Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Kenapa saya berani menghina Agama

| Rabu, 05 Januari 2011 | |
Sobat PAI. Community,
Maaf, ini adalah bacaan untuk orang dewasa yang berpikir. Yang tidak mau berpikir, yang lebih banyak menggunakan rasa curiga, rasa takut dan sejenisnya sebaiknya tidak membaca tulisan ini. Kenapa? Karena bisa merusak iman (palsu) anda.

Maaf, ini bukan fatwa.
Ini adalah refleksi dan sikap saya pribadi dalam beragama.
Saya menghayati agama sebagai kebutuhan pribadi. Sebagai tempat bernaung saya secara psikologis dan spiritual. Karena itu, dasar pertama saya adalah hanya akan meyakini suatu pandangan agama yang menyegarkan bagi saya. Yang merangsang akal sehat saya. Jika tidak, saya tidak akan meyakininya. Siapapun yang mendakwahkannya. Baik dia seorang ustad, seorang ulama, seorang cendekiawan, para pemikir dan bahkan para Nabi sekalipun.

Kenapa?
Apa artinya kebesaran nama seseorang. Apa artinya popularitas sebuah agama, jika kenyataannya tidak menyentuh pemahaman dan pikiran saya. Jika hal itu saya paksakan, bagi saya itu bukanlah sebuah keyakinan. Tapi hanyalah sebuah sikap ikut-ikutan. Paling tinggi saya hanya mengahafal konsep-konsep keagamaan yang disampaikan orang lain. Tapi kering dari pemahaman dan pengahayatan saya pribadi.

Lalu adakah yang menjadi sandaran atas sikap saya ini?
Misalnya karena secara legal formal saya adalah seorang Islam, adakah ayat Alquran atau Hadis yang saya gunakan sebagai sandarannya? Tidak! Paling tidak saya tidak tahu atau tidak hafal. Tapi saya tidak begitu peduli.
Apakah saya tidak takut tergelincir, tersesat dan berdosa? Tidak! Kata-kata sesat, kafir dan dosa bukanlah kosa kata saya. Kata-kata itu bagi saya adalah kosa katanya orang yang tidak berpikir. Sehingga sangat mudah ditakut-takuti.

Apakah itu artinya saya hidup bebas dan berbuat seenaknya? Tidak!
Bagi saya keyakinan dan praktek hidup adalah dua hal yang berbeda. Pikiran saya bisa saja merambat liar kemana-mana. Keyakinan saya bisa saja terbang hingga ke alam antah berantah. Tapi prilaku saya tidak bisa seenaknya. Tangan saya tidak bisa gentayangan ke mana saja. Misalnya tangan saya nyelonong bebas masuk ke dompet anda. Atau membuka kancing baju anda yang perempuan. Mulut saya juga tidak bisa sesenaknya ketika saya berkomunikasi dengan orang lain. Tidak bisa saya seenaknya marah, mengancam dan menuding apalagi meneror orang lain.
Andaikan kebebasan saya berpikir juga sama dengan kebebasan saya bertindak, tentu saya adalah seorang bajingan yang terkutuk di dunia nyata. Tapi apa kenyataannya? Saya tetap saja seperti orang kebanyakan yang juga mengikuti segala aturan main. Baik dalam rumah tangga, keluarga maupun masyarakat. Saya bukanlah seoang buronan, residivis apalagi teroris. Saya tetapalah seorang manusia normal biasa.
Lalu kenapa pada banyak tulisan saya ada yang menilai saya kasar dan suka menampar pembaca? Ah … itu hanya masalah seni menulis. Gaya penyajian. Itu hanya acting saya dalam bentuk tulisan. Jika anda seorang yang mengerti akan sastra, saya kira anda akan paham. Tapi pesan tersirat tulisan saya ada dibalik semua itu.
Suhubungan dengan ini saya teringat ketika saya membaca novel-novel karya Budi Dharma. Cerita-cerita dalam novelnya sangat yentrik, aneh dan absurd. Tapi itu sangat menarik bagi saya. Saya membayangkan sosok pengarangnya juga demikian. Sama dengan tokoh-tokoh dalam novel-novelnya: Nyentrik dan aneh. Tapi kemudian saya menemukan sebuah essaynya yang menuturkan siapa sosok pribadinya. Ternyata dia adalah seorang Dekan Fakultas Sastra dan Seni IKIP Surabaya, dan terakhir dia sempat menjabat sebagai Rektor. Selain itu dia juga seorang Kritikus Sastra yang otoritatif, yang kharismatik dengan segala pandangannya seputar sastra: tegas dan kritis.
Saya benar-benar kaget. Ternyata, sebuah karya tidak otomatis bisa saya sandingkan dengan sosok pribadi seseorang. Karena dalam dunia kreativitas, sebuah karya adalah media ekspresi. Apalagi bila sudah menyangkut dengan seni. Apapun bidang seninya. Dan tulisan juga bagian dari karya seni (kecuali karya ilmiah yang ketat).
Karena itu, jangan anda kira seorang pemain utama yang sangat baik dan simpatik dalam sebuah Sinetron juga demikian sosok pribadinya di dunia nyata. Jangan anda mengira seorang pejabat yang sangat peduli dan menyentuh dalam pidatonya, juga demikian dalam kehidupan nyatanya. Begitu juga dengan seorang ulama dan para ustad yang sangat menganggumkan di atas mimbar.
Jadi, sehubungan dengan tulisan ini, sikap saya dalam interaksi sosial adalah satu hal dan kebebasan saya dalam berpikir dan berkeyakinan juga satu hal. Hati-hati dengan imajinasi anda dalam menilai sebuah tulisan. Yang tampak suci dalam tulisannya juga belum tentu seorang yang suci dalam kesehariannya. Begitu juga sebaliknya. Termasuk saya.

