Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Akal Melawan Al-Qur'an

| Rabu, 05 Januari 2011 | |
Sobat PAI. Community,
"Ketika terjadi perubahan paradigma maka teks-teks akan dipandang secara beda. Teks-teks yang semula dianggap normal oleh ulama klasik menjadi “tidak normal”. Mereka yang mengusung keseteraan gender adalah tokoh dalam Islam yang mencoba melakukan denormalisasi teks-teks: teks-teks itu harus dipahami ulang. Jika tidak, akan menimbulkan inkonsistensi dalam memahami agama."

Pada tanggal 30 November 2010, Jaringan Islam Liberal (JIL) menggelar diskusi bulanan dengan tema Bias Partriarkhi dalam Kitab Suci. Ada tiga nara sumber yang dihadirkan dalam diskusi ini. Mereka adalah Ulil Abshar-Abdalla (pendiri JIL), Maria Ulfa Anshar (anggota KPAI), dan Yuniyanti Chuzaifah (Ketua Komnas Perempuan). Diskusi tersebut pada dasarnya adalah bedah buku karya Syafiq Hasyim yang berjudul Bebas dari Partriarkhisme Islam.
Pemaparan panjang tiga narasumber tersebut dapat disimpulkan dalam satu catatan bahwa memahami teks-teks agama saat ini jauh lebih sulit dan lebih rumit. Teks-teks agama tidak dapat dipahami secara sederhana karena, paling tidak, ada dua alasan. Pertama, di balik teks-teks tersebut terdapat budaya dan hubungan sosial yang ikut berperan dalam melahirkan teks-teks. Dengan kata lain, setiap teks memiliki culture baggage (beban budaya) yang harus diungkap.

Kedua, para penafsir modern membutuhkan perangkat ilmu dan pengetahuan yang lebih kompleks dibanding perangkat ilmu yang digunakan oleh para penafsir klasik. Para penafsir modern tidak hanya membutuhkan ilmu-ilmu alat dalam tafsir, seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain, tapi mereka juga harus mempertimbangkan berbagai teks yang lahir di abad modern ini, seperti DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), CEDAW (Convention on Ellimination of all Forms of Discrimination against Women), undang udang serta bebagai aturan yang berlaku di sebuah negara dan lain-lain. Teks-teks agama harus diletakkan dalam matriks nilai-nilai yang menyebar di sekitar agama. Setiap zaman memiliki normalitas yang berbeda-beda. Teks-teks tertentu dianggap normal pada zaman tertentu, tapi dapat dianggap “tidak normal” pada zaman yang lain. Teks-teks tersebut harus dipahami ulang dengan pendekatan yang lebih kompleks agar kita terhindar dari inkonsistensi dalam memahami agama.

Ketika al-Quran bicara tentang ar-rijal (laki-laki) dan an-nisa’(perempuan) dalam surah an-Nisa’ ayat 34, dua istilah ini bukan sekadar istilah kamus tapi istilah budaya. Apa sebenarnya konsespsi tentang perempuan dan laki-laki dalam budaya Arab ketika ayat ini diturunkan. Metode penafsiran terhadap al-Quran atau hadis yang berkembang pada zaman klasik tidak memperhatikan hal ini. Dalam tafsir klasik ada metode memahami sebab-sebab turun (asbabunnuzul) ayat al-Quran, tapi pengertian asbabunnuzul sangat terbatas. Sebatas pada peristiwa yang menyebabkan sebuah ayat turun. Fungsi asbabbunnuzul hanya mencari cantolan ayat dengan peristiwa tertentu. Dan ini sangat sederhana.

Strategi yang dikembangkan oleh sarjana muslim belakangan adalah mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara lebih bersahabat dengan perempuan. Mereka memaknai konsep asbabunnuzul secara lebih luas, tidak sekadar memahami ayat berdasarkan peristiwa tertentu. Misalnya ayat lâ ikrâha fî ad-dîn(tidak ada paksaan dalam agama). Ayat ini turun karena ada seseorang yang telah memeluk Islam, sementara anaknya belum memeluk Islam. Hal ini terjadi di Madinah dan ketika itu Nabi Muhammad serta para sahabatnya akan melakukan penyerbuan terhadap komunitas Yahudi yang berada di Khaibar. Orang yang telah memeluk Islam itu khawatir anaknya akan menjadi korban penyerbuan karena sang anak berada dalam komunitas Yahudi tersebut. Maka, ia bertanya kepada Nabi Muhammad apakah boleh memaksa anaknya untuk memeluk Islam. Ketika itu Nabi Muhammad melarangnya.

