aliran-aliran yang dianggap sesat, kasus MUI Tulungagung yang mengecam pemerintah kabupaten Tulungagung karena menfasilitasi "Festifal Manten Kucing" yang diadakan pemerintah setempat sebagai salah satu kegiatan memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-805 Kabupaten Tulungagung. yang dianggap sebagai penghinaan terhadap Agama karena menyamakan kucing dengan manusia, lebih-lebih menggunakan syari'at Agama Islam.

Tindakan mereka (FPI dan MUI) merupakan praktek yang salah dalam beragama, karena tidak menempatkan diri pada ranah yang tepat. Seharusnya Badan yang mengurusi Agama seperti MUI tidak usah menyoroti hal yang bersifat budaya seperti "Festifal Manten Kucing" lihat http://news.okezone.com/read/2011/01/05/340/410590/kebebasan-beragama-di-jawa-timur-masih-suram, karena hal seperti itu sudah bukan ranah dari MUI meskipun ada hal yang berhubungan dengan Agama Islam yaitu Resepsi Nikah si Kucing, namun yang demikian bukanlah suatu hal yang menjadi kajian MUI, karena meskipun ada aroma Agama di dalamnya, akan tetapi aroma Agama di sini adalah Agama dalam prakteknya, bukan Agama dalam esensinya seperti ketuhanan, iman, dll.

Selain itu, akhir-akhir kita juga sering menjumpai praktek beragama yang terlau menyimpang dengan mencampuradukkan Agama dengan budaya, dalam hal ini identitas Agama sama sekali ditinggalkan. seperti faham pluralisme Agama.
Pluralisme Agama menganggap semua Agama itu sama, kebenaran bukan hanya milik agama yang kita yakini, keselamatan bisa diraih dari semua Agama, karena pada hakikatnya semua Agama menyembah pada Tuhan yang sama, dan pada hakikatnya semua Agama mengajarkan kebaikan.

Menurut kaum pluralis, semua Agama merupakan bentuk parsial dari kebenaran menurut Tuhan. dan Tuhan memberi banyak jalan untuk menuju titik esensial dari kebenaran itu sendiri. kaum Pluralis menafikan sama sekali identitas Agama yang di dalamnya terdapat konsep keimanan kepada Tuhan yang tertentu, praktek beribadah, dan lai-lain yang merupakan garis eksklusif suatu Agama. Semua identitas itu dianggap sebagai bentuk parsial yang relatif (bukan merupakan hal yang esensial dari konsep beragama).

Maka kaum pluralis telah menafikan bentuk objektif Agama, dalam mendiskripsikan Agama, kaum pluralis hanya berdasar pada sisi Subjek (manusia), tanpa menengok pada Objek (Agama). Agama dianggap tak punya hukum, hukum yang berlaku hanyalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan. karena Tuhan memberikan manusia akal untuk mengerti dan memahami nilai dan etika yang digunakan untuk mewujudkan kemashlahatan ummat.
Maka manusia hanya membutuhkan etika dan nilai untuk mencapai kebenaran dan keselamatan. karena esensi dari semua Agama adalah etika dan nilai.

Dengan demikian, Faham pluralisme hanya cocok dipraktekkan dalam ranah publik sebagai bentuk dari kesadaran bermasyarakat dan penerimaan realitas yang plural, seperti halnya ketika kita hidup di Indonesia. Namun dalam praktek beragama secara privat, pluralisme justru menghilangkan salah satu aspek terpenting dalam beragama, yaitu claim truth.

Hal yang demikian adalah praktek mencampuradukkan praktek beragama secara personal dengan beragama secara publik, karena Agama secara Objektif telah berdiri sendiri dan mempunyai identitasnya sendiri, antara Agama satu dengan yang lain tidak dapat disamakan dan dibenarkan semua. karena dalam meyakini kebenaran, kita berada pada ranah personal, dan hal itu tidak seharusnya diwujudkan dalam ranah publik.

1 komentar:

Anonim Says:
12 Januari 2011 pukul 19.27

Kadang kita tak faham dengan faham apa kita beragama... oleh karena itu sering kali kita tak bisa menempatkan diri pada sikon yang tepat.

Posting Komentar

Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...