Nah, sekarang kembali ke topik.
Kenapa saya tidak takut menari, meloncat dari satu paham agama ke agama tertentu? Atau dilain waktu saya juga mengaduk agama dengan pemikiran saya sendiri?
Begitulah saya menghayati sebuah keyakinan. Saya harus otentik dengan keyainan saya sendiri. Saya harus memasak keyakinan versi saya sendiri. Kenapa? Hanya dengan cara itulah saya bisa terstimulir. Terisnpirasi. Tersentuh dan seterusnya.
Banyak orang menyebut kata Tuhan. Tapi samakah Tuhan yang mereka pahami? Samakah imajinasi mereka tentang Tuhan? Samakah pemahaman dan imajinasi setiap umat beragama tentang Tuhan? Baik dalam satu agama apalagi antar agama? Meskipun Tuhan itu tetaplah satu adanya?
Kenyataanya tidak bukan. Dan itu sudah terbukti dalam banyak diskusi tentang agama. Benar bahwa dalam sebuah Kitab Suci sudah dijabarkan seperti apa Tuhan dengan segala nama dan sifatNya pada suatu agama. Tapi semua itu baru tulisan. Baru kumpulan huruf-huruf mati. Agar semua itu bergetar dalam diri seseorang, dia tetap harus membangun imajinasinya sendiri akan sosok Tuhan yang mempribadi bagi dirinya. Yang otentik dalam pengalaman spiritualnya sendiri.
Nah, begitulah dengan segala hal yang berbau keyakinan. Kotbah, ceramah, buku dan Kitab suci baru sebuah pemicu, baru sumber inspirasi akan nilai-nilai spiritual. Tapi hakikatnya harus dicari sendiri. Dipikirkan dihayati dan akhirnya dirasakan sendiri. Saya menghayati tidak mungkin hakikat nilai agama yang begitu dalam dan luas sudah dilipat habis sempurna oleh sebuah buku yang bernama Kitab Suci. Saya memahami nilai-nilai kegamaan, nilai-nilai spiritual itu Universal dan tersebar pada seisi alam.
Masih untung saya bisa mendenagr kotbah dan membaca buku dan Alquran. Tapi bagaimana dengan orang tuli, bisu, bodoh dan sejenisnya? Yang tidak bisa ditembus dengan dakwah model apapun? Yang tidak bisa mendengar kotbah dan membaca Kitab Suci. Apakah benar-benar tidak ada pintu masuk bagi mereka untuk merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya?
Saya berkeyakinan tidak.

Pintu-pintu menuju Tuhan itu luas dan tak terkira.
Meminjam konsep relasional antara Tuhan dengan ciptaanNya. Meminjam konsep imanensi dan emanasi Roh Tuhan pada ciptaanNya, maka tidak ada satu sel pun yang luput dari kehadiran Tuhan. Dia hadir dan meliputi segala sesuatu. Dia inklud dan bersemayam dalam diri setiap manusia. Tinggal bagaimana cara manusia melakukan kontak dengan Pusat dirinya. Sebagai pintu masuk untuk merasakan kehadiran Tuhan.
Nah, itulah dasar pemikiran saya kenapa saya tidak takut memahami agama dengan cara yang berbeda. Karena, dari sudut pandang bahwa manusia pada kodratnya terarah pada dunia Spiritual, terarah pada Tuhan, maka setiap orang bisa sampai pada Tuhan dengan caranya sendiri. Asal dia tetap mencari-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...