Powered By Blogger

Profile

Foto saya
Just the notes to make my mind development as a journal.

Bukan Islam Konyol

| Selasa, 04 Januari 2011 | |
Sobat PAI. Community,
Siapa bilang hidup ini indah? Salah. Hidup ini konyol. Absurd. Tidak bermakna. Main-main yang tak berarti. Segalanya datang dan pergi silih berganti tiada henti. Berputar putar dalam irama yang membosankan.
Anda makan supaya kenyang. Setelah itu anda buang berak. Kemudian makan lagi dan kenyang lagi untuk kemudian dibuang lagi.
Anda menghirup udara kemudian anda keluarkan lagi. Pagi-pagi anda berangkat ke kampus, ke kantor, ke pasar. Dan siang atau sorenya anda pulang dan masuk lagi ke dalam rumah. Dan itu anda ulangi terus menerus. Ah …rutinitas hidup yang sama dan membosankan.
Pagi anda bangun kemudian malamnya anda tidur. Dan pagi berikutnya anda bangun lagi dan malamnya tidur lagi. Begituah seterusnya sampai anda mati. Dan semuanya lahir, hidup lalu mati. Bangkai anda busuk membusuk dan Terurai lalu inkarnasi lalu hidup lagi mahkluk baru muncul lagi dan begitulah seterusnya.
Jadi apa makna hidup ini? Konyol. Absurd.
Itulah pandangan paham Absurdisme yang digagas Albert Camust, seorang pemikir dan Sastrawan Prancis Abad-20. Bagi Camus hidup ini adalah absurd. Lebih-lebih melihat penderitaan, kejahatan dan bencana. Dan lebih mengiris lagi bila melihat nasib bayi yang terlahir dalam keadaan cacat. Hingga ia terpaksa menanggunng penderitaan yang menyayat hati sepanjang hidupnya. Lalu apa jalan keluar untuk mengatasi hidup yang konyol ini?
Hidup harus segera diakhiri. Makin cepat diakhiri maka makin cepatlah kekonyolan hidup diakhiri. Ya bunuh diri! Tindakan bunuh diri masal pernah terjadi di zaman paham Absurdisme sebelum Camus. Tapi Absurdime Camus lain. Baginya, bunuh diri bukanlah jalan keluar untuk menghabisi Absurditas hidup. Jusru tindakan itu memperparah absurditas hidup itu sendiri. Hidup menjadi nihilistis.
Lalu apa solusi yang ditawarkan Camus?
Melakukan Pemberontkan terhadap Absurditas hidup.
Kekonyolan harus dilawan. Harus berontak!
Bagaimana cara melawan kekonyolan hidup? Manusia tidak bisa berdiam diri. Manusia tidak bisa hanyut pasrah oleh absurditas hidup. Semakin manusia pasrah maka semakin manusia digulung oleh kekonyolan hidup. Karena tanpa pemberontakan dari manusia, hidup akan tetap konyol. Karena kodrat atau natur hidup itu sendiri memang konyol. Karena itu bagi Camus, manusia harus protes. Berontak. Yaitu dengan cara mencari makna. Manusia harus memanfaatkan waktu untuk memaknai hidupnya, hingga hidupnya menjadi berarti.
Lalu bagaimana cara memberi makna pada hidup?
Ada banyak cara. Bisa melalui Seni, Filsafat dan Agama. Melalui itulah manusia menemukan arti keberadaannya. Manusia menjadi eksis. Dan eksistensi itu tidak bisa dipinjam apalagi dipaksakan oleh orang lain. Manusia yang ikut-ikutan memilih pilihan orang lain tidak akan pernah merasa eksis. Tidak akan pernah menjadi seorang Eksistensialis sejati.
Lalu apa saluran keberadaan yang dipilih Camus? Dia memilih melaui jalan Seni. Dia memilih menjadi seorang Sastrawan. Melalui berkesenian itulah dia menghayati makna keberadaannya. Itulah pemberontakan Camus atas kekonyolan hidup baginya secara pribadi. Jika Descartes pernah berucap: Saya berpikir maka saya ada, maka bagi Camus: Saya berontak maka saya ada.
Nah, lalu apa hubungannya dengan Islam Konyol?
Meminjam anilisis Camus, maka saya menafsirkan pemberontakan akan absurditas Islam dalam sejarah. Dalam relaitas yang konyol. Saya juga melakukan pemberontakan seperti Camus. Paling tidak, ada 2 pokok pemberontakan saya:
Pertama: Melawan Utopia Islam
Apa itu utopia Islam? Hidup dalam dunia angan-angan. Hidup mengejar mimpi. Impian akan dunia ideal yang tak pernah terwujud. Imajinasi akan dunia lain (sorga imaginer) yang melenakan.
Jika saya miskin maka saya akan sibuk berdo’a dan mencari pelarian psikologis dengan meyakini bahwa nanti saya akan bahagia di akhirat. Jika saya bodoh, maka saya akan melarikan diri secara psikologis bahwa nanti di akhirat saya akan menjadi orang yang cerdas. Jika saya tertindas, maka saya akan menghibur diri bahwa di sorga nanti saya akan bahagia. Jika hari ini banyak kekacauan, banyak kejahatan, penindasan, korupsi dan segala macam maksiat dalam masyarakat, maka suatu saat nanti kebenaran Islam akan tegak.
Kosa kata saya tak beranjak dari: Jika saya begini MAKA suatu saat nanti saya akan begitu. Suatu saat nati. Di akhirat nanti. Di sorga nanti. Semua inilah utopia Islam. Morfin psikologis yang akan meninabobokan saya dalam lumpur absurditas hidup yang tak berakhir. Begitu juga dengan masyarakat Islam yang menghisap ganja psikologis seperti ini. Masyarakat yang dininabobokan oleh utopia Islam ini.
Selagi saya tidak keluar dari lingkaran setan pemahaman seperti itu, maka mata rantai kekonyolan hidup saya tidak akan putus. Akan selalu saya miskin. Akan selalu saya bodoh. Akan selalu saya menderita dan tidak akan pernah bahagia. Akan selalu absurditas hidup membelenggu diri saya. Karena itu saya harus melawan. Saya harus berontak! Mengakhiri absurditas itu.
Lalu bagaimana cara saya untuk mengakhirinya?
Kedua, Bumikan paradigma keislaman
Mengubah nalar Islam saya. Semua utopia Islam harus dijungkirbalikan. Dari langit ke bumi. Dari kepala ke kaki. Dari nanti ke kini. Dari ide ke praksis. Dari teori ke tindakan.
Jika saya miskin, maka saya harus berusaha. Bukan dengan hanya berdo’a menengadahkan tangan ke langit. Usaha itulah perujudan do’a yang paling nyata. Do’a yang bena-benar hidup. Aktif progresif. Bukan do’a pasif meratap. Jika saya bodoh, maka saya harus belajar. Membaca, berpikir, merenung, diskusi dan sharing. Jika saya tidak bahagia, saya harus belajar menikmati apa yang saya punya. Mencintainya dengan sepenuh hati. Bukan dengan melemparkan angan-angan kebahagian ke nun jauh di sana. Ke dunia lain di negeri antah berantah (sorga imajiner).
Jika masyarakat anarkis, kacau, korupsi, penindasan dan sebagainya, maka semua elemen masyarakat harus turun tangan membasminya sesuai semua jalur pranata sosial yang ada. Bukan dengan menyuruh umat Islam membentangkan sajadah untuk meratapi dunia pada Tuhan di ruang kesunyiannya, seperti para petapa yang melarikan diri ke gunung dan gua-gua. Tindakann nyata umat Islam itulah penubuhan nilai-nilai Islam dalam relaitas sosial. Yang aktif progresif. Para ustad, ulama, apalagi pejabat, harus berhenti membujuk umat Islam untuk menghisap candu psikologis bertopeng agama. Sementara tikus-tikus dan anjing liar perusak Negara berkeliaran memamah rakyat.
Hanya dengan cara pemberontakan ala Camus lah Absurditas Islam akan bisa diakhiri. Bukan dengan harapan yang ilusif dan utopis.
Paradigama Descartes harus dibalik. Jika saya berpikir Islam maka saya Islam. Jika saya meyakini Islam maka saya Islam. Coret! Turunkan ke bumi. Turunkan ke kaki. Jika saya bertindak sesuai nilai-nilai Isam maka barulah saya menjadi Islam. Jika saya bermoral sesuai nilai-nilai moral Universal Islam, maka barulah saya berahklak Islam. Bukan hanya dengan berpikir, bukan hanya dengan meyakini apalagi denga hanya mengumbar dakwah dan slogan, bukan hanya dengan sibuk memasang umbul-umbul apalagi berkoar-koar dan berjihad anarkis. Tapi buktikan dalam prilaku dan tindakan nyata.

1 komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar anda melalui akun google...
Kalau belum punya, silahkan buat dulu...