Nah, di zaman sekarang ini teks-teks agama sudah tidak dapat dipahami hanya berdasarkan asbabunnuzul yang sangat sederhana itu. Itu sebabnya, para sarjana muslim yang mengemukakan tafsir yang tidak misoginis menacoba memperluas pengertian asbabunnuzul sebagai konteks sosial dan budaya. Ketika orang Arab menyebut kata ar-rijaldan an-nisa’, pengertian mereka tentang laki-laki dan perempuan seperti apa; peran sosial seperti apakah yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan ketika itu; bagaimana polanya dan adil atau tidak. Di dalam setiap istilah selalu ada culture baggage (beban budaya) dan itu harus diungkap. Strategi penfasiran seperti inilah yang dilakukan oleh para penafsir feminis, seperti Fatimah Mernisi, Amina, Asma Barlas dan lain-lain. Mereka mencoba menulis perspektif tafsir yang lebih bersahabat dengan perempuan.

Arus baru ini bagian dari perubahan kesadaran dalam masyarakat Islam. Setiap zaman memiliki ciri khas sensitifitas; punya cara tertentu untuk memandang sesuatu. Misalnya, ada sebuah hadis riwayat Bukhari, “Jika Anda shalat maka shalat Anda jadi batal jika di depan Anda lewat tiga benda: keledai, anjing hitam dan perempuan”.

Semua komentar terhadap hadis ini, yang dituilis oleh ulama klasik, tidak satu pun yang mempersoalkan hadis tersebut. Telah seribu tahun lebih umat Islam membaca hadis ini dan tidak ada yang mempersoalkan. Hadis tersebut dianggap sebagai sesuatu yang normal. Baru, di abad 20, ketika wacana kesetaraan gender diangkat, hadis ini diangap bermasalah. Jadi, teks yang sama, dalam satu zaman dianggap normal, di zaman yang lain dipersoalan. Setiap zaman memiliki normalitas (istilah Thomas Kuhn dalam membincangkan soal paradigma). Setiap masyarakat pada zaman tertentu memiliki rasa. Di zaman Nabi, menyatakan hal semacam itu (perempuan membatalkan shalat) tidak masalah karena pengertian mereka tentang laki-laki dan perempuan dibentuk oleh konsep budaya tertentu, hubungan sosial tertentu yang jika seluruhnya digabungkan membuat orang tidak merasa bermasalah mendengarkan teks hadis seperti di atas.

Pada abad 20, di mana kelompok feminis muslim (seperti Qosim Amin) mewacanakan kesetaraan gender, baru teks itu dianggap bermasalah. Salah satu sarjana muslim yang serius mempermasalah hal ini adalah Mahmud Abu Rayah yang menulis buku tentang kritik hadis pada tahun 50-an. Buku Mahmud Abu Rayah berjudul Adhwa’ ala as-Sunnah al-Muhammadiyah. Dalam buku itu Mahmud Abu Rayah mengajak kita membaca hadis Bukhari dengan lensa yang lain. Dan ini sesuatu yang baru. Apa alasan perempuan membatalkan shalat kalau lewat di depan laki-laki yang sedang shalat? Apa benar Nabi Muhammad bersabda seperti itu?

Inilah momen perubahan dan muncullah pemikiran yang lain. Orang yang tidak suka dengan perubahan mencoba menjustifikasi hadis tersebut dengan berbagai cara (apologetik). Mereka adalah kalangan tradisional yang berusaha mempertahankan tafsir klasik dengan berbagai cara.
Ketika terjadi perubahan paradigma maka teks-teks akan dipandang secara beda. Teks-teks yang semula dianggap normal oleh ulama klasik menjadi “tidak normal” di abad modern. Mereka yang mengusung keseteraan gender adalah tokoh dalam Islam yang mencoba melakukan denormalisasi teks-teks: teks-teks itu harus dipahami ulang. Jika tidak, akan menimbulkan inkonsistensi dalam memahami agama.

Pada zaman sekarang ini kita tidak bisa menganggap bahwa perempuan membatalkan shalat jika ia lewat di depan orang yang sedang shalat. Ini tidak bisa diterima dengan alasan apa pun. Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar tafsir tradisonal, tapi tafsir yang mencoba memahami teks dengan memperhatikan konteks.
Yang dibutuhkan oleh para penafsir modern tidak hanya seperangkat ilmu alat yang digunakan oleh para penafsir klasik, seperti ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain. Para penafsir modern harus mempertimbangan DUHAM, CEDAW, undang undang serta aturan di berbagai negara dan lain-lain. Kita tidak bisa menfasirkan ayat tentang perempuan hanya melihat secara solipsistik atau secara mata kuda dengan mengabaikan yang lain. Tidak cukup hanya dengan melihat tafsir Qurthubi, Ibnu Katisr, Jalalain dan lain-lain. Ini sudah tidak bisa lagi.

Di abad modern ini agama harus diletakkan dalam matriks niali-nilai yang begitu banyak. Agama tetap penting, tapi harus diletakkan dalam matriks nilai-nilai yang semakin banyak. Karena dunia saat ini sudah jauh berbeda dengan zaman di mana Nabi Muhammad dilahirkